STABAT (podiumindonesia.com)- BERTUBUH bongsor, rindang, banyak ditumbuhi akar menjuntai. Layak untuk tempat bernaung. Namun, teteduhan di bawah pohon itu tak selamanya bisa nyaman. Kadang membawa keangkeran. ‘Magis’ Beringin yang dihuni elit politik di negeri ini tak lagi bisa bersuara lantang. Jalan terakhir para kader hengkang dan bergabung ke partai sang Jenderal. ‘Suara Golkar Suara Rakyat’ akankah sekadar semboyan?
Tak salah jika sekarang si Beringin yang merupakan lambang Partai Golkar makin tahun kian kropos. Alih-alih mendeklarasikan diri sebagai penguasa Pilkada 2018 mendatang, malah berbuah perpecahan. Bukan hanya kisruh di pimpinan pusat, bahkan berimbas ke dewan pimpinan daerah (DPD).
Klimaksnya terjadi pada Selasa pekan lalu. Isu pun menyembur ke permukaan. Ya, teranyar ‘terbangnya’ sejumlah kader yang pernah membesarkan Partai Golkar di Sumatera Utara (Sumut). Tercatat 16 kader melepaskan jabatan di saat H Ngogesa Sitepu menjabat Ketua DPD Partai Golkar Sumut.
Apa pasal? Mengapa para kader pindah ke partai sang Jenderal (Hanura)? Tanda tanya seakan kajian ini menjadi buah bibir. Apalagi deadline pendaftaran calon kepala daerah telah di penghujung waktu. Kondisi tersebut menambah dilematis pecinta partai tertua di negeri seribu pulau ini untuk memberikan dukungannya.
Nah, dari beberapa sumber diperoleh PODIUM, Jumat (13/10) menyebutkan, aksi gerombolan kader angkat kaki dari Partai Golkar Sumut, lebih disebabkan pencalonan kepala daerah. Terutama pemilihan Gubernur Sumatera Utara.
Artinya, apa yang diharapkan mereka (para kader) memilih calon di Pilgubsu mendatang, toh melenceng dari perkiraan. Legitimet Letjen Edy Rahmayadi calon Pilgubsu, itu malah kabarnya digaungkan pada era Ajib Shah (masa Ketua DPD Golkar Sumut).
Adalah Sodrul Fuad, satu dari 16 kader Partai Golkar tersebut. Kepada wartawan, dia berkomentar kepindahannya ke Partai Hanura merupakan sebab akibat.
Sodrul tak menampik sikapnya ini tak terlepas dari pilihannya terkait sosok yang akan diusung pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2018-2023 mendatang.
Sodrul mengatakan, ia bersama beberapa rekannya semasa di Golkar memiliki sosok pilihan yang hendak diusung pada pemilihan nanti. Namun seiring berjalannya waktu, partai yang membesarkan namanya di kancah politik Sumut itu memilih sosok lain.
Akhirnya Sodrul berada pada kondisi yang mengharuskannya mengambil sikap. Di sisi lain, Golkar memiliki aturan main yang mesti dipatuhi seluruh unsur partai. Termasuk wajub mentaati pilihan partai untuk sosok yang akan diusung pada pemilihan gubernur di Sumut.
Dengan berbagai pertimbangan, Sodrul bersama sejumlah rekannya memilih keluar. Ia bergabung dengan partai lain yang menurutnya satu visi dan misi sosok Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut sama seperti keinginannya. Partai itu yakni Hanura.
Disebutkan, era H Ngogesa Sitepu, Sodrul menjabat sebagai Ketua Koordinator Bidang Kajian Strategis DPD Golkar Sumut. Sodrul juga pernah menjabat sebagai Sekretaris DPD Golkar Sumut pada era Ajib dulu.
Sedangkan saat ini, Sodrul dipilih Kodrat sebagai Ketua Bidang Organisasi DPD Hanura Sumut. “Saya hanya ingin membantu orang baik untuk berbuat baik, karena itu kewajiban,” katanya.
Sodrul menambahkan, sejak masa Ajib Shah memimpin DPD Golkar Sumut, ia bersama beberapa rekannya menginginkan Edy Rahmayadi untuk diusung partai berlambang pohon Beringin itu.
Upaya pun dilakukan mereka agar Golkar memilih Edy Rahmayadi. Namun, Golkar akhirnya menjatuhkan pilihan kepada sosok lain, yakni pasangan Tengku Erry Nuradi-Ngogesa Sitepu.
“Dari awal, sejak Pak Ajib, kami komitmen untuk memilih Pak Edy Rahmayadi,” tambahnya.
Tak lama berselang, kejutan datang dari Hanura. Mantan Ketua Dewan Pertimbangan DPD Golkar Sumut, Kodrat Shah, ditunjuk sebagai Ketua DPD Hanura Sumut menggantikan Tuani Lumban Tobing.
Kodrat sendiri diketahui pernah blakblakan bilang akan memilih Edy Rahmayadi untuk diusung partainya pada pemilihan nantinya. Langkah Kodrat pindah ke Hanura ini tak lama kemudian diikuti oleh sejumlah kader dan pengurus Golkar Sumut.
Kabar exodus sejumlah kader dan pengurus Golkar ke Hanura merebak lantaran beredarnya Surat Keputusan DPP Hanura Nomor SKEP/132/DPP-HANURA/IX/2017 tertanggal 28 September 2017. Surat ini ditandatangani oleh Ketua Umum Oesman Sapta Odang dan Sekretaris Jenderal Syarifuddin Sudding.
Sedikitnya ada tujuh tokoh elit partai Golkar masuk dalam jajaran kepengurusan. Yakni Sodrul Fuad, Ketua Koordinator Bidang DPD Partai Golkar Sumut, mendapat jabatan di DPD Hanura Sumut sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi.
Kemudian, Daudsyah Munthe yang diketahui pernah menjabat Ketua DPD Partai Golkar Labuhanbatu Utara, kini di Hanura diberi jabatan sebagai Wakil Ketua Bidang Keanggotaan.
Selanjutnya Syafrida Fitri, mantan Anggota DPRD Sumut dari Partai Golkar yang diberi posisi Wakil Ketua Bidang Penggalangan Perempuan di DPD Partai Hanura Sumut. Lalu Munawir Fuady, Ketua Kecamatan Partai Golkar Percut Sei Tuan, di Partai Hanura Sumut dia menjabat Wakil Bendahara Bidang Keanggotaan.
HN Serta Ginting yang pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar, di Hanura diberi jabatan sebagai wakil Ketua Dewan Penasihat.
Terakhir, nama Syarfi Hutauruk, Wali Kota Sibolga yang didapuk menjadi Ketua Dewan Penasihat.
Sekretaris DPD Golkar Sumut, Irham Buana Nasution saat dihubungi kemarin, mengaku baru mendapatkan informasi tersebut. Ia pun menyebut akan menelusuri kebenaran kabar tersebut.
“Oh baru tahu kita itu, yang kita tahu selama ini dia (Syarfi Hutauruk-red) kader Golkar bahkan pernah menjadi anggota DPR RI 3 periode dari Golkar, pernah menjadi dewan pertimbangan Golkar Sibolga, tapi kalau ada dalam SK terbaru ini baru tahu kita,” kata Irham.
Syarfi Hutauruk Hutauruk dalam jawaban resmi terkesan malu-malu. Kendati namanya jelas tercantum dalam SK tersebut, Syarfi menyebut masih mencari tahu kebenaran struktur DPD Hanura tersebut agar dapat mengambil sikap dan langkah yang pasti.
Sementara itu, Korbid Pemilu Golkar Sumut, Sahlul Umur Situmeang agarnya merespon keras perpindahan para elit partai Golkar tersebut. Ia bahkan mengaku akan mendorong DPD Golkar Sumatera Utara agar mendorong DPP Golkar mengeluarkan sikap tegas kepada mereka yang telah berpindah partai.
Di lain pihak, isu kepindahan tujuh elit Partai Golkar ke Hanura ditanggapi Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Faisal Riza.
Faisal menilai menyebut kepindahan elit Golkar di Sumut efek domino konflik di internal Golkar yang berkepanjangan.
“Migrasi besar itu lebih disebabkan konflik Golkar pusat yang berkepanjangan, citranya dan pengaruhnya di daerah terus turun,” kata Riza.
Kendati demikian Riza mengatakan kepindahan kader partai dipicu sejumlah faktor substansial. Di antaranya eksistensi partai yang saat ini tidak lagi terideologis dan cenderung pragmatis. Faktor lain, kata Riza, yakni keberadaan partai yang rapuh secara institusional dan tak tertib.
Setnov ‘Sakti’
Setya Novanto ‘sakti’. Begitulah setidaknya tergambar dalam kasat mata. Dia melenggang dari Rumah Sakit Premier Jatinegara pada 2 Oktober kemarin. Kesembuhan Ketua Umum Partai Golkar ini setelah sah mendapat info menang atas banding status tersangka e-KTP pada 29 September.
