Beranda OPINI Bijak Dalam Menyikapi Hasil Hitung Cepat (OLEH: MAHMUD HAMDANI)

Bijak Dalam Menyikapi Hasil Hitung Cepat (OLEH: MAHMUD HAMDANI)

129
0

PERHELATAN pemilihan presiden dan legislatif baru saja usai, dengan pencoblosan yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 kemarin. Tahapan lanjutan adalah penghitungan suara baik untuk pilpres maupun legislatif.

Dari beberapa lembaga survey yang terakreditasi untuk melakukan hitung cepat. Hasil hitung cepat sudah diperoleh angka-angkanya. Angka dan prosentase perolehan suara yang membuat pasangan calon presiden merasa “menang”.

Yang percaya dengan lembaga survey “eksternal” senyum karena perolehan suara meskipun tidak sesuai harapan, tapi masih menang. Yang kurang diuntungkan memakai lembaga survey “internal” dan jadi menang juga. Jadi semua bisa senyum dan menang. Semua happy, karena masing-masing pasangan calon menang semua.

Tinggal kesabaran saja yang diuji selama menanti hasil “real count” dari KPU, dan bukan hasil “Eksternal atau Internal”.

Meskipun demikian ada hal menarik ketika masing-masing pasangan calon dan timnya mensikapi hasil hitung cepat?

Pasangan calon 01, mensyukuri hasil hitung cepat itu dan meminta para pendukungnya untuk bersabar, sambil menunggu hasil “real count” dari KPU. Ini bisa dimaklumi, karena dari berbagai lembaga survey paslon 01 unggul atas paslon 02 dikisaran 54, 48 persen melawan 45, 52 persen.

Pasangan calon 02 juga menang dikisaran 55 persen dan pasangan 01 memeroleh suara 45 persen. Meskipun berdasarkan hasil survey internal.

Bahkan malam hari, pasangan calon 02 “berani” mengumumkan bahwa sudah menang melawan pasangan 01. Adapun prosentasenya 62 persen berbanding dengan 38 persen.

Pernyataan seperti ini sebenarnya sangat disayangkan. Sebab cepat-cepat puas diri dan yakin menang berdasarkan data yang dimiliki sendiri. Sehingga menapikan kemungkinan hasil berbeda dari pihak lain.

Dampaknya adalah kalau hasil real count dari KPU, ternyata hasilnya berbeda bisa dipastikan akan terjadi kegaduhan. Akan muncul tuduhan-tuduhan baru bahwa KPU tidak netral dan menjadi alat kekuasaan.

Kasus sama penyikapan ‘berbeda’. Ini menunjukkan ada hal yang salah dalam konsep berfikir. Bila selalu berulang dan berulang pada para pemimpin masyarakat, berarti memang konsep kepemimpinan itu yang diajarkan dalam komunitas tersebut.

Sudah saatnya bagi para pemimpin negara dan masyarakat untuk dapat menahan diri. Utamanya bila berkaitan dengan dirinya. Serta dalam berfikir dan bersikap, senantiasa mengedepankan kepentingan masyarskat luas.

Sebab pemimpin hadir di tengah masyarakat untuk melayani bukan dilayani.

Semoga pemilihan presiden makin menguatkan dan bukan melemahkan. Semoga. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini