Beranda BERITA UTAMA Indonesia Siaga

Indonesia Siaga

147
0

MEDAN (podiumindonesia.com)- TAHUN 2020 siaga. Siaga bencana, siaga pengganggu dari dalam dan luar negara, siaga pemindahan ibukota. Apakah lembaran baru ini Indonesia darurat musibah?

Pastinya, mengawali 2020 bencana menerpa negeri seribu pulau ini. Tak hanya di pulau Jawa, bahkan di daerah lainnya pun telah bersiap-siap mengantisipasi petaka. Ya, seperti halnya di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Adalah Kota Padangsidimpuan menetapkan siaga bencana.

Penetapan siaga bencana ini melihat kondisi dan situasi cuaca ekstrem yang jadi pemicu. Dalam upaya kesiapsiagaan penanggulangan bencana, Wali Kota Padangsidimpuan Irsan Efendi Nasution memimpin apel gelar pasukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama TNI dan Polri, Dishub, Satpol PP, Damkar dan Tagana, Kamis lalu.

“Apel siaga ini karena kondisi cuaca tak menentu dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan bencana alam,” ujar Irsan.

Menurutnya, diperlukan suatu gerakan aksi bersama untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, TNI, Polri, organisasi, masyarakat, lembaga media, keluarga dan individu agar mampu mengenali ancaman dan siaga dalam situasi darurat bencana secara cepat dan tepat.

“Sebagai daerah yang rawan, semua unsur baik itu TNI, Polri, BPBD, SAR dan elemen lain di daerah agar lebih waspada menghadapi potensi bencana,” katanya.

Peralatan dan personel harus siap membantu masyarakat terutama saat evakuasi dan penyelamatan korban. “Dalam tanggap bencana ini bukan semata tanggungjawab pemerintah, TNI, Polri, dan instansi terkait, akan tetapi ini merupakan panggilan kemanusiaan dan menjadi tanggungjawab bersama,” tuturnya.

Tak hanya Padangsidimpuan, begitu juga halnya Pemkab Dairi. Baru-baru ini Polres Dairi menggelar pasukan dalam merespons potensi cuaca ekstrem berdasarkan peringatan dini BMKG. Selain personel, juga disiagakan sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan jika terjadi bencana.

Kapolres Dairi AKBP Leonardo Simatupang mengatakan, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini curah hujan tinggi di wilayah Dairi. Ini sebagai langkah siaga bencana karena ada beberapa titik longsor di daerah ini.

Menurutnya, Polres Dairi akan mengerahkan 100 personel, dibantu dukungan TNI sebanyak 60 personel dan petugas BPBD Pemkab Dairi. Selain itu juga kesiapan alat berat, armada ambulans dan berbagai peralatan pendukung.

“Untuk sarana dan prasarana juga telah siap dan mencukupi,” katanya.

Sementara itu, Pemkab Dairi fokus kepada menyosialisasikan mitigasi bencana kepada masyarakat tentang bahaya dan penanganannya. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi korban saat terjadi bencana.

Dairi termasuk daerah rawan bencana longsor, banjir bandang dan tanah ambles. Dalam setahun terakhir (2019) tercatat terjadi beberapa bencana di berbagai daerah bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Longsor dan banjir bandang juga melanda tiga kecamatan di Kabupaten Lahat, Kamis (9/1) pagi, akibat debit dua sungai yang meningkat seiring hujan deras di wilayah setempat.

Demikian disampaikan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lahat, Marjono di Lahat.

Marjono mengatakan, longsor terjadi di Jalan Parekul Desa Pulau Pinang yang merupakan jalan provinsi, longsoran tanah bahkan menimbun satu unit mobil.

“Akses penghubung Kabupaten Lahat dan Pagaralam di Kecamatan Pulau Pinang untuk saat ini terputus,” ungkapnya.

Menurut dia, banjir melanda Desa Tanjung Sirih dan Lubuk Sepang di Kecamatan Pulau Pinang, lalu Desa Sukarame dan Ngulam Baru di Kecamatan Gumay Talang, serta Desa Gunung Kembang di Kecamatan Merapi Timur.

