TAK gampang memilih wakil. Harus diskusi, penuh pertimbangan, kekoalisian serta eksternal dan internal. Dan, kabarnya yang paling penting adalah ketokohan. Kondisi ini kerap jadi tanda tanya, saat kandidat capres mencari pendamping.
Walau awalnya mengumbar sejumlah nama sang wakil, tapi pilihan hanya satu. Saat deadline-lah satu nama muncul ke permukaan. Seperti halnya presiden petahana Joko Widodo mengumumkan sang pendamping.
Joko Widodo mengumumkan nama cawapres KH Ma’ruf Amin di hadapan wartawan di sebuah restoran di kawasan Menteng, Jakarta, sehari pendaftaran capres/cawapres ditutup KPU.
“Dengan mempertimbangkan masukan-masukan dan saran dari berbagai elemen masyarakat, maka saya memutuskan dan telah mendapatkan persetujuan dari partai-partai koalisi yaitu Koalisi Indonesia Kerja bahwa yang akan mendampingi saya sebagai calon wakil presiden periode 2019-2024 adalah Profesor Doktor KH Ma’ruf Amin,” ungkap Presiden Joko Widodo.
Prof Dr KH Ma’ruf Amin lahir di Kresek, Tangerang, masa Pendudukan Jepang, 11 Maret 1943 dengan usia 75 tahun merupakan ulama dan politisi Indonesia. Sejak Agustus 2015, ia menjabat sebagai Rais ‘Aam Syuriah pada Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Hanya saja, ketika nama Ma’ruf Amin resmi dimunculkan, sebenarnya isu yang tersebar sebagai wakil Jokowi adalah Mahfud MD. Ya, lagi-lagi dengan banyak pertimbangan, kemunculan Mahfud MD ‘terhapus’. Meski, kabarnya Mahfud telah bersiap-siap dan mendapat info bahwa dirinya akan dipanggil ke istana.
Sempat juga tersiar tidak dipilihnya Mahfud karena bukan merupakan ‘orang’ NU. Pun begitu Mahfud bilang sejak masa Gus Dur dirinya telah bersama-sama di NU sebagai kader. Pernyataan yang kontroversial ini disanggah oleh Said Aqil Siradj.
Kata Ketua Umum PB NU membenarkan kalau Mahfud MD adalah warga NU, tapi bukan merupakan kader NU. Said menyatakan Mahfud MD bukan pengurus harian PBNU. Dirinya menyebut Mahfud pernah menjadi penasihat GP Ansor. Namun posisi itu bukan pengurus harian.
“Penasihat (GP Ansor), bukan pengurus. Tidak, bukan harian, bukan harian,” jelas Said. Meski begitu, Said Aqil tetap menegaskan bahwa Mahfud MD termasuk warga dan menjalankan tradisi NU. “Warga NU iya. Kulturnya, pengamalannya, ibadahnya, cara Islamnya, Islam NU,” katanya.
Polemik yang makin meruncing ini ditanggapi oleh alumni Latihan Instruktur Kepemimpinan Nasional (Liknas) GP Ansor 1986, T Syaiful Anhar.
Apa yang dialami Mahfud bisa jadi pelajaran paling berharga bagi para kader NU. “Karena selama ini banyak yang menumpang di nama besar NU, tapi tak pernah peduli dengan NU. Saya mendukung pernyataan Pak Said Aqil tentang Pak Mahfud (betul ia warga NU, tapi ia bukan kader NU-red),” ujar Syaiful yang juga Ketua Forum Karya Putra Sumut (FKPSU) ini.
“Seharusnya Pak Mahfud bisa bersikap ksatria dalam menerima kegagalan jadi wakil Pak Jokowi. Karena selama ini sudah banyak hak-hak yang seharusnya milik kader NU yang dirampas orang-orang tidak berhak di NU. Semoga kejadian ini bisa dijadikan ‘momentum bagi kader-kader NU untuk bersatu dalam memenangkan pasangan Pak Jokowi dan Pak Kyai Ma’ruf,” papar Syaiful.
Akhir kata tokoh pemuda Kabupaten Langkat ini mengajak seluruh kader NU bersatu dan tidak lagi terpecah-pecah hanya karena sesuatu hal yang mustahil. “Mari kita bersatu, ratakan barisan, jangan terpecah belah. NU harus satu suara NU harus kuat di mata bangsa,” tandasnya. (***)