PEMILU momen akbar perpolitikan di Indonesia namun momen ini kerap kali tidak digunakan secara baik untuk menunjukkan citra demokrasi yang hakiki. Momen akbar tersebut kerap kali dilecehkan oleh kandidat atau tim sukses atau kelompok masyarakat tertentu dengan sikap yang tidak demokratis. Janji-janji palsu diumbar oleh para kandidat untuk memikat hati rakyat. disampaikan oleh para kandidat tidak disimak dan ditelaah secara mendalam, logis , efektif dan efisien, tetapi sekadar didengarkan sambil lalu.
Janji-janji politik yang seharusnya merupakan manifestasi visi-misi seorang kandiddat dijadikan tidak lebih dari sekadar janji hampa. Ditambah lagi politik uang menjelang hari penjoblosan. Kenyataan ini mencederai demokrasi di negeri ini.
Baliho dan spanduk yang tepasang diperempatan jalan, pertigaan jalan terpaku di pohon-pohon kayu di kilang padi, diwarung-warung dan ditempat terbuka lainnya penuh dengan bahasa rayuan. Ada calek yang membuat janji dibalihonya pendidikan gratis dari tingkat sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggai.
Kalau dia duduk sebagai anggota d i komisi 1 misalnya, pertahanan, luar negeri, komunikasi dan intelijen dapatkah ia merealisasikan janjinya. Kalau partainya memang ada dapat merealisasikan janjinya ?
Sementara ada caleg yang membuat janji dibalehonya jika terpilih akan memberikan uang 10 juta setiap desa. Mungkin janji ini bisa terealisasi tapi apakah tidak ada kekhawitaran dari kita dari mana uang itu ?
Apakah dari gaji yang diperoleh sebagai anggota dewan sementara ada setoran kepada partai ? apakah dia dapat merealisakikan janjinya ? menjadi sebuah tanda tanya. Ideal pemilihan untuk mencari kandidat yang terbaik dari sudut pandang visi-misi dan kinerja bukan janji caleg yang pada akhirnya tanpa sadar masyarakat digiring kepada jurang kepalsuan dan kebohongan.
Janji politik bukan saja pelengkap di saat kampanye pada musim pemilu, tetapi merupakan bagian hakiki dari pemilu. Janji-janji dalam kampanye adalah sesuatu yang niscaya. Dalam janji-janji tersebut, visi dan misi dari kandidat terungkap dan terlihat oleh rakyat. Bahkan ketika ada calon yang mengatakan “tidak membuat janji” sekalipun, sesungguhnya pernyataan tersebut adalah janji.
Penting untuk mengetahui cara menilai janji politik yang palsu dan janji politik asli yang dapat diwujudkan. Kita harus bisa menilai sebuah janji sehingga tidak terbuai dan tertipu dengan janji-janji palsu lagiJangan sampai janji politik yang diungkapkan hanya sebagai pemanis bibir. Sasaran janjinya terlalu jauh diluar standar, tidak sesuai dengan kondisi dan mata pencaharian masyarakat, tidak sesuai dengan karakter serta kekuatan anggaran yang tersedia dan lain sebagainya.
Janji yang ditetapkan secara realistis membantu kita untuk mencapainya secara sungguh-sungguh. Janji politik harus realistis Jangan sampai janji yang diungkapan bukan merupakan kebutuhan utama masyarakat. Karena itu, pelibatan warga dalam memikirkan dan merancang apa yang hendak dilaksanakan selama masa jabatan seorang kandidat harus menjadi salah satu aspek penilaian.
Janji yang diungkapkan kandidat harus bisa terukur dengan kerangka waktu tertentu dalam memulai serta tengat waktu yang diharapkan untuk bisa menyelesaikan janji yang telah tertuang dalam visi dan misi. Jangan sampai masa jabatan hanya lima tahun tetapi janji politiknya setelah diukur justru melebihi kurun waktu menjabat.
Ketidakpercayaan akut masyarakat kepada para kandidat akibat janji-janji manis yang sering diucapkan namun tidak mampu dipenuhi, dan kekecewaan para kandidat yang berusaha berpolitik secara jujur, adil dan demokratis namun tetap tidak dipilih oleh masyarakat menyebabkan orang kehilangan harapan besar kepada demokrasi politik yang benar dalam pemilu.
Akhirnya orang terperangkap dalam demokrasi politik yang dipenuhi oleh politik kedaerahan, kekeluargaan, kesukuan, golongan, uang , transaksi jabatan dan lain sebagainya. Mayarakat yang kerap merasa tertipu oleh janji-janji manis akhirnya sampai kepada titik jenuh. Janji pada saat kampanye oleh para kandidat diindentikkan dengan penipuan.
Jika selama ini yang sering terjadi adalah para kandidat berusaha mencari trik-trik khusus untuk mengelabui masyarakat maka sekarang yang terjadi adalah masyarakat pun mulai mengelabui para kandidat. (***)