JAKARTA (podiumindonesia.com) Pro kontra penyelenggaraan Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 masih terus menghangat. Pernyataan Guru Besar Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) Prof. Djohermasyah Djohan menyebutkan menabrak tiga asas pelaksanaan Pilkada. Pendapatnya itu berdasarkan UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Yaitu, pertama, Pilkada tidak boleh dilaksanakan jika sedang ada bencana. Kedua, Pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi yang aman dan tenang. Ketiga, mekanisme pengangkatan pejabat sementara untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya telah habis.
Menanggapi pernyataan tersebut, Tim ahli Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Muhammad Rullyandi, menyebutkan pelaksanaan Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 telah memenuhi rambu-rambu kontitusi.
Rullyandi berpandangan, keseluruhan pandangan Guru Besar IPDN itu jika dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis melahirkan suatu problem konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Yaitu terpenuhinya aspek jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil dengan pemenuhan hak konstitusional memilih dan dipilih.
“Padahal ini sebagai amanah konstitusi untuk menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang berkepanjangan,” katanya dalam keterangan tertulis. Menurutnya, sesuai dengan pedoman garis besar rambu-rambu konstitusional yang telah memberikan amanah bagi penyelenggaraan Negara. Pemerintah dengan cepat mengeluarkan kebijakan melalui Perpu nomor 2 tahun 2020.
“Perpu Nomor 2 Tahun 2020 merupakan instrumen konstitusional untuk menghadapi situasi kegentingan akibat bencana non alam wabah pandemi global Covis-19,” jelas Rullyandi.
Lebih lanjut Pakar Hukum Tata Negara ini menjelaskan rangkaian tindakan cepat dan responsif Pemerintah, DPR dan KPU dalam upaya mencermati dinamika ketatanegaraan ditengah bencana non alam Covid-19 sebagai kebutuhan urgensi konstitusional menghadapi potensi ancaman ketidakpastian hukum kekosongan jabatan kepala daerah yang definitif,” katanya.
Rullyandi menambahkan, bencana wabah pandemi non alam Covid-19 dapat dicegah dengan protokol kesehatan yang ketat, tersosialisasi dengan baik dan terimplementasi dengan penuh disiplin sebagaimana diamanahkan oleh WHO.
Menghadapi tatanan kehidupan normal baru, maka setiap negara diperlukan proses perubahan kultur adaptasi yang tidak menghentikan dan menunda kegiatan ekonomi dan pemerintahan.
“Penyelenggaraan pemilihan aman Covid-19 telah berhasil diselenggarakan diberbagai negara sebagai bukti kemampuan pelaksanaan pemilu di tengah pandemi Covid-19 menjadi barometer ukuran bagi tingkat indeks demokrasi suatu negara yang diakui dihadapan internasional,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pancasila ini.
Sehingga, kata dia, keputusan persetujuan bersama Pemerintah, DPR, dan KPU untuk menyelenggarakan pilkada 9 Desember 2020 secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangan keamanan protokol kesehatan Covid-19.
“Dengan demikian kondisi ketidakpastian berakhirnya wabah pandemi Covid-19 dan dalam waktu yang sangat singkat ke depan untuk menghadapi berakhirnya masa jabatan kepala daerah di 270 daerah tidak memungkinkan suatu negara berdaulat yang demokratis untuk membiarkan tidak menyelenggarakan proses pemilihan lanjutan demi keberlangsungan pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan power full dalam mengambil keputusan yang strategis,” pungkasnya. (pihamdani/ant)