MEDAN (podiumindonesia.com)- Menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, Forum Sastrawan Deli Serdang (Fosad) menggelar acara bertajuk “Panggung Sejarah Araskabu” yang akan dilaksanakan hari Minggu, 14 Agustus 2022 di bekas Stasiun Lama Kereta Api Araskabu, Desa Araskabu Kecamatan beringin Kabupaten Deli Serdang.
Menurut Ketua Panitia acara tersebut, Kamal Nasution, Panggung Sejarah Araskabu merupakan wujud apresiasi Fosad atas peristiwa berdarah yang dialami sejumlah seniman pada masa perjuangan kemerdekaan. “Jika tidak ada halangan, In Shaa Allah acara Panggung Sejarah Araskabu ini akan dilaksanakan mulai pukul 14.00 Wib hingga selesai,” katanya, kemarin.
Tak banyak orang yang tahu, ujar Kamal, Araskabu adalah salah satu stasiun Kereta Api yang menyimpan nilai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kabupaten Deli Serdang.
“Peristiwa itu terjadi tahun 1944 ketika rangkaian gerbong kereta api yang membawa rombongan seniman dalam grup sandiwara Kinsei Gekidan yang dipimpin Lily Suheiry berangkat dari stasiun kereta api Medan menuju Pematang Siantar. Di stasiun kereta Araskabu, Kereta yang ditumpangi Lily Suheiry beserta rombongan berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Saat itulah pesawat terbang Mustang milik sekutu tiba-tiba muncul dan langsung memberondong orang-orang yang ada di stasiun kereta itu,” sebutnya.
Dalam peristiwa tragis tersebut, selain warga sipil, sejumlah seniman rekan Lily Suheiry terluka bahkan tewas. Di antaranya Miss Rubiah, Ani Kinsei, Zubaidah Rahman, Hasan Ngalimun, Hasim Ngalimun, Nunung S dan lain-lain. Bahkan seorang biduan wanita bernama Miss Diding tewas di tempat. Berdasarkan peristiwa tragis itulah Lily Suheiry menciptakan komposisi lagu, “Araskabu.”
Sayang, peristiwa berdarah dalam perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang terjadi di stasiun Araskabu itu bukan hanya luput dari catatan sejarah, tapi bahkan nyaris dilupakan.
Atas dasar peristiwa itulah Fosad kemudian mengambil inisiatif untuk menggelas acara “Panggung Sejarah Araskabu” ini. Tujuannya, seperti kata Sekretaris Fosad, S. Satya Dharma, adalah agar generasi muda Indonesia mengetahui bahwa di satu masa dulu ada satu peristiwa sejarah perjuangan kemerdekaan dimana para seniman menjadi korbannya.
Panggung Sejarah Araskabu itu sendiri nantinya akan diisi dengan sejumlah kegiatan seperti pameran lukisan bertema perjuangan oleh para pelukis muda Sanggar Rowo, pembacaan puisi-puisi perjuangan, pembacaan lirik lagu karya Lily Suheiry dan musikalisasi lagu-lagu perjuangan.
Siapakah Lily Suheiry? Dia adalah seniman, komponis dan veteran pejuang dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Dua. Ia lahir di Bogor pada 23 Desember 1915, wafat 2 Oktober 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan.
Sejak masa penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan, Lily sudah menciptakan ratusan lagu dan komposisi musik. Setidaknya ada sekitar 134 lagu karyanya yang tercatat. Selain menguasai Biola, Lily Suheiry juga mahir memainkan saxophone, klarinet, piano dan sesekali dia juga menyanyi.
Lagunya yang berjudul, “Selayang Pandang” bahkan didendangkan di depan Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Lagu ini tidak hanya terkenal di dalam negeri, tapi di negara lain dengan versi dan penyanyi yang berbeda-beda.
Selain Araskabu dan Selayang Pandang, karya-karya Lily Suheiry lainnya adalah “Bunga Rampai,” “Rayuan Kencana,” “Setangkai Minang.” “Hai Pemudaku,” “Pemuda Indonesia,” “Cumbuan Dewa,” “Figurku”, “ O Bayangan” dan lain-lain yang hampir semuanya menggambarkan gejolak jiwa perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan.
Akibat lagu “Pemuda Indonesia” dan “O Bayangan” Lily Suheiry ditangkap dan disiksa Polisi Rahasia Jepang dan Tentara NICA. Tahun 1945, menjelang berakhirnya pendudukan Jepang, para pemuda yang bekerja di Radio Jepang di Medan diam-diam rupanya menyiarkan lagu karya Lily Suheiry “O Bayangan” yang bernada anti Jepang dan berisi semangat nasionalisme. Akibatnya, Lily Suheiry ditangkap dan disiksa oleh Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) yang bermarkas di bekas Gedung Lendeteves jalan Pemuda, Medan.
Hal yang sama juga terjadi tahun 1947 ketika tentara Sekutu dan NICA menduduki Medan. Lily Suheiry ditangkap NICA karena lagunya “Pemuda Indonesia” dianggap anti Belanda. Lily ditahan selama tiga bulan oleh NICA di Grand Hotel (Hotel Granada) dan disiksa. Tubuhnya tidak hanya disulut dengan api rokok, tapi hidungnya sampai patah karena dipukul oleh Van Der Plank, seorang perwira Belanda.
Setelah Merdeka, pada tahun 1953 Lily Suheiry dan sejumlah pemusik Medan mendirikan Orkes Studio Medan (OSM) dan selama 25 tahun Lily memimpin grup musik tersebut, terutama setelah Orkes Studio Medan resmi menjadi organ RRI Studio Medan. Lily Suheiry meninggal dunia setelah beberapa waktu lamanya terbaring sakit di Rumah Sakit Kodam II Bukit Barisan, Medan. (pi/rel/win)