JUMLAH penduduk Indonesia sekira 265 juta jiwa. Dengan total 14.572 pulau. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Ada sekitar 742 bahasa dan tercatat sebagai pemilik bahasa kedua terbanyak se-dunia setelah Papua New Guinea diperingkat pertama dengan jumlah 867 bahasa.
Sebagian bahasa daerah di Indonesia telah punah, sebagian lagi terancam punah. Distribusi 742 bahasa di seluruh Indonesia rupanya berbanding terbalik antara jumlah bahasa dengan jumlah penduduk. Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 123 juta orang memiliki tidak lebih dari 20 bahasa. Sebaliknya, Papua barat yang penduduknya berjumlah 2 juta orang saja memiliki jumlah bahasa mencapai 271 bahasa.
Ya, itulah sekelumit gambaran tentang negeri Ibu Pertiwi, Indonesia. Kini, usia Indonesia telah 73 tahun tepatnya 17 Agustus 2018. Seusia manusia itu sudah renta. Kakinya bertambah tiga (satunya tongkat), matanya mulai sulit membaca, pendengaran samar-samar, yang pasti lupa ingatan. Pun begitu Indonesia tanah air beta, Indonesia tetap Indonesia.
‘Sakitnya’ Indonesia masa perjuangan Bung Karno alias Presiden Pertama Soekarno, seolah mulai dirasakan. Harga-harga naik, dollar tak terkendali, ekonomi sulit, utang bertumpuk, kemiskinan merebak di mana-mana, tenaga kerja asing menyemut, kriminalitas merajalela, perpolitikan bertarung demi kekuasaan, seperti layaknya hidup di dalam hutan.
Yang kuat menang dan yang lemah tertindas. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Nah, kalau dipikir-pikir dengan kondisi yang terjadi sekarang ini (73 tahun), keseringan lupa, pikun dan lelah.
Namun Indonesia adalah sebuah negara. Punya banyak sumber daya manusia, sumber daya alam dan sebagainya. Ini pekerjaan rumah (PR) bagi penguasa, apakah Indonesia akan hilang atau sengaja dihilangkan dari peta dunia? Indonesia yang dulunya dikebal ramah, akankah menjadi ‘ladang’ asing? Atau Indonesia yang dikenal juga sebagai negara cinta damai berubah lewat status menyeramkan.
Indonesia sempat dibilang tempat berdiamnya teroris, lumbung cikal bakal penghancur dunia (secara negatif) dan yang paling miris lagi gampang diadudomba.
Hendaknya cuitan negatif tentang Indonesia dihilangkan dalam lingkar kamus buram. Berpikir positif, memajukan Indonesia, dan tak memandang suku, ras atau antar agama. Kembalikan brand imej Indonesia yang dulu, jangan rakyat diadu.
Sejak setahun lalu, penulis melihat Indonesia gampang terpecah belah. Apalagi soal memilih penguasa. Partai politik berperan di tengah kekacauan, media sosial mengumbang-ambing posisi pendukung, hingga akhirnya jadi pergunjingan jelang pemilihan.
Indonesia punya bendera. Sang saka Merah Putih. Melalui itu pula Indonesia dulunya disatukan. Putih berarti suci dan merah pemberani. Paduan keduanya menggambarkan bahwa Indonesia punya karakter di mata dunia.
Satukan kembali Indonesia, jangan ‘robek’ merah putih saat birahi berkecamuk mencari posisi. (***)