JAKARTA (podiumindonesia.com)- Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, menegaskan people power merupakan bagian demokrasi. Ia meminta agar berhenti memberi stigma negatif dan menyeramkan pada people power.
“People power itu merupakan bagian dari demokrasi. Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” kata Fadli, kemarin.
Menurutnya, bulan Mei punya arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, 21 satu tahun lalu, Indonesia memasuki babak baru kehidupan demokrasi, era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan.
“Satu per satu fondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu,” kata Fadli.
Sayangnya, ia menilai sesudah lebih dari dua dekade, perjalanan berdemokrasi Indonesia sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, ia mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.
“Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran. Di antara berbagai indikator, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia,” kata Fadli.
Menurut Freedom House, ia menjelaskan kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara ‘bebas’ (free) menjadi negara ‘bebas sebagian’ (partly free). Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan.
“Peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018). Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’,” kata Fadli.
Ia mengatakan penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun BPS (Badan Pusat Statistik). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.
“Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen,” kata Fadli.
Menurutnya, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. Jadi, sesudah 20mtahun Reformasi, kini Indonesia sedang berada di titik balik otoritarianisme.
“Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi. Akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi kita tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi. Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan Pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi, tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian,” kata Fadli.
Ia mencontohkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta.
“Menurut saya, ini sudah kelewatan. Seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan ‘melindungi dan mengayomi’,” kata Fadli.
Ia mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara ini tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara, memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat. Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim.
“Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik. Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini,” kata Fadli.
Menurutnya, saat ini keadilan merupakan isu sensitif. Sebagai penegak hukum, jangan sampai polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya. Bisa mahal sekali harganya.
“Itu sebabnya, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, saya meminta agar Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat,” kata Fadli. (pi/vvc)