JAKARTA (podiumindonesia.com)- Pemerintah kini mengkaji kembali rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Aspek yang dikaji mulai ideologi Pancasila, NKRI, dan aspek hukum.
“Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun tentunya masih perlu dipertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya,” ujar Menko Polhukam Wiranto dalam jumpa pers di kantornya, Jl Medan Merdeka, Jakarta Pusat, kemarin.
Keputusan ini diambil dalam rapat koordinasi. Presiden Jokowi, menurut Wiranto, tak grusa-grusu mengambil keputusan. Karena itu, pejabat kementerian terkait mengkaji sejumlah aspek yang disebut Wiranto.
Keputusan pemerintah mengkaji aspek pertimbangan pembebasan Ba’asyirdiambil setelah ramai perbincangan rencana pembebasan Ba’asyir sebagaimana disebut Jokowi pada pekan lalu. Jokowi saat itu mengatakan sudah mendiskusikan pertimbangan panjang atas rencana pembebasan Ba’asyir, yang disebut dengan alasan kemanusiaan.
“Ini pertimbangan yang panjang. Pertimbangan dari sisi keamanan dengan Kapolri, dengan pakar, terakhir dengan Pak Yusril. Tapi prosesnya nanti dengan Kapolri,” ujar Jokowi kepada wartawan di Pondok Pesantren Darul Arqam, Jl Ciledug, Garut, Jawa Barat, Jumat (18/1).
Sedangkan Yusril Ihza Mahendra, yang ikut berkomunikasi dengan Jokowi, menyebut presiden akan membebaskan Ba’asyir tanpa syarat. Ditegaskan lagi soal alasan kemanusiaan karena faktor usia dan kesehatan Ba’asyir.
“Sudah saatnya Ba’asyir menjalani pembebasan tanpa syarat-syarat yang memberatkan. Jokowi berpendapat Ba’asyir harus dibebaskan karena pertimbangan kemanusiaan,” kata Yusril.
Rencana pembebasan Ba’asyir juga direspons Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM. Humas Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto menyebut opsi pembebasan Ba’asyir di antaranya pembebasan bersyarat dan grasi dari presiden.
Untuk pembebasan bersyarat, Ba’asyir disebut Kemenkum HAM sebenarnya sudah bisa mengambilnya pada 13 Desember 2018. Alasannya, Ba’asyir sudah menjalani dua pertiga masa pidana terkait vonis kasus pelatihan militer kelompok teroris.
Hitungan ini mengacu pada sidang vonis pada 16 Juni 2011. Saat itu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ba’asyir bersalah dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara.
Untuk menempuh pembebasan bersyarat, Ditjen Pemasyarakatan menyebut ketentuan bagi narapidana di antaranya meneken surat setia kepada NKRI. Aturan ini tertuang pada PP 99/2012 serta dalam pasal 84 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat.
“Jika melalui mekanisme PB, menurut perhitungan, dua pertiga masa pidananya adalah pada tanggal 13 Desember 2018. Karena Ustaz Abu Bakar Ba’asyir sampai saat ini belum berkenan menandatangani surat pernyataan ikrar kesetiaan NKRI sebagai salah satu persyaratan PB,” ujar Ade Kusmanto.
Tim Pengacara Muslim (TPM) lantas menjelaskan alasan Ba’asyir menolak menandatangani dokumen untuk pembebasan bersyarat. Dokumen itu di antaranya berisi pengakuan tindak pidana, padahal Ba’asyir, menurut TPM, menegaskan tidak melakukan apa yang didakwakan.
“Dokumen itu macam-macam. Yang paling penting adalah dokumen untuk berjanji tidak akan melakukan tindak pidana yang dilakukannya,” kata Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta di kantornya, Jalan Raya Fatmawati, Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Senin (21/1).
Mahendradatta juga menjelaskan alasan Ba’asyir menolak meneken ikrar setia kepada NKRI. Ba’asyir, menurut Mahendradatta, tak perlu meneken setia kepada Pancasila karena sudah setia pada Islam.
“Pembicaraannya begini, ‘Ustaz, kalau ini kok nggak mau tanda tangan, kalau Pancasila itu sama dengan bela Islam’. ‘Lo kalau gitu sama dengan Pancasila, kenapa saya nggak bela Islam saja, kan sama saja. Jadi belum sampai ke argumen yang meyakinkan Ustaz. Kalau hal yang sama, kenapa saya tidak menandatangani yang satu, tidak boleh yang dua.’ Itu hanya sebagai kepolosan saja yang saya bilang,” ujar Mahendradatta. (PI/DTC)