Banjir juga mengakibatkan Jalan Nasional penghubung Kabupaten Lahat dan Kabupaten Tebing Tinggi di Kikim Timur terputus.

Luapan air yang menyebabkan banjir bandang berasal dari Sungai Lematang dan Sungai Kikim, sebutnya peningkatan debit diakibatkan hujan yang turun di Wilayah Lahat, sejak pukul 02.00 WIB hingga pukul pagi.

“Untuk sementara kami belum menerima laporan kerusakan dan korban jiwa,” tambah Marjono.

Unsur tanggap bencana seperti BPBD, SAR, Polisi, TNI dan Pemkab Lahat sudah bergerak menuju lokasi bencana guna memastikan kondisi warga yang terdampak longsor maupun banjir.

Terlepas bencana yang menimpa pulau Sumatera, sebelumnya banjir juga menerpa Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Surabaya. Itu terjadi awal 2020. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, banjir Jakarta dan sekitarnya karena curah hujan ekstrem. Banjir ini tidak hanya menyebabkan dampak kerusakan material namun juga korban jiwa.

Beberapa wilayah di Indonesia yang terendam banjir data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi mencatat, ada 60 titik banjir dengan kedalaman sekitar 1 meter. Banjir juga merendam Kecamatan Rawalumbu. Berdasarkan catatan BPBD Provinsi Jawa Barat, selain Bekasi, tiga wilayah di Jawa Barat juga terendam banjir, yaitu Bogor, Depok, dan Karawang. Rincian dari BNPB, di Kabupaten Bekasi ada 32 titik banjir, Kota Bekasi 53 titik, dan Kabupaten Bogor 12 titik.

Akibat bencana banjir ini, lima orang di Bekasi dilaporkan meninggal dunia. Beberapa titik banjir yang di Jakarta di antaranya Kedoya Jalan Boulevard Barat, Kepala Gading, Jakarta Utara. Underpass Tol Cawang Kelurahan Kebon Baru, Jakarta Selatan Turunan flyover Lapangan Ros Tebet Catatan BNPB, 7 kelurahan dari 4 kecamatan di Jakarta terendam banjir. Ketujuh kelurahan itu adalah Kelurahan Makasar, Kelurahan Pinang Ranti, Halim Perdana Kusuma, Kampung Melayu, Rorotan, Rawa Buaya, dan Manggarai Selatan.

Di wilayah Kabupaten Tangerang, sejumlah kawasan yang dilaporkan terdampak banjir. Air masuk ke rumah-rumah dan menyebabkan mobil tenggelam. Tak hanya itu, dilaporkan terjadi terjadi banjir di beberapa wilayah seperti Jalan Tol Cipali km 136 Indramayu-Jabar.

Banjir yang melanda Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyebabkan belasan orang meninggal dunia. Di Provinsi Banten lima kecamatan di Kabupaten Lebak terdampak yaitu Cipanas, Lebakgedong, Curugbitung, Maja, dan Sajira. Dari NTT, belasan rumah dan fasilitas umum seperti gedung posyandu, gedung sekolah, tempat ibadah, sumur air, tanaman pertanian, di Dusun Luah Desa Hoder, Kecamatan Waigete Kabupaten Sikka terendam banjir. Salah seorang warga Desa Hoder Petrus Sion menyebutkan, banjir bandang yang menimpa desanya sempat membuat warga kaget.

Menyahuti musibah di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan penanganan banjir yang menerjang beberapa wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya harus dikerjakan bersama-sama oleh pemerintah pusat serta daerah, baik provinsi, kabupaten, dan kota.

Jokowi menyebut salah satu penyebab banjir di awal tahun baru 2020 ini karena kerusakan ekosistem dan ekologi. Selain itu, kata Jokowi, masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan.

Menurut Jokowi, saat ini yang paling penting adalah melakukan evakuasi terhadap warga terdampak banjir. Mantan gubernur DKI Jakarta itu menyebut keselamatan dan keamanan masyarakat harus didahulukan.

