PESTA identik dengan kemeriahan. Bersenang-senang bukan malah gontok-gontokan. Malah makan korban. Kadang, korban jiwa terjadi karena kecorobohan di tengah pesta. Namun beda di negeri ini. Para korban jiwa yang turut merayakan pesta lima tahunan karena kelelahan.
Itulah gambaran pesta demoktrasi, mungkin terburuk di negeri ini. Biasanya, pesta demokrasi menelan korban tatkala terjadi bentrokan menimbulkan pertumpahan darah. Asal tak biasalah ini yang patut dicermati. Artinya, pesta demokrasi serentak 2019 yang digelar pada 17 April kemarin harus diubah.
Pikiran, tenaga saling berkecamuk di antara petugas KPPS dan petugas keamanan. Mereka berpeluh, lelah bekerja sampai dini hari. Dengan satu tujuan agar pesta rakyat lima tahunan itu membawa hasil yang maksimal. Rakyat puas, petugas KPPS pun bisa bernafas lega.
Nyatanya, petugas KPPS yang meradang rela ‘menyumbangkan’ nyawa, sekarang saja tercatat sebanyak 230 orang. Meninggal dunia di tengah pesta demokrasi negeri Pertiwi. Awalnya sempat tersiar para pejuang demokrasi itu tak memperoleh balas budi. Namun info itu segera tertampik dan kabarnya pejuang demokrasi yang meninggal dunia mendapatkan Rp 36 juta.
Pertanyan, wajarkah? Pertaruhkan nyawa, meninggalkan keluarga dengan hasil sebegitunya! Namun mereka (pejuang demokrasi) patut diacungi jempol. Doa pun terpanjatkan ‘semoga pejuang demokrasi mati dalam kesyahidan’.
Kini, 1.470 orang lagi petugas KPPS terbaring di rumah sakit. Pastinya, pemerintah menanggung segala perobatan. Syukur, kata itu layak disematkan kepada pemerintah. Demi mempertahankan selembar kertas suara rela berpeluh dengan kondisi yang ‘mencekam’.
Di sela hiruk pikuk pesta demokrasi, mempertaruhkan nyawa, mengorbankan keluarga, masih ada juga kepedihan dalam hati para penyumbang keadilan. Segolongan melakukan kecurangan. Angka-angka diutak-atik, kotak suara dibakar, kertas suara hilang, amuk dan kecamuk berperang di media sosial.
Inikah gambaran demokrasi yang dikatakan bersih? Apakah demokrasi bersih bagi segolangan saja, bukan bagi rakyat Indonesia! Yang ‘berkuku’ dan punya power mendominasi keangkuhan dengan mengeyampingkan suara rakyatnya?
Jujur, adil, rahasia, entah apalagi itulah, kini seolah tak berlaku. Ya, pada pemilu serentak 2019 ini terutama pemilihan calon presiden. Kalau dulu (seingat penulis), penyumbang suara selalu berkata ‘rahasia dong’. Tapi tak lah saat ini, penyumbang suara secara terang-terangan berkata. ‘Saya Jokowi’ dan ‘Saya Prabowo’. Walau isyarat juga tersurat, istilah ‘saya 01’ dan ‘saya 02’.
Secara gamblang pula tampak saweran sebelum pesta demokrasi digelar. Duit lembar merah, biru dan hijau terpapar di lapangan. Dengan syarat sebuah foto kopy KTP. Usai coblos kedua kubu bukannya diam menanti hasil keptusan KPU. Mereka saling klaim sebagai pemenang.
Nah, dari segelintir peristiwa di atas bisa diartikan pemilu serentak kali ini penuh intrik, walau kadang sensasi. Militan pembela yang nyatanya punya suara banyak bergerilya mengumpulkan data otentik C1-nya. Sementara bagi petahana lebih kepada penantian yang dinyatakan menang lewat quick count.
Murnikah ini? Tak pelak, KPU, Bawaslu dan perangkat lainnya disebut bersubahat. Namun mereka (penyelengara pemilu) kepanasan dibilang bersubahat. Alhasil, Bawaslu bergerak dan KPU bersuara. Human error dan segalanya jadi delik yang mempermalukan rakyatnya sendiri.
Rakyat seharusnya duduk manis, menunggu hasil jurdil, toh dibuat tak tenang. Sesumbar murni layaknya air bening di pegunungan, tapi tampak kotor akibat ulah tertentu. Yang tersakiti menyingsingkan legan, yang senang bisa saja tepuk tangan. Semoga gaduh politik saat ini bisa kembali damai.
Hendaknya pemilu serentak 2019 tak lagi terulang. Hati mereka selaku penyelenggara dan peserta pemilu bisa berdamai dengan Tuhan. Bukan bertindak layaknya setan. (***)