MEDAN (podiumindonesia.com)- Menyikapi viralnya putusan hakim PN Bekasi yang menolak gugatan perceraian, Jonson David Sibarani SH angkat bicara, Kamis (25/11/2021), melalui suratnya kepada wartawan.
Jonson menyatakan sependapat dengan pertimbangan hukum yang disampaikan hakim. “Dari pertimbangan hukum yang disampaikan hakim (versi berita), aku rasa itu sudah tepat,” katanya.
Sebab, lanjut Jonson, pada prinsipnya perceraian itu jangan dipermudah. Kecuali memang tidak terbantahkan lagi syarat-syaratnya (perceraian) sebagaimana dimaksud dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
“Nah, terkait para pihak adalah orang Batak dan Nasrani, saya lebih setuju lagi (bahwa perceraian itu jangan dipermudah). Sebab sewaktu orang Batak menikah, wajib hukumnya secara adat mengundang dan memohon restu dari raja-raja adat (Dalihan Natolu) yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru,” terang pria berambut plontos ini.
Jadi, tambah Jonson, perceraian juga harus meminta izin dari Dalihan Natolu. “Supaya gak gampang-gampang kali bercerai,” tukasnya.
Begitu juga dengan hukum Agama (Nasrani). Perkawinan Kristen tidak bisa dipisahkan kecuali oleh karena maut. “Artinya, hanya bisa dipisahkan oleh karena kematian/tidak dibenarkan bercerai. Banyak memang kasus cerai di lingkungan Batak. Justru inilah yang perlu dicegah ke depan hari, agar perkawinan yang sakral itu bisa dipertahankan,” ujar Jonson.
Untuk itu Jonso menyarankan untuk klien perceraian yang bersuku Batak dan lebih menerapkan pemberian nasihat agar pihak yang mau mengajukan perceraian agar berfikir panjang. Sebab di adat Batak dan Agama Nasrani, perkawinan itu adalah sakral. Harus ada restu dari Dalihan Natolu (adat) dan harus ada janji nikah (Agama Nasrani) di hadapan Pendeta disaksikan handai tolan termasuk unsur Dalihan Natolu.
“Dalam hal perkawinan, adat Batak dengan ajaran Nasrani saling menguatkan. Saya contohkan saja diri saya, yakni seorang Warga Negara Indonesia, bersuku Batak, beragama Nasrani. Maka ada 3 hukum yang melekat pada pernikahan yakni, sewaktu dinikahkan secara Agama di Gereja dengan pemberkatan dari Pendeta. Hukum Agama menegaskan, perkawinan Nasrani tidak dapat dipisahkan selain oleh karena kematian. Kemudian, dinikahkan secara adat (Hukum Adat). Di sinilah peran Dalihan Natolu, yakni merestui, menasehati dan sebagainya,” beber Jonson.
Kemudian, kata dia lagi, pernikahan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (Hukum Negara). “Menikahnya saja sulit, tentu perceraiannya akan lebih sulit lagi. Sebab para pihak harus membatalkan 3 hukum yang sudah diikrarkan tadi. Secara Agama sudah jelas dilarang. Secara Adat tentunya harus melalui Dalihan Natolu (istilah Bataknya DIPAULAK atau dipulangkan untuk dinasihati terlebih dahulu oleh keluarga asal),” imbuhnya.
Lalu, bila sudah memang tidak bisa dipersatukan lagi, termasuk
dengan mediasi yang dilakukan Dalihan Natolu, Jonson pun memsilahkan menempuh jalur hukum negara (cerai di pengadilan).
Terkait salah satu pihak melaporkan hakim, menurutnya itu sah-sah saja. “Seseorang mau melaporkan, itu adalah haknya. Tapi benarkah dan pantaskah laporannya nanti diterima atau dikabulkan? Tentu masih harus dilihat unsur- unsurnya. Lalu terkait apakah lembaga dalihan natolu itu ada? Apakah terdaftar resmi, sehingga jika ada kasus cerai bisa dimediasi?” ungkapnya sembari menambahkan hal tersebut merupakan hukum adat.
Hanya saja, lanjutnya, hukum adat itu jarang disebut lembaga. Tapi DalihanNatolu itu memang ada di adat Batak. Itulah hula-hula, dongan tubu dan boru.
“Hukum adat beda. Dia tidak harus terdaftar resmi. Bahwa Dalihan Natolu itu memang ada dan berlaku serta diakui di adat Batak. Dalihan Natolu terdiri dari: Hula-hula (kerabat yang paling tinggi/dituakan), Dongan Tubu (kerabat yang setara dengan
kita sendiri), Boru (kerabat di bawah dari jajaran kita). Di mana posisi ketiganya adalah merupakan ikatan yang saling mendukung. Ini berlaku di semua marga, di semua keluarga. Tidak ada istilah terdaftar resmi sebagaimana layaknya
lembaga-lembaga atau organisasi,” pungkas Jonson. (pi/ril/win)