STABAT (podiumindonesia.com)- Memperingati Hari Jadi Langkat ke 270, Kejuruan Stabat dan Pengurus Besar Majlis Belia Negeri (PB MBN) Langkat melaksanakan ziarah dan do’a bersama ke situs makam Kerajaan Langkat Lama.
Kegiatan ini dilakukan bukan hanya mengingatkan kita akan pentingnya sejarah terbentuknya daerah ini, namun juga sudah sepatutnya kita mengenang jasa para pendahulu yang berasal dari kerajaan Langkat hingga akhirnya menjadi seperti ini. Hadir Tengku Chandra Hardi, Tengku Riza dan Tengku Muhammad Benyamin selaku Kejuruan Stabat saat ziarah dan doa bersama dimakam Tuanku Wan Supan dan Panglima Banding dalam rangka mengenang sejarah berdirinya Langkat.
“Pertama-tama awak ingin sampaikan Dirgahayu Langkat ke 270 tahun. Dalam momentum ini, PB MBN Langkat melaksanakan ziarah dan do’a bersama ke makam Tuanku Wan Supan dan Panglima Banding yang terdapat di dusun Ampera 2 desa Stabat Lama Barat dan beberapa makam di sepanjang Sei Wampu,” ucap Agusma Hidayat selaku Wali Utama PB MBN Langkat yang didampingi oleh Setia Usaha Utama, Bendahara Utama, beberapa Pateh dan Wasektum pada Jum’at (17/01/2020) sekira pukul 14.20 WIB.
“Generasi muda Melayu sudah sepatutnya mengetahui sejarah berdirinya Langkat yang sudah berusia 270 tahun ini, Pemkab Langkat sendiri sudah mengakui bahwa pendiri Langkat ialah Raja Kahar yang memindahkan pusat kerajaan Langkat dari kawasan Kota Rantang dan Kota Datar Hamparan Perak ke Kota Dalam Secanggang pada 17 Januari 1750 yang merupakan hasil kajian dan penelitian mendalam sebagaimana telah diseminarkan dan diperdakan sejak 1995,” elas Gusma melanjutkan.
“Jadi Puak Melayu di Langkat ini tak usah risau bahwa daerah Langkat memang merupakan tanah pusaka Puak Melayu Langkat dari dahulu, kini dan untuk masa yang akan datang. Hal ini selain sudah ditetapkan melalui Perda Nomor 11 tahun 1995 juga kita dapat menyaksikan langsung situs-situs sejarah peninggalan kerajaan Langkat lama yang terdapat di sepanjang sei Wampu serta di lanjutkan dimasa kesultanan Langkat di Tanjung Pura, selain itu juga banyak beberapa referensi buku yang menjelaskan hal tersebut,” terangnya.
“Kita berziarah ke makam Tuanku Wan Supan yang merupakan ayahanda dari Stan Matsyekh yang merupakan salah satu pahlawan bangsa Melayu Langkat. Stan Matsyekh yang pernah berjuang melawan ekspansi kolonial Belanda sejak 1862 hingga akhirnya beliau ditangkap secara licik oleh Belanda pada Oktober 1865 dan dibawa dengan menggunakan kapal perang Dasson ke Batavia yang kemudian dibuang ke Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat hingga akhirnya wafat pada 1885 dengan batu nisan bertuliskan Raja Langkat October 1885,” jelasnya lagi.
“Stan Matsyekh walaupun belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, bagi kami anak muda Melayu Langkat, beliau merupakan pahlawan bagi bangsa Melayu Langkat yang rela berjuang mati-matian angkat senjata melawan kolonial Belanda demi mempertahankan tanah tumpah darah leluhurnya di bumi Melayu Langkat bertuah ini sampai ajal menjemputnya dan sudah sepantasnyalah nilai-nilai perjuangan beliau di teladani bagi generasi saat ini,” ungkapnya.
Tuanku Wan Supan sendiri merupakan Raja Stabat yang merupakan salah satu dari beberapa bandar diraja atau negara kota kerajaan Langkat lama yang telah terbentuk saat itu dengan menganut sistem negara federal atau konfederasi yang bersifat otonom. “Nama dan kisah Tuanku Wan Supan dapat kita temukan di buku John Anderson yang merupakan utusan dagang Kerajaan Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang yang pernah berkunjung ke Langkat pada 1823,” jelasnya.
“John Anderson saat itu kagum menyaksikan beberapa unit kapal perang Jongkong bersandar di pelabuhan Sei Wampu. Kita juga dapat menyaksikan tapak dermaga yang masih ada di kampung Kepala Sungai dan bangkai kapal perang Jongkong tersebut diyakini masyarakat sekitar terbenam di dalam sei Wampu tepatnya di kampung Paya Jongkong yang merupakan wilayah yang masih wujud hingga kini,” lanjutnya lagi.
“Kita sebagai generasi muda Melayu Langkat memahami periode sejarah Langkat dari masa ke masa, kesultanan Langkat yang di bangun oleh sultan Musa yang berkedudukan di Tanjung Pura sejak dilantik sebagai sultan pada 1887 juga memiliki kontribusi penting di bumi Melayu Langkat ini. Namun, jika hari ini kita berbicara hari jadi Langkat ke 270 berarti kita berbicara pangkal asal mula sejarah terbentuknya daerah ini yang berada di sepanjang Sei Wampu yaitu Kota Dalam yang terdiri dari kampung Kepala Sungai, kampung Pulau Haji, kampung Inai Lama dan Kampung Terusan dan beberapa tempat ini dijelaskan dalam buku John Anderson,” tukasnya.
“Ada pula Jentera Malay yang pernah menjadi pusat ibukota kerajaan Langkat yang kini diabadikan sebagai balai pertemuan di sebelah rumah dinas Bupati Langkat yang wilayahnya terdapat di sepanjang sei Wampu yang berada di Ampera dan Paya Rengas yang banyak dari kita belum mengetahuinya asal usul nama Jentera Malay itu sendiri. Ada pula kawasan Johor, Stabat, Bingai, Selesai, Punggai hingga Bahorok yang mengikuti aliran sei Wampu itu sendiri karena sebenarnya pandahulu Langkat memiliki prinsip dasar pembangunan suatu kota yaitu titik nolnya dimulai dari air, baik itu sungai, danau maupun pantai dan dapat kita lihat keberhasilan pelaksanaan konsep tersebut dibeberapa negara-negara maju di benua Eropa saat ini,” ucapnya menerangkan.
“Selain itu, kita juga sudah berziarah ke makam Panglima Banding yang wafat bersama kejuruan Tuah Hitam selaku putra mahkota di sei Wampu disebabkan ledakan amunisi yang dibawanya saat hendak menyerang balas kerajaan Siak yang telah menduduki Kota Dalam sekitar tahun 1815 hingga 1818, artinya kerajaan Langkat saat itu sudah memiliki persenjataan modern pada zamannya seperti Lela, Rentaka, Istinggar, Pemuras, Terakol, maupun Tumbak Lada yang masih dimiliki oleh beberapa keturunan kerajaan Langkat,” ungkapnya.
“Jika kita memperingati hari jadi Langkat yang dimulai pada 17 Januari 1750 hingga 17 Januari 2020, maka kita mengakui Raja Kahar merupakan pendiri Langkat yang pernah memimpin Kerajaan Melayu Langkat hingga dilanjutkan Raja Badiuzzaman yang merupakan putra sulungnya sebelum Belanda mengekspansi Langkat pada 1862 hingga berhasil pada 1865 dalam rangka menyerang kerajaan Aceh Darussalam pada 1873. Setelah itu, Belanda membabat habis hutan adat dan mendatangkan askar upahan dan koloni para buruh yang dimulai sejak 1870,” katanya.
“Ada baiknya, Pemkab Langkat melaksanakan suatu diskusi sejarah berdirinya Langkat dengan mengundang beberapa pakar dan ahli sejarah yang telah lama berkecimpung dibidangnya untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda Langkat akan pentingnya latar belakang hari jadi Langkat sejak 17 Januari 1750 hingga saat ini”, usulnya menjelaskan. “Seharusnya masyarakat Melayu dan Pemkab sadar saat memperingati Hari Jadi Langkat ke 270 tahun ini hendaknya berziarah terlebih dahulu ke makam pendiri Langkat dalam rangka mengenang jasa pahlawan yang telah membangun Langkat,” sambungnya.
“Hari jadi Langkat ke 270 kali ini ada yang istimewa yaitu masyarakat Langkat sudah banyak yang memakai Tanjak, tutup kepala bagi kaum lelaki Melayu sejak zaman kerajaan, kita tentunya menyambut gembira akan hal ini, masyarakat Langkat sudah sadar akan pentingnya melestarikan tradisi dan budaya sebagai sumber inspirasi membangun kabupaten ini ke arah yang beradab dan lebih baik, mari kita bergandeng tangan untuk memajukan daerah ini, daerah yang dijuluki rumah tak berpintu, surga bagi puak pendatang ini tentunya harus pula menghargai adat budaya resam Melayu selaku tuan rumah yang telah lama wujud,” pungkasnya mengakhiri. (pi/rusdi)