Beranda OPINI Bias Dollar E-KTP Di Rumah Rakyat (Oleh: T Syaiful Anhar)

Bias Dollar E-KTP Di Rumah Rakyat (Oleh: T Syaiful Anhar)

133
0

MUNCUL pada 2009 sebagai proyek percontohan nasional. Mirip seperti kartu anjungan tunai mandiri alias ATM. Bertahap kemudian digaungkan pada 2011, 2012 terakhir 2013. Wajib, begitulah kata pemerintah untuk memastikan keabsahan bagi warga negara Indonesia.

Ya, dialah kartu tanda penduduk elektronik atau disingkat e-KTP. Pemerintah pun memastikan bahwa pemilik e-KTP tersebut berlaku seumur hidup. Wow…metode baru dengan harapan baru pula. Seolah begitulah yang ada di pikiran penulis.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu persoalan terekam ke permukaan. Mulai dari sulitnya dapat e-KTP, alat perekam yang rusak atau ‘hang’, lambatnya pengiriman blanko hingga tetekbengek lainnya.

Malah jelang tahun politik ini, Mendagri Tjahjo Kumolo bilang ada sekitar 10 juta warga belum terekam e-KTP. Kalau ditaksir, ya sekira 94,2 persen yang baru menerima kartu sah tanda penduduk Indonesia itu.

Penduduk wajib e-KTP yang sudah melakukan perekaman sampai dengan tanggal 20 Mei 2018 di 514 kabupaten/kota sebesar 181.220.447. Begitulah uraian Tjahjo kepada wartawan, Kamis (24/5).

Tak hanya itu, tercatat tercatat ada sekitar 844 ribu orang yang kemungkinan tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada serentak 2018.

Lepas Tjahjo Kumolo berujar, dua hari berselang kejadian menyangkut e-KTP hebohkan masyarakat. Tepatnya Sabtu (26/5), warga yang tinggal di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Cerita geger warga itu mengenai jatuhnya satu kardus lebih e-KTP di jalan. Ditaksir berisi ribuan e-KTP.

Pertanyaanya, KTP siapakah itu? Kata warga di sana, bahwa pemilik e-KTP domisilinya dari Sumatera Selatan. Masa berlakunya sampai tahun 2017. Komentar pedas langsung mengarah pemilu Capres 2019 mendatang.

Kemudian dikaitkan dengan permainan politik nakal yang penuh trik dan intrik. Sejurus temuan tersebut, polisi bergegas, Kemendagri beraksi. Lewat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh membenarkan adanya kardus berisi e-KTP yang tercecer di Jalan Raya Salabenda, Semplak, Bogor, Sabtu (26/5).

Namun, ia mengatakan e-KTP tersebut invalid atau rusak. “Bahwa KTP-el yang tercecer tersebut adakah KTP-el rusak atau invalid dan diangkut dari gudang penyimpanan sementara di Pasar Minggu ke Gudang Kemendagri di Semplak, Bogor,” kata Zudan melalui keterangan tertulis, Minggu (27/5).

Tak kalah gempar kasus e-KTP mendera wakil rakyat yang berkantor di Senayan. Kalau yang ini, kasusnya bukan buang membuang e-KTP atau membolak-balik kartu tanda penduduk itu. Tapi menyangkut kasus korupsi di rumah rakyat negeri ini.

Terungkap dari keponakan mantan Ketua DPR Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia bilang, aliran dana korupsi proyek e-KTP diterima sejumlah anggota DPR RI.

Hal seperti sesuai kesaksian Setya Novanto sebelumnya. Saat menjadi saksi perkara korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa pengusaha Anang Sugiana Sudihardjo, Irvanto mengungkapkan, telah menyerahkan uang kepada lebih 10 politikus di DPR. Seorang di antaranya anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang kini menjadi Wakil Ketua Umum partai berlambang Mercy tersebut, Nurhayati Ali Assegaf.

Irvanto menyebut aliran dana untuk politikus perempuan yang kini menjadi Wakil Ketua Umum partai berlambang Mercy, Nurhayati Ali Assegaf, adalah sebesar 100 ribu Dolar AS.

Selain Nurhayati, Irvanto menyebut beberapa nama yang sudah pernah disampaikannya dan sebagian besar sudah diperiksa KPK sebagai saksi.

“Rinciannya, USD 1 juta untuk Chairuman (Harahap); pertama 500 (ribu USD) berikutnya 1 juta (USD), terus ke Pak (Melchias Marcus) Mekeng USD 1 juta, terus ke Pak Agun (Gunandjar) USD 500 ribu dan USD 1 juta, terus Jafar (Hafsah) USD 100 ribu, ke Ibu Nur (Ali) Assegaf USD 100 ribu,” kata Irvanto di persidangan.

Irvanto mengaku banyak menyerahkan uang proyek e-KTP. Penyerahan uang itu dicatatnya dalam sebuah buku.

Irvanto mengaku menyerahkan uang itu di lantai 12 gedung DPR RI. Ia berdalih melakukan penyerahan uang itu atas perintah dari Andi Narogong, salah satu terpidana kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Irvanto merupakan ?mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus mantan Ketua Konsorsium Murakabi yang juga menjadi tersangka dalam skandal kasus megakorupsi e-KTP. Ia juga diduga berperan menjadi penampung untuk jatah uang korupsi e-KTP Setya Novanto.

Pertama, Novanto diberi tahu oleh pengusaha Made Oka Masagung bahwa ada uang yang mengalir kepada dua politisi PDI Perjuangan, yakni Pramono Anung dan Puan Maharani.

Saat itu, Puan yang menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan dan Pramono selaku Wakil Ketua DPR mendapatkan masing-masing 500.000 dollar AS.

Nama-nama tersebut adalah Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo, dan M Jafar Hafsah.

Selain itu, Novanto juga menyebut mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap ikut menerima uang. Chairuman mendapat uang langsung dari Andi Agustinus alias Andi Narogong. Hal itu sesuai dengan laporan yang diterima Novanto dari Andi.

Menurut Novanto, sesuai keterangan keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi, masing-masing anggota DPR mendapat uang 500.000 dollar Amerika Serikat. Ada pun, total seluruhnya sebesar 3,5 juta dollar AS.

Tak pelak, Nurhayati Ali Assegaf langsung membantah. Nurhayati katakan bahwa apa yang dijelaskan oleh Irvanto di persidangan adalah fitnah. ‘Wallahu A’lam’, gambaran benar atau tidaknya orang-orang hebat di dunia politik Senayan itu akan dibuktikan nantinya di persidangan.

Melihat dari peristiwa e-KTP sedari awal sampai 2018 ini, toh nyatanya penulis memandang sarat akan keuntungan semata. Baik itu menyangkut politik, duit gono-gini meloloskan proyek yang berujung pada dana kampanye, atau mungkin juga konsekwensi pengembalian duit panas saat bertarung menuju Senayan.

Hanya saja, satu yang pasti terlihat dari kacamata penulis, ya katakanlah benar andai itu benar. Dan katakan tidak, andai itu tak bersalah. Tapi jangan membolakbalikkan fakta. Walau hukum bisa dibayar, hendaknya harus belajar dari suatu kejujuran. Jangan berkaca dari cermin buram, layaknya berkaca dari kebenaran dan kemurnian hati semata. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini