STABAT (podiumindonesia.com)- Biaya politik itu mahal. Walau punya massa, nilai jual ketokohan, pun itu tak mencukupi. Ujungnya-ujungnya harus punya duit. Enam huruf (rupiah-red) itu kadang bisa jadi dinomorsatukan ketimbang modal massa serta ketokohan.
Seperti layaknya serial sinetron ‘Dunia Terbalik’. Seolah begitulah demokratisasi negeri ini. Jangan berharap sang jagoan menang tanpa dibumbui nilai tawar. Apalagi para calon kepala daerah yang bertarung harus lebih dulu mengeluarkan kocek demi membeli satu ‘perahu’ yang nominalnya sangat-sangat fantastis.
Puluhan, ratusan hingga miliaran rupiah wajib dipersiapkan untuk satu ‘perahu’. Dan sangat tak lazim masa-masa kini jargon parpol bebas dana gono-gini bagi kandidat yang akan diusung.
Tak hanya membeli ‘perahu’ mesin politik, dari calon perseorangan juga dipaksakan punya duit. Ya, baik diusung parpol atau perseorangan lebih dulu mencari sponsor yang jadi ajang taruhan. Itu pun, andai yang diusung menang sudah pasti satu keuntungan. Andai kalah, mau apa jadinya.
Berapa nilai tawar satu perahu? Lagi-lagi harga pastinya bervariatif. Tergantung gawean Pilkada itu sendiri. Apakah sekelas bupati, walikota atau yang paling mentereng gubernur.
Kisaran harga dari Rp 1 hingga puluhan miliar. Belum lagi nominal satu suara di kursi dewan perwakilan rakyat tingkat daerah. Untuk satu suara ditaksir Rp 100-200 juta. Malahan ada pula yang dipaksa merogoh kocek satu kursi sebelum menang dalam pertarungan.
Biasanya uang pangkal itu sekitar Rp 50-75 juta. Itu belum menang, nah kalau juara angkanya berlipat ganda. Salah satu contoh pemilihan kepala daerah setingkat walikota di Indonesia. Masih calon saja, petarung walikota itu wajib menyiapkan anggaran Rp 35 hingga Rp 40 miliar.
Bagi orang awam, uang sebanyak itu seakan tak masuk akal jika sekadar untuk modal meraih kekuasaan sesaat (5 tahun). Partai politik yang memiliki suara banyak harganya lebih mahal, dibanding partai yang hanya mendukung.
Memang, mahalnya harga satu ‘perahu’, kata Ketua Forum Karya Putra Sumatera Utara (FKP-SU), Tengku Syaiful Anhar, itu sudah lumrah. Bahkan, menurut kaca mata Syaiful, dari zaman ke zaman sudah pasti ada uang mahar. Anehnya kasus jual beli ‘perahu’ sebagai mesin parpol muncul ke permukaan di kala pasca reformasi.
Mirisnya lagi, kata Syaiful, kadang calon kepala daerah yang punya sponsor tertentu berjibaku mengembalikan duit-duit ‘siluman’. Seakan terikat kontrak politik, alih-alih mengembalikan uang malah putar otak barter proyek.
Ya itu tadi, ujar Syaiful, apabila si calon menang, mungkin sedikit bisa bernapas mengembalikan modalnya. Kalau kalah, bisa-bisa ‘lari malam’.
Menyangkut calon yang diusung menang dalam pertarungan, tak jarang berakhir di balik jeruji besi. Melalui kata belece balas budi, lalu proyek diberikan dan terjerumus kasus gratifikasi. Contoh nyata, urai Syaiful Anhar, kasus yang menimpa Ramadhan Pohan.
Mantan politisi Partai Demokrat tersebut sempat bertarung di Pilkada Walikota Medan periode 2016-2021 kemarin. Ramadhan, yang kini jadi pesakitan dituding menggelapkan uang sponsor saat maju pada Pilkada. Berdalih pinjam meminjam dengan angka Rp 15,3 miliar. Namun apa lacur, Ramadhan kalah dan dia dituntut 3 tahun penjara.
Selayaknya, kata Syaiful, kasus yang menjerat calon dan kepala daerah berakhir ke jeruji besi merupakan contoh di depan buruknya permainan kandidat di Pilkada. Tapi itu, walau jelas terlihat namun tak jadi bahan pelajaran berharga bagi mereka (para calon).
“Yang pasti harus ada mental petarung dan menyiapkan mental malu pada ajang pesta demokrasi. Artinya siap menang, siap kalah, siap juga malu masuk penjara,” tandas Syaiful berkelakar. (***)