LANGKAT (podiumindonesia.com)- Warga Teluk Aru menuntut penuntasan ganti rugi tanah, tanam-tanaman di lokasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu dan Sutet Medan-NAD.
“Tanah dan tanam-tanaman kami yang dibayar bervariasi, ada yang 40 persen ada yang 100 persen,” demikian diakui Suhemi Akbar, pemilik tanah korban proyek PLTU Pangkalan Susu yang tunggal di Jalan Melati No 4 Pangkalan Beranda, kemarin.
Menurut Suhemi, bagi masyarakat yang bodoh dibayar 40 persen, tapi bagi yang vocal, pereman dan berpendidikan dibayar 100 persen. “Artinya sila kelima Pancasila di Kabupaten Langkat tidak berlaku. Kami tuntut Bupati Langkat pada penegak hukum kok begini Pemkab Langkat menjalankan roda pemerintahan? Itukan artinya pelanggaran HAM,” tegasnya.
Mirisnya, lanjut Suhemi, sejak 2013 kasus mereka tidak diproses. Lalu mereka datang ke pemerintahan di Jakarta. “Setelah itu pemerintahan pusat datang kemari. Pada saat dikerjakan PLN tidak ada potongan. Itu proyek PLTU Pangkalan Susu,” tukasnya.
Tapi tapak towernya 2009 dibangun PLN tidak ada masalah. Sejak LBHN muncul kemudian muncullah isu potong memotong di 12 kecamattan 30 desa. Menderita nasib yang sama. “Adalagi masalah sutet Medan Aceh sut 150 kp 1992-1999 UU tidak dibayar di bawah kabel tidak dibayar kami patuh namun kemudian muncul UU baru 1999. Sutet lewat di bawah tanah numpang lewat setiap harga tanah dibawah sutet harganya turun, 6 meter masyarakat tidak boleh menanam tumbuh-tumbuhan berartu ada perampasan hak atas tanah. Masyarakat tidak berdaulat diatas tanahnya sendiri. Kemudian muncul UU 199 muncul perintah wajib bayar, atas pertimbangan ekonomi dan sosial,” ujarnya.
Setiap pembangunan pasti berdampak adil dan makmur bukan seperti kata PLN. “Yang tidak kami dapatkan. Tanah kami tidak dibayar di pangkalan Susu dibayar. Tapi tanah kami yang terkenak jalur sutet tidak dibayar Itu tidak adil. Pembukaan UU Dasar ujud pembangunan itu mensejahterakan rakyat itu jelas. Yang nogmong ini siapa? PLN. Saya minta DPRI, DPRD dan DPD klarifikasi mengenai undang-undang. Sekarang bermain semua mulut, mari kita dengar pendapat MA.Siapapun yang bilang tidak bayar kita uji di MA,” tukasnya.
DPRD Langkat pernah perintahkan bayar tapi PLN tidak datang pada RDP. Pasal dua lapan ayat 4 UUD 45 setiap orang di RI dibatasi oleh UU. PLN jangan memakai tanh kami tanpa dibayar. Itu yang tak mereka terima. Inti poin pelanggaran HAM sampai hari ini tapak tower itu kami bayar pajaknya, sedangkan tanah tersebut sudah dikuasai PLN.
RDP di DPRI Langkat 5 Semptember tapi PLN tidak datag. Mediaasi KOMNAS Langkat, Pemkab Langkat DPRD dan DPD., tapi PLN juga tidak datang. PLN memakai hak kami jangan gratis PLN mengirim orang tapi tidak kompoten sehingga tidak bisa menjawab masalah yang kami hadapi. “Sehingga masalahnya tetap tidak selesai dan pelanggaran HAM tetap terjadi,” ujar Suhemi Akbar menjelaskan. (pi/sahrul)