Mirisnya, usai KPK menetapkan Setya Novanto (17 Juli) sebagai tersangka, kemudian dia jatuh sakit. Setidaknya 21 hari Setya Novanto alias Setnov menjalani perawatan medis.
Usai sembuh, nyatanya Setnov mengambil kebijakan di luar nalar. Dengan ‘tangan besinya’, Setnov memecat Ketua Koordinator Bidang Polhukam Yorrys Raweyai. Sehari berselang lalu Setnov mengangkat Letjen TNI (Purn) Eko Wiratmoko menggantikan pria asal Papua itu.
Sebagaimana surat revitalisasi Partai Golkar bernomor KEP-252/DPP/Golkar//X/2017 yang kini telah beredar luas itu ditandatangani langsung oleh Setnov sebagai Ketua Umum Golkar dan Idrus Marham selaku Sekjen Golkar.
Berdasarkan surat yang beredar yang diterima redaksi pada Minggu (8/10), ada sebanyak 300 kader yang ditetapkan Setya Novanto sebagai pengurus DPP Partai Golkar hasil revitalisasi partai.
Menanggapi putusan yang dianggap ‘ngeyel’ ini, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu wilayah Sumatera-Jawa, DPP Partai Golkar, Nusron Wahid memgaku tak setuju dengan pemecatan Koordinator Polhukam Golkar Yorrys Raweyai.
“Saya enggak setuju (pemecatan Yorrys Raweyai). Situasi kayak gini kita tidak boleh mecat orang, nambah orang boleh,” kata Nusron Wahid usai rapat pleno di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neri, Slipi, Jakarta Barat, Rabu kemarin.
Nusron mengungkapkan, harusnya Partai Golkar bukan memberhentikan anggota lama melainkan menambah anggota baru. Sebab, tiap kader partai yang sudah lama terlibat di partai, pasti mempunyai pendukung.
“Situasi sekarang ini kita enggak boleh memecat orang, nambah orang boleh, karena kita butuh pendukung. Sejelek jeleknya orang itu punya pendukung, mau 10 ribu, seribu, dua ribu, tiga ribu, sementara kita butuh pengikut,” papar Nusron Nusron.
“Yang harus dipecat itu orang yang sudah terbukti melakukan tindakan korupsi. Itu harus dipecat, idealnya. Saya sampaikan apa adanya. Namanya restrukturisasi, revitalisasi itu dalam rangka proses menambah kekuatan demi pemenangan pemilu mendatang. Tapi sudah diputuskan seperti itu. Kita lihat nanti seperti apa,” tandas Nusron Wahid.
Senada dikatakan anggota Generasi Muda Partai Golkar (GMPG), Almanzo Bonara. Dia pun mengkritik soal kebijakan tersebut. Almanzo mengatakan jika revitalisasi tersebut sama saja dengan pemecatan kader, hanya redaksional saja yang diperhalus namun subtansinya tetap sama.
“Pemecatan atau revitalisasi yang dimaksud tak lain hanya untuk mengamankan kepentingan pribadi Setya Novanto sebagai ketua umum partai Golkar, bukan untuk menyelamatkan partai Golkar dari serangkaian persoalan korupsi,” ujarnya.
Ia berpendapat tidak melihat adanya urgensitas keputusan merevitalisasi pengurus dalam kaitannya untuk memulihkan citra partai sebagaimana yang diucapkan oleh elit DPP, di saat skandal e-KTP masih terus melilit ditubuh partai Golkar.
Bahkan itu tidak mengembalikan tingkat kepercayaan publik yang sangat negatif terhadap Golkar dibawah kepemimpinan Setya Novanto.
“Semangatnya yang kami lihat adalah hanya memecat dan menggeser para kader yang dianggap kritis mempersoalkan dan membongkar keterlibatan Setya Novanto dalam skandal korupsi e-KTP,” katanya.
Seperti diketahui, rapat pleno tersebut juga membahas soal pengambilan keputusan rangkaian perayaan HUT ke 53 Partai Golkar yang akan berlangsung di Kota Makassar.
Selain itu, dibentuknya tim seleksi calon legislatif guna persiapan Pemilukada 2018 dan Pemilihan Umum 2019 memdatang.
“Rangkaian kegiatan pelaksanaan HUT Golkar ke-53 yang acara puncaknya dilaksanakan di kota Makassar. Kedua adalah tadi diambil kesepakatan tentang tim rekrutmen calon legislatif dengan pembagian tugas yang ada,” kata Idrus Marham. (PI/TIM)