Jokowi menyatakan program Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung sudah berjalan sekitar 16 kilometer dari rencana keseluruhan 33 km.

Sementara, kata Jokowi pada wilayah hulu tengah dilaksanakan pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Pembebasan tanah dua proyek itu sudah lebih dari 90 persen, dengan perkembangan pembangunan fisik mendekati 45 persen.

“Kedua bendungan tersebut direncanakan selesai pada akhir 2020,” ujarnya.

Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan perlu penanganan yang saling terintegrasi antarinstansi untuk mengatasi banjir. Dia menegaskan, penanganan banjir harus dilakukan bukan hanya terpusat di Jakarta saja, tetapi beberapa wilayah terdampak lain seperti Banten, Lebak, Pandeglang, dan juga Bogor.

Berdasarkan pantauan BNPB, tercatat ada 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan Banten. Kapusdatin dan Humas BNPB Agus Wibowo memaparkan titik banjir terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat 97 titik, DKI Jakarta 63 titik dan Banten 9 titik.

Saling Bantah

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saling bantah terkait penyebab banjir Jakarta.

Basuki menyoroti normalisasi yang belum sepenuhnya dilakukan di Sungai Ciliwung. “Namun, mohon maaf Bapak Gubernur (Anies), selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 kilometer itu yang sudah ditangani dinormalisasi 16 km. Di 16 km itu kita lihat insyaallah aman dari luapan,” kata Basuki.

Pada kesempatan yang sama, Anies menepis pernyataan Basuki. Ia berujar normalisasi sungai tidak akan berfungsi dalam kaitannya menghadapi banjir jika tidak ada pengendalian air dari daerah di selatan Jakarta.

“Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya,” kata Anies.

Ia pun memberi contoh normalisasi di kawasan Kampung Melayu yang dilakukan pihaknya, namun tetap mengalami banjir.

“Artinya kuncinya itu ada pada pengendalian air sebelum masuk pada kawasan pesisir,” simpul Anies.

Terpisah, menurut pengamat Dede Sulaeman, Adi Pradana dan Hidayah Hamzah sekitar 640.000 orang di Indonesia terdampak bencana banjir setiap tahunnya.

Analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terdampak bencana banjir terbesar ke-6 di dunia, yakni sekitar 640.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 464 kejadian banjir setiap tahunnya.

Banjir yang disertai longsor menjadi bencana ke-6 yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 32 kejadian setiap tahunnya. Ada tiga faktor utama penyebab banjir dan longsor yang paling banyak disoroti, yaitu berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sejumlah ilmuwan yakin hujan ekstrem yang memicu banjir di Jakarta dan sekitarnya awal Januari lalu merupakan dampak perubahan iklim.

Merujuk survei yang dilakukan badan riset YouGov dan Departemen POLIS Universitas Cambridge tahun 2019, hanya 18% penduduk Indonesia yang mempercayai kaitan antara kehidupan manusia dan perubahan iklim.

Namun akademisi di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gusti Ayu Surtiari, menilai perubahan iklim bukan cuma tak dianggap nyata, tapi juga belum menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan publik.

Kegamangan pemerintah membuat proyek adaptasi perubahan iklim itulah yang disebut Gusti gagal menghindarkan masyarakat dari bencana alam.

“Perubahan iklim tidak hanya dianggap itu jauh, tapi karena dampaknya tidak terukur dan waktu terjadinya tidak tentu, pemerintah tidak berani mengambil risiko membuat program dengan ketidakpastian,” kata Gusti di Jakarta.

“Pemerintah tahu tapi sekedar tahu, tapi belum benar-benar ada program. Proyek adaptasi pasti mahal. Untuk bisa tahu total anggaran program adaptasi, mereka harus tahu dampaknya, nah itu belum terukur,” ujar Gusti.

“Mereka sebenarnya paham. Jakarta sudah ikut C40 (forum global pimpinan kota besar di dunia untuk menanggulangi perubahan iklim), pergi ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) juga.”

Fakhrudin, peneliti di Pusat Penelitian Limnologi LIPI, menyebut perubahan iklim menyebabkan curah hujan makin ekstrem pada musim penghujan. Sebaliknya, kekeringan ekstrem juga muncul saat musim kering.

Fakhrudin berkata, dengan kecenderungan hujan deras yang akan terus meningkat di kawasan Jabodetabek, banjir juga bakal kerap terjadi di wilayah tersebut.

BMKG menyatakan perubahan siklus hujan ekstrem di Indonesia berubah. Fenomena cuaca itu kini terjadi lebih cepat dari perkiraan, dari yang awalnya 10-20 tahun menjadi siklus lima tahunan.

Berdasarkan sejarah, sejak zaman Belanda, Batavia yang akhirnya berubah menjadi DKI Jakarta yang sekarang memang telah menjadi langganan banjir.

Tokoh sejarah dan budayawan Betawi Ridwan Saidi menyatakan banyaknya banjir yang telah terjadi, seharusnya bisa menjadi sumber pelajaran untuk menyikapi dan menangani kemungkinannya terjadi lagi. Ada yang bilang, jangan membanding-bandingkan. Fokus saja pada penanggulangan dan penyelamatan para korban.

“Jika kita tak enggan untuk membandingkan data yang ada, maka kita akan mengerti bahwa sebenarnya banjir yang terjadi dari era pemerintahan Gubernur Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan telah mengalami perbaikan dan penurunan dampak yang sangat berarti. Tak perlu caci maki, sakit hati dan emosi,” katanya.

Natuna & Pemindahan Ibukota

Bencana yang menerpa Indonesia di awal tahun 2020 ini menjadi peringatan. Apalagi pemerintah telah mengambing ancang-ancang untuk memindahkan ibukota negara. Ini akibat kurang efektifnya Jakarta sebagai ibukota negara. Malah wacana itu seperti bakal jadi kenyataan.

Sejumlah alasan pemindahan ibukota yakni karena Jawa sudah lelah. Lebih dari separuh penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa yang luasnya lebih kecil dibandingkan Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,” kata Bambang, beberapa waktu lalu.

Apalagi di Jakarta, dengan segala masalah yang hadir yakni macet, banjir, lahan, serta masalah air. Hitungan pemerintah, kerugian yang ditimbulkan akibat macet bisa mencapai Rp 100 triliun dan 50% wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi sinyal aset-aset negara di Jakarta nantinya akan dipakai untuk pembiayaan ibu kota baru di Kalimantan, tak semuanya dijual, tapi ada skema lain seperti sewa atau kerja sama operasi atau lainnya.

Di depan MPR, DPR hingga DPD dan disaksikan seluruh masyarakat melalui media digital dan televisi, Jokowi meminta izin kepada anggota legislatif mengenai rencana pemindahan ibu kota.

Melalui pidato kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, Jokowi menyebut pasti bahwa ibu kota pindah ke Kalimantan.

Rencana pemindahan Ibu Kota telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 edisi revisi bulan Juni 2019 Proyek ini berada dalam program prioritas nasional nomor 2.

Tahapan berikut, yaitu 2025-2029, akan dibangun sejumlah properti di kawasan ibu kota negara (40.000 ha) antara lain perumahan ASN/TNI/Polri, fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga pangkalan militer.

Tahap berikut, yaitu 2030-2045 akan dibangun sejumlah instrumen berupa taman nasional, konservasi orang utan, klaster permukiman non-ASN, dan wilayah pengembangan terkait dengan wilayah provinsi sekitarnya. Ada dua zonasi dalam tahap ini, yaitu kawasan perluasan IKN I (200.000 ha) dan kawasan perluasan IKN II (lebih dari 200.000 ha).

Berkaca pada sejarah, rencana pemindahan ibu kota yang saat ini dilakukan pemerintahan Jokowi dianggap telah memenuhi 2 unsur penting yaitu faktor pendorong dan faktor penarik.

Selain permasalahan bencana alam di awal 2020 ini, pemindahan ibukota negara, nah yang paling urgent lagi adalah klaim China terhadap kepulauan Natuna. Sejauh ini hubungan Pemerintah Indonesia dan China memanas menyusul dugaan pencurian dilakukan kapal Negeri Tirai Bambu di perairan Natuna. Indonesia sendiri sudah menyampaikan protes lewat nota diplomatik ke China.

Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengaku belum bisa menyimpulkan dampak dari memanasnya hubungan antara Indonesia dan China terhadap ekonomi RI. Apalagi belakangan China diketahui sedang gencar melakukan investasi di Tanah Air.

Airlangga mengungkapkan persoalan di perairan Natuna sebetulnya sudah berlangsung lama. Tak hanya kapal nelayan dan coast guard China saja yang terpantau di perairan tersebut, belakangan kapal nelayan Vietnam dan Malaysia juga melaut di sana.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengaku telah berbincang mengenai nasib perairan Natuna yang saat ini telah diklaim China sebagai daerah teritorialnya. Pemerintah akan mengambil sikap, utamanya mencari jalan keluar yang tepat.

“Kita tentunya gini, kita masing masing ada sikap. Kita harus cari satu solusi baik-lah di ujungnya. Saya kira ada solusi baik,” jelas dia

Menurut Prabowo, solusi terbaik saat ini sangat tepat ketimbang mengambil langkah-langkah tindakan tegas. Sebab bagaimana pun kata dia, China merupakan negara sahabat Indonesia dalam hal perdagangan.

“Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat,” katanya.

Bencana Banjir Jakarta Masa Gubernur:

Era Jokowi

2013
Kecamatan terdampak: 116
Kelurahan terdampak: 263
Warga terdampak: 1.426.478 orang
Korban meninggal: 40 jiwa
Jumlah pengungsi: 90.913 orang
Jumlah pengungsian: 1.250 titik
Lama genangan: 2-15 hari
Ketinggian banjir: 10-400 cm

2014
Kecamatan terdampak: 107
Kelurahan terdampak: 252
Warga terdampak: 526.353 orang
Korban meninggal: 23 jiwa
Jumlah pengungsi: 167.727 orang
Jumlah pengungsian: 593 titik
Lama genangan: 1-20 hari
Ketinggian banjir: 10-400 cm

Era Ahok

2015
Kecamatan terdampak: 89
Kelurahan terdampak: 217
Warga terdampak: 282.138
Korban meninggal: 5
Jumlah pengungsi: 45.813
Jumlah pengungsian: 409
Lama genangan: 0-7 hari
Ketinggian banjir: 10-300 cm

2016
Kecamatan terdampak: 156
Kelurahan terdampak: 329
Warga terdampak: 232.577
Korban meninggal: 2 jiwa
Jumlah pengungsi: 7.758 orang
Jumlah pengungsian: 409 titik
Lama genangan: 1-2 hari
Ketinggian banjir: 5-360 cm

Era Ahok, Djarot, dan Anies

2017
Kecamatan terdampak: 149
Kelurahan terdampak: 264
Warga terdampak: 47.203
Korban meninggal: 6
Jumlah pengungsi: 9.100
Jumlah pengungsian: 134
Lama genangan: 1-20 hari
Ketinggian banjir: 10-400 cm

Era Anies

2018
Kecamatan terdampak: 83
Kelurahan terdampak: 135
Warga terdampak: 32.713
Korban meninggal: 1
Jumlah pengungsi: 15.627
Jumlah pengungsian: 62

2019
Kecamatan terdampak: 45
Kelurahan terdampak: 59
Warga terdampak: 3.860
Korban meninggal: 1
Jumlah pengungsi: 725
Jumlah pengungsian: 13

2020
Kecamatan terdampak: 17
Kelurahan terdampak: 39
Warga terdampak: –
Korban meninggal: 9
Jumlah pengungsi: 11.474
Jumlah pengungsian: 70
(pi/nt)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini