
BULAN Oktober 2019 dua moment jadi perbincangan, termasuk celoteh warganet. Bermula 1 Oktober saat pelantikan Ketua DPR RI Puan Maharani. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawatir Soekarno Putri ‘mengacuhkan’ Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh.
Megawati mengalihkan pandangannya ketika melintasi barisan Surya Paloh bersama Ketua Partai lainnya di gedung Parlemen, Senayan. Pun demikian, Surya Paloh juga tak menyodorkan tangan ke Megawati, cuma berdiri saja menghormati sang Ketua Umum Partai Pemenang Pemilu itu.
Sindiran Netizen mencuat. Perpecahan antara kubu Megawati dan Surya Paloh jadi tranding topik. Saling cuek kedua ketua umum partai tersebut