MEDAN (podiumindonesia.com)-
‘Kami jurnalis bukan teroris, tegakkan UU Pers No 40Tahun 1999, usut tuntas kekerasan terhadap pers’.
Demikian sejumlah tulisan dalam selembar karton tampak di Bundaran Air Mancur, Jalan Sudirman Medan, Senin (25/2/2019).
Tulisan itu menceritakan masih adanya tindak kekerasan terhadap wartatawan. Padahal, para jurnalis bekerja tetap dilindungan oleh UU Pers No 40 Tahun 1999. Namin sayang hal tersebut seolah tak diindahkan oleh sekalangan oknum.
Pihak-pihak yang merasa terganggu, masih saja menganggap keberadaan jurnalis di suatu peliputan sebagai ‘tamu yang tak diundang’. Dan seyogiayanya jurnalis bekerja melihat, mendengar, dan menulis sesuai fakta yang terjadi.
Jadi memang adakalanya peran jurnalis itu seperti tamu yang tak diundang dan kadang diundang.
“Kami mengutuk keras atas aksi kekerasan yang menimpa kaum jurnalis di Jakarta. Untuk itu kami meminta Kapolri mengusut dan menangkap pelaku penganiaya,” sergah salah seorang jurnalis Medan yang menggelar aksi damai.
Mereka bilang bahwa jurnalis bukan teroris. Pasalnya, jurnalis bertugas dilengkapi dengan kartu dan bukanlah orang sembarang yang harus dihina atau dianiaya.
Aksi damai jurnalis di Medan ini terkait penganiayaan yang menimpa wartawan di Jakarta saat meliput acara Munajat 212.
Sebagaimana diberitakan, wartawan detikcom Satria Kusuma dianiaya dan mengalami kekerasan pada saat meliput acara Malam Munajat 212 di Monas.
Pada saat merekam kericuhan aksi pencopet, Satria dipiting dan kedua tangannya dipegangi sejumlah orang.
Mereka memaksa Satria menghapus video yang sudah direkamnya.
Karena tekanan massa, wartawan detikcom akhirnya menghapus rekaman. Intimidasi dilaporkan terus berlanjut saat dia dibawa ke tenda.
Di sana, dia dikerumuni belasan atau mungkin puluhan orang berpakaian putih-putih di mana dia sempat dipukul dan dipaksa berjongkok. Massa juga mengintimidasi lewat kata-kata. (syahduri)