
MEDAN (podiumindonesia.com)- Kasus okupasi paksa tanah ulayat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampung Durian Selemak yang dilakukan PTPN 2 Kebun Kwala Madu Rayon Kwala Bingai, masih belum berujung. Aksi dengan mengerahkan preman aparat dan preman pada 29 September 2020 lalu, kini sampai ke meja anggota DPRD Sumut.
Di gedung wakil rakyat itu perwakilan masyarakat adat rakyat penunggu bersama pengurus wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumut diterima Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara, Irham Buana Nasution, SH.M.Hum, kemarin.
Husni, pengurus dan perwakilan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampung Durian Selemak menyampaikan, tindakan okupasi paksa yang dilakukan oleh pihak PTPN 2 tanpa surat pemberitahuan adalah salah prosedur. Seharusnya, kata Husni, pihak PTPN 2 terlebih dahulu melakukan proses dialog dengan petani sebelumnya bertindak klaim sepihak.
“Bahkan kami menilai ini pelanggaran konstitusional, termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap permasalahan prosedural. Pertama, penerbitan HGU Nomor 3 sebagaimana yang diklaim PTPN 2 tanpa persetujuan rakyat penunggu yang sudah puluhan tahun menduduki tanah tersebut,” urainya.
Kedua, lanjut Husin, setelah ditelusuri HGU Nomor 3 yang diklaim PTPN 2 juga tidak terletak di areal lahan tersebut. Dan yang paling parah lagi dari awal sampai saat ini pihak PTPN 2 tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 3 yang menjadi dasar penggusuran dan perampasan tanah petani rakyat penunggu tersebut.
Akibat dari klaim sepihak itu, lebih dari 400 kepala keluarga petani rakyat penunggu sampai saat ini menderita dan mengalami trauma serta kehilangan mata pencaharian. Paslanya, lanjut Husin, lahan tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat adat rakyat penunggu yang biasanya ditanami padi, jagung, pisang, kacang tanah, kacang kedele dan buah-buahan lainnya.
“Dan Tindakan semena-mena PTPN 2 itu juga sudah kami laporkan kepada sejumlah instansi terkait, malah 2 kali diadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor DPRD Langkat dilanjutkan pengambilan data penentuan titik koordinat HGU Nomor 3 oleh tim petugas ukur BPN Sumut,” terangnya sembari menambahkan pengukuran juga disaksiakn Komisi A DPRD Langkat, BPN Langkat, Kabag Tapem Langkat, Kabag Hukum Langkat, DANRAMIL 07 Stabat, Manager dan penasehat hukum PTPN 2 Tanjung Morawa, Camat Wampu, Kepala Desa setempat, dan tokoh adat.
Hanya saja, hasilnya tim ukur yang mengambil titik koordinat dari BPN Sumut tersebut sampai saat ini juga tidak mampu memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang titik kedudukan sertifikat HGU nomor 3 yang di klaim PTPN 2.
“Jadi kami menduga antara pihak PTPN 2 dengan BPN Sumut sudah melakukan kongkalikong,” tegas Husni.
Untuk itu Husni dan kawan sangat mengharapkan bantuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Sumut turut membantu permasalahan yang hingga kini tak kunjung selesai.
“Agar kiranya dapat diselesaikan, karena kami menilai Tindakan okupasi paksa ini tidak lagi mengikuti proses aturan hukum yang berlaku,” tukasnya.
Merespon pengaduan masyarakat tersebut, Anggota Komisi A DPRD Sumut Irham Buana Nasution, SH.M.Hum berjanji akan mengundang pihak PTPN 2 dan jajarannya. Ini dilakukan supaya mendapatkan penjelasan terkait alasan dan langkah tindakan okupasi lahan tersebut.
Irham menambahkan, tindakan okupasi atau pembersihan lahan petani yang dilakukan PTPN 2 sudah bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintah Presiden Jokowi yang memprioritaskan sektor ketahanan pangan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.
“Kami juga sangat menyesalkan langkah yang diambil pihak PTPN 2 yang melakukan okupasi tanpa proses mediasi maupun surat pemberitahuan terlebih dahulu sebagaimana yang dikatakan masyarakat,” ujar politisi Partai Golkar DPRD Sumut ini.
Hadir pada kesempatan tersebut Pengurus Wilayah Langkat yang mewakili PB BPRPI Sumut sekaligus juga mewakili Masyarakat Adat Kampung Durian Selemak S.Husni, Pengurus Wilayah AMAN Sumut Ansyurdin, Kabag Infokom AMAN Sumut Susanto, dan beberapa warga Masyarakat Ulayat Kampung Durian Selemak seperti Sugeng Pramono, Ismail Fauzi, Angga Pradana, dan Erdi Charles. (pi/sahrul)