Beranda BERITA UTAMA Legislator & Koruptor

Legislator & Koruptor

82
0

MEDAN (podiumindonesia.com)- INI kisah Bang Dori (nama samaran-red). Hidup sederhana namun bijak dalam berbicara. Termasuk mengumpulkan massa. Keaktifan Bang Dori di organisasi sejak dini, rupanya menjadi perhatian banyak kalangan.

Tak pelak, Bang Dori pun mendapat dukungan dari masyarakat sekitar tempatnya tinggal di kawasan Medan. Nah, karena kiprahnya itu pula, Bang Dori mulai beranjak ke tingkat partai politik (parpol).

Awalnya, pria yang kini menginjak usia kepala lima, coba gabung di parpol tingkat kelurahan. Lalu ke tingkat kecamatan. Hingga akhirnya Bang Dori memberanikan untuk mencalonkan diri di pemilihan legislatif (pileg).

Cerita Bang Dori itu terjadi pada pileg 2009 lalu. “Aku punya massa, tapi tak punya modal. Namun niatku yang membuatku nekat,” lirih Bang Dori kepada PODIUM, kemarin.

Singkatnya, pada pileg 2009 tersebut Bang Dori gagal duduk di gedung terhormat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu kegagalan Bang Dori, lewat terawangannya yakni kurang promosi. Pasalnya, Bang Dori taklah seperti caleg punya modal besar, bahkan spanduk atau baliho cuma terpasang di beberapa titik saja.

“Kalau sosialisasi kayaknya terus kulakukan. Tapi aku tak punya modal, aku cuma bisa cakap dan kurang beri ini-itu kepada massa,” tukasnya.

Alhasil, capaian Bang Dori sebagai penyambung aspirasi masyarakat sirna di 2009 itu. Dia kalah telak. Pun begitu, Bang Dori tak berkecil hati.

“Wajar aku kalah karena aku tak punya duit. Nah, yang jadi pertanyaan, seandainya aku punya duit, mungkin ratusan hingga miliaran rupiah hartaku hilang. Yang kutakutkan lagi duit itu hasil pinjaman,” sahutnya.

Dari perbincangan tersebut, Bang Dori menganggap kegagalannya adalah suatu faedah yang sangat bermanfaat. Ini ditilik dari masih sayangnya Tuhan kepada dirinya.

“Sekarang coba pikirkan, modal segitu besar harus ‘dijudikan’, ke mana harus mencari duitnya. Bisa-bisa kalau duit (kampanye-red) tidak pulang jadi gila. Paling tidak, ya korupsi lah. Kan sudah banyak gambaran dikasi Tuhan, para legislator korup berurusan dengan hukum yang berujung aib keluarga,” seloroh Bang Dori sambil mengamini ketidaklolosannya di pileg 2009.

Usai pileg, alhasil Bang Dori tak pernah lagi ingin bertarung. “Karena aku rasa lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya,” tandas Bang Dori.

Apa yang dikhawatirkan Bang Dori soal legislator tersangkut kasus korupsi, toh memang terjadi. Terbukti, lewat rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, telah ada 189 anggota DPR RI dan DPR Daerah (DPRD) yang tertangkap karena kasus korupsi.

Periode 2014-2019, 15 anggota DPR mendekam di penjara sebagai koruptor. Indonesia mengalami darurat korupsi.

“Korupsi di DPR semakin parah dengan adanya fenomena korupsi yang dilakukan secara kolektif. Dulu kita pernah dikagetkan bagaimana DPRD di Riau, di Kabupaten Seluma, Musi Banyuasin, belasan anggota DPRD melakukan korupsi. Hal ini terulang lagi di Sumatera Utara dan Malang. Bahkan di Sumut, jumlahnya sampai lebih dari 38 anggota DPRD yang diduga melakukan kasus korupsi,” jelas Peneliti ICW, Almas Sjafrina, pada diskusi “Urgensi PKPU Larangan Mantan Napi menjadi Calon Anggota Legislatif” di kantor ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Sebab maraknya kasus korupsi di lembaga legislatif, ICW mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang hendak mengatur agar mantan terpidana korupsi tak bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Langkah pencegahan kasus korupsi mesti dilakukan sejak tahap pencalonan. ICW mengapresiasi langkah KPU yang hendak meningkatkan integritas pemilu dalam penjaringan peserta pemilu.

“Kami melihat, KPU menganggap penyakit korupsi di legislatif ini sudah sangat kronis sehingga treatment-nya harus dimulai dari pembenahan di level hulu, yaitu memastikan calon anggota DPR tidak pernah tersangkut kasus korupsi. Penting mendorong partai untuk mencalonkan orang-orang yang belum pernah punya rekam jejak korupsi dalam Pileg (Pemilihan Legislatif) 2019,” tandas Almas.

Seperti diketahui sebelumnya, mayoritas fraksi di DPR tidak sepakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan aturan terkait pembatasan hak politik seseorang, yakni larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Keterangan diperoleh, dari 10 fraksi di DPR, sebanyak 7 fraksi tidak sepakat terhadap rencana KPU menerbitkan larangan bagi mantan napi korupsi menjadi caleg.

Tiga fraksi yang mendukung rencana KPU adalah PKB, PKS, dan Partai Hanura. Sisanya, 7 fraksi menolak meski secara prinsip mereka sepakat tentang perlunya menjaga integritas DPR dan DPRD. Namun, menurut mereka KPU tidak berwenang membuat norma baru terkait hak politik itu.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) M Sirmadji mengatakan, pihaknya mempermasalahkan kewenangan KPU yang hendak mengeluarkan Peraturan PKPU itu. Dikatakan, apabila KPU tetap memaksakan rencananya itu, maka bisa dianggap bahwa lembaga itu telah melanggar norma yang ada.

Sebab, kata dia, KPU adalah lembaga pelaksana undang-undang (UU) yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPR. Artinya, norma disusun dan disahkan oleh pemerintah dan DPR, lalu dilaksanakan oleh KPU.

Oleh Pemerintah dan DPR larangan itu lalu dipertegas di UU. Namun, ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh MK, diputuskan bahwa mantan napi boleh maju ke pilkada dengan beberapa syarat. Salah satunya mengumumkan ke publik bahwa dirinya adalah mantan napi.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengaku sepakat dengan rencana KPU itu. PKS menilai, larangan tersebut sebagai upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas dan berkualitas.

“Kami setuju dengan pengaturan tersebut dan fraksi kami di Komisi II akan memperjuangakannya dan mendukung KPU,” ujarnya.

Dikatakan, pemilu harus menghasilkan anggota legislatif yang mempunyai rekam jejak bersih dan berkualitas, sehingga fungsi-fungsi legislatif berjalan baik. Larangan KPU, kata dia, merupakan salah satu cara untuk mencegah mantan koruptor menduduki jabatan publik.

Patuhi Aturan

Bagaimana dengan pemerintah? Apakah menyetujui atau tidak peraturan yang dikeluarkan KPU Sumut menyangkut larangan mantan koruptor nyaleg 2019 ini. Menanggapi hal itu,

Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, Eko Sulistyo di Jakarta, Senin (28/5), menyatakan, pemerintah bakal mematuhi peraturan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait larangan mantan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor. Pemerintah akan menghormati pengaturan KPU terkait teknis penyelenggaraan pemilu.

“Pemerintah akan menghormati apa yang menjadi keputusan KPU,” ujar. Eko menuturkan bahwa pemerintah tidak akan melangkahi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan peraturan di bawahnya termasuk keputusan-keputusan KPU.

Menurut dia, pemerintah akan menaati peraturan yang dibuat KPU. “Karena teknis penyelenggaraan pemilu menjadi wilayah kewenangan KPU dan Bawaslu sebagai pihak yang akan mengawasi,” tandas dia.

Sebagaimana diketahui, KPU tetap akan melarang mantan koruptor menjadi caleg di pileg 2019. Meski pun, larangan KPU tidak diterima DPR dan Bawaslu, lembaga ini menilai KPU melanggar UU Pemilu jika mengatur larangan mantan koruptor menjadi caleg.

KPU sendiri menilai pelarangan ini sebagai upaya mencegah terjadinya kasus korupsi. KPU berupaya menciptakan pemilu yang bersih dan berintegritas.

Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap keukeh menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) tersebut.

“Lebih baik kami kalah apabila digugat dari pada kami tidak mengeluarkan aturan ini,” kata Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Sebelumnya, langkah KPU melarang mantan napi korupsi untuk menjadi calon legislatif ditentang oleh pemerintah, Bawaslu, dan DPR. Wahyu menjelaskan, penolakan tersebut terjadi karena KPU melanggar Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam UU tersebut, mantan napi yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama yang bersangkutan mengumumkan diri ke publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya.

Namun, menurut Wahyu, KPU membuat terobosan bahwa khusus mantan napi korupsi. Mereka tak boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif sebab korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa.

Sebab, merujuk pada putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, KPU merupakan lembaga independen. “Tampaknya kita menempuh jalan sendiri terkait napi koruptor, itu tampaknya kita berbeda pandangan. Kita pastikan akan dikeluarkan PKPU karena sesuai dengan hasil rapat pleno,” kata dia.

Terpisah, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah mendukung keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal peraturan mantan narapidana koruptor yang tidak diperbolehkan ikut serta kontestasi legislatif.

Aturan pelarangan menjadi calon legislatif ini menurutnya penting untuk mencegah kembali terjadinya korupsi ketika menjadi anggota DPR.

“Saya mendukung penuh PKPU Pelarangan mantan napi koruptor, karena PKPU ini adalah upaya mencegah residivis korupsi kambuh,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, Minggu (27/5).

Kata Dahnil, mantan Koruptor yang kembali ke politik berpotensi melakukan tidakan koruptif kembali.

Sedangkan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai partai politik seharusnya mendukung keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menerbitkan peraturan KPU (PKPU) pemilihan umum 2019 yang melarang mantan narapidana ikut dalam pemilihan umum legislatif.

Donald mengatakan, langkah yang dilakukan KPU merupakan upaya progresif mereka sebagai lembaga yang akan menyelenggarakan pemilu legislatif dan presiden pada 2019.

Dengan adanya peraturan ini maka mantan narapidana termasuk mereka yang pernah menjadi terpidana korups, tidak diperbolehkan untuk ikut serta dalam pemilu.

Serahkan LHKPN

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tantowi mengungkapkan bahwa, sudah tidak ada kendala dalam rancangan peraturan KPU (PKPU) mengenai penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi calon legislatif (caleg). LHKPN akan tetap masuk menjadi syarat bagi caleg dengan waktu penyerahan yang diperpanjang.

“LHKPN juga sudah tidak ada masalah. Jadi LHKPN itu tetap jadi syarat, tetapi waktu penyerahannya yang diperpanjang,” ucap Pramono di Kantor KPU, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Pramono menuturkan, jika nanti aturan itu diterapkan, kemudian caleg tidak bisa menyerahkan LHKPN hingga batas mereka telah terpilih, maka caleg yang bersangkutan tidak dapat dilantik.

“Waktu penyerahannya paling lambat itu (saat) penentuan calon terpilih, sehingga kalau tidak diserahkan sampai calon terpilih berarti ya enggak bisa dilantik,” tuturnya.

Diketahui, dalam rancangan PKPU, dimasukan syarat bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri dalam pemilu legislatif untuk menyerahkan LHKPN kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara DPR sepakat semua calon anggota legislatif yang ikut Pemilihan Legislatif 2019 wajib menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). LHKPN tersebut nantinya akan diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masih menyakut pemilu dan pileg 2019, 14 Partai politik dinyatakan lolos. Dari beberapa survei yang dirilis hanya beberapa partai diprediksi lolos parliamentary treshold (PT) dengan suara 4 persen. Itu pun didominasi oleh partai-partai lama.

Namun dari hasil survei juga diketahui ada beberapa partai lama dan baru yang diprediksi suara tidak mencapai angka 4 persen.

Menurut survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) jika pemilu dilakukan hari ini presentase Hanura hanya 0,7 persen, tak mencapai 1 persen. Dengan begitu Hanura diprediksi sulit mengirim perwakilannya ke Senayan.

Survei dilakukan pada 28 April – 5 Mei 2018 dengan metode wawancara tatap muka 1.200 responden menggunakan kuesioner. Metode samplingnya yakni multistage random sampling. Margin of error survei sebesar 2,9 persen.

Kemudian Partai Amanat Nasional (PAN). PAN diprediksi hanya memperoleh suara 2,5 persen. Metode samplingnya yakni multistage random sampling. Margin of error survei sebesar 2,9 persen.

Hasil tak jauh beda terpotret dalam survei Charta Politika. Survei yang dilakukan pada 13-19 April 2018 itu, PAN diprediksi memperoleh 2,8 persen. Artinya jauh dari 4 persen.

Selanjutnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurut survei LSI, suara PKS hanya mencapai 3,8 persen. Artinya kurang dari 4 persen seperti yang sudah ditentukan.

Hasil tak jauh beda terpotret dalam survei Charta Politika. Survei yang dilakukan pada 13-19 April 2018 itu, PKS diprediksi memperoleh 3,5 persen.

Kemudian Partai Serikat Indonesia (PSI). Partai pimpinan Grace Natalie ini diprediksi tak akan bisa menempatkan kadernya di Parlemen lantaran tak mendapatkan suara minimal 4 persen.

Menurut survei Cyrus Network elektabilitas PSI hanya 0,3 persen. Menurut Managing Director Cyrus Network, Eko Dafid Afianto citra PSI yang diklaim dekat dengan anak muda ternyata tidak begitu melekat. Sebab dari hasil survei, PSI justru hanya mendapatkan suara publik sebesar 0,3 persen, kalah jauh dari PDI Perjuangan dengan angka 23,3 persen.

Bahkan, hasil survei Charta Politika lebih kecil lagi. Survei yang dilakukan pada 13-19 April 2018 itu, PSI diprediksi memperoleh 0,2 persen. (PI/NT)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini