TOKYO (podiumindonesia.com)- Manajer hotel di Jepang, Takashi Hosokawa, membeli anggur Ruby Romawi seharga 1,2 juta yen (Rp155,7 juta) dalam lelang di Kanazawa, Jepang, kemarin.
Anggur merah tua berjumlah 24 biji itu terkenal di Jepang untuk kadar gulanya yang tinggi dan tingkat keasamannya yang rendah. “Kami menawarkan 1,2 juta yen untuk menandai 12 tahun sejak anggur ini dipasar kan di Jepang dan untuk merayakan pelelangan pertama era Reiwa atau era Kaisar Naruhito,” kata Hosokawa, dikutip CNN.
Dia menambahkan, “Kami ingin mengungkapkan kegembiraan yang kami rasakan kepada para pelanggan setia kami di Ishikawa.” Anggur Ruby Romawi pertama kali ditanam dan dipasarkan di Jepang pada 2008.
Sejak saat itu, popularitasnya meroket. Harga anggur eksklusif itu sangat mahal karena pasokannya terbatas. Tahun ini, jumlah anggur Ruby Romawi yang akan dipasarkan di Jepang diperkirakan mencapai 26.000 biji.
Anggur manis dan berkulit mulus itu termasuk barang mewah. Karena itu, anggur Ruby Romawi sering dijadikan kado atau hadiah prestisius untuk tujuan promosi bisnis. “Buah mahal ini sering menjadi simbol betapas pesialnya orang yang kita sayangi,” kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia Universitas Wisconsin-Madison, Soyeon Shim.
Sejumlah petani di Jepang mengatakan, penanaman anggur Ruby Romawi tidaklah mudah. Mereka memerlukan teknik tertentu. Tingkat kesulitannya sama seperti menanam semangka berbentuk persegi, hati, dan segi tiga atau stroberi berwarna putih.
Mereka biasanya menanamnya di tanah Karatsu, Pulau Kyushu. “Semua orang terkejut ketika melihat stroberi di sini berwarna putih,” ujar petani Yasuhito Teshima. Dengan tingkat kesulitan dan risiko yang tinggi, stroberi putih lebih rentan mengalami cacat.
Teshima hanya mampu menjual sekitar 10% dari hasil panennya. Wajar jika stroberi itu dibanderol Rp565.000 per buah. Stroberi putih masih tidak seberapa mahal dibanding stroberi milik Okuda Nichio. Buah seukuran bola tenis itu dibanderol Rp64 juta per buah.
Stroberi tersebut hanya dapat diproduksi sekitar 500 buah per tahun. Profesor Lynne Nakano dari Universitas Hong Kong mengatakan, buah unik telah menjadi tren di Jepang. “Struktur pertanian di Jepang berbeda dan mengalami perubahan dibandingkan tempat lain.
Menilik sejarah, sejak zaman Perang Dunia II berakhir, Jepang tidak lagi memiliki pertanian besar,” kata Nakano. Dia menjelaskan, “Karena itu, petani di Jepang tidak ber saing berdasarkan skala, me lainkan berdasarkan produk khusus.”
Nakano menambahkan, para konsumen juga selalu berupaya mendukung petani dengan menawarkan harga fantastis. “Hal ini sekaligus untuk mendorong generasi muda bahwa mereka juga dapat sukses dan meraih untung besar dengan menjadi petani. Seperti kita ketahui, petani di Jepang kini kian menua,” katanya. (pi/snd)