Beranda BERITA UTAMA Kasus Mujianto, PH Armen Lubis Nilai Kejatisu Tidak Profesional

Kasus Mujianto, PH Armen Lubis Nilai Kejatisu Tidak Profesional

171
0

MEDAN (podiumindonesia.com)- Usai sidang lanjutan praperadian SKP2 Mujianto di PN Medan, Rabu (7/8/2019), Armen Lubis melalui kuasa hukumnya menyesalkan ketidakprofesionalan penyidik Kejatisu. Ia menduga Kejatisu yang menangani perkara Mujianto telah terbukti unprofessional conduct.

Alasannya, kasus Mujianto jelas dan nyata dipaparkan penyidik Poldasu sudah memenuhi ketentuan formil dan materil (P21) bahkan sudah P22 hingga layak segera disidangkan di pengadilan.

“Penjelasan dari pihak Turut Termohon (Poldasu) jelas menyebut kasus itu sudah P21 dan malah P22. Penetapan P21 dari Poldasu itu atas petunjuk penyidik Kejatisu sendiri. Bahkan, status P21 itu juga diakui pihak Termohon II (Kejatisu) sendiri.

“Pihak Kejatisu melalui Kasipenkum juga telah memberi keterangan pers bahwa kasus Mujianto akan secepatnya disidangkan ke pengadilan. Tapi, nyatanya bukan dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan, justeru malah dihentikan lewat SKP2. Inikan jelas menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” tuturnya.

Menurut Arizal, penerbitan SKP2 Print-01/N.2.4/Epp.1/03/2019 tanggal 12 Maret 2019 tersangka Mujianto, sangat bertentangan dengan ketentuan berlaku terhadap perkara yang sudah dinyatakan penuntut umum telah lengkap memenuhi ketentuan material dan formil (P21).

Apalagi penyidik Poldasu telah melimpahkan berkas perkara berikut tersangkanya kepada penuntut umum (P22). “Penerbitan SKP2 tersangka Mujianto tidak berdasar. Wajib ditolak atau tidak dapat diterima demi hukum,” sebutnya.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kata Arizal, penuntut umum sejatinya wajib melimpahkan perkara yang sudah P21 ke pengadilan paling lama 15 hari sejak diterimanya tersangka dan barang bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP Jo Pasal 1 angka 3 UU RI No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia Jo Pasal 1 angka 8, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) PERJA No.PER-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum).

“Demi kepastian hukum, tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk tidak melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Biarlah pengadilan memutus apakah peristiwa yang didakwakan masuk atau tidak dalam ranah tindak pidana,” tegasnya.

Penerbitan SKP2, ujar Arizal, merupakan pelanggaran terhadap keadilan prosedural yang tidak berdasar hukum sekaligus pelanggaran hak asasi manusia yaitu hak korban Armen Lubis untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

“Karena itu, demi hukum wajib SKP2 Mujianto dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum karena tidak berdasarkan hukum adanya,” tegasnya.

Pendapat Arizal itu senada dengan ahli hukum Universitas Sumatera Utara, Dr Mahmud Muliadi SH MHum. Menurutnya, tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk tidak melimpahkan perkara yang sudah dinyatakan lengkap ke pengadilan.

“Sudah lengkap, tidak ada alasan penuntut umum untuk tidak melimpahkannya ke pengadilan. Tidak ada alasan menunda-menunda pelimpahan perkara. Wajib bagi penuntut umum melimpahkan perkara yang sudah lengkap untuk diperiksa di pengadilan,” ujar ahli pidana USU itu menyikapi lambannya pelimpahan kasus yang menjerat Mujianto ke pengadilan.

Dalam pandangan Mahmud, berkas yang sudah P21 bermakna sudah lengkap. “Kalau sudah P21, artinya berkas sudah lengkap diterima oleh penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan. Apabila sudah dinyatakan lengkap, maka otomatis pelimpahan berkas sudah selesai, dan diikuti penyerahan tersangka untuk proses pengadilan,” katanya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Menurut Mahmud, berkas perkara sudah lengkap perlu segera dilimpahkan kepengadilan supaya ada kepastian hukum. “Dari azasnya, peradilan cepat, sederhana, efektif, efesien, biaya ringan, menandakan butuh cepat ditegakan di pengadilan, supaya cepat dapat kepastian hukum. Yang bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Ini juga untuk kepastian hukum seseorang sehingga membawa keadilan,” ujarnya.

Hal senada diutarakan Dr Edi Yunara SH MHum. Ahli hukum pidana USU itu, menegaskan bahwa kasus yang pemberkasannya sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil (P21), seharusnya segera dilimpahkan ke pengadilan.

“Bila jaksa selaku penuntut umum berpendapat lain seharusnya berkasnya dikembalikan ke penyidik (kepolisian) untuk dilengkapi. Tapi kalau sudah dinyatakan P21, harus dilimpahkan ke pengadilan. Biarlah pengadilan yang menentukannya,” tegasnya.

Edi Yunara menjelaskan asas legalitas dalam hukum acara pidana. “Sesuai Hukum Acara Pidana, asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara yang sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil,” ucapnya.

Menurutnya, ada tiga hal yang membenarkan suatu perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pertama, nebis In idem. Kedua, demi hukum (tersangka meninggal dunia), dan yang ketiga untuk kepentingan umum.

“Bila tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut, maka perkara itu sangat layak dilimpahkan ke pengadilan, demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum,” papar Edi.

Seperti diketahui kasus dugaan penipuan Mujianto itu awalnya dilaporkan Armen Lubis ke Ditreskrimum Polda Sumatera Utara. Laporan itu ditindaklanjuti polisi secara professional dan proporsional dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Hasilnya, polisi menetapkan Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar sebagai tersangka melanggar ketentuan Pasal 378 dan atau Pasal 372 KUHPidana. Poldasu juga sudah melakukan penahanan terhadap Mujianto dan Rosihan.

Selanjutnya perkara dugaan penipuan itu dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejatisu mulai 7 April 2018 silam. Pihak Kejatisu menyatakan perkara itu sudah memenuhi ketentuan formil dan materil hingga layak disidangkan ke pengadilan. Mirisnya, Mujianto sangat tidak kooperatif sehingga Poldasu sejak 19 April 2018 menetapkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Poldasu juga menerbitkan surat pencekalan Mujianto yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.

Setelah tiga bulan DPO, pada 23 Juli 2018 pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta berhasil menangkap dan menyerahkan Mujianto kepada Poldasu.

Selanjutnya, 26 Juli 2018, penyidik Poldasu menyerahkan Mujianto dan Rosihan Anwar kepada Kejatisu, untuk diproses secara hukum di pengadilan.
Hanya beberapa jam setelah penyerahan itu, JPU Kejati melepaskan Mujianto dengan jaminan uang sebesar Rp 3 miliar.

Mirisnya, setelah setahun tak dilimpahkan, Kejatisu malah menerbitkan SKP2 hingga memaksa Armen Lubis mengajukan praperadilan terhadap Kejagung (Termohon I), Kejatisu (Termohon II) dan Poldasu (Turut Termohon). (pi/syahduri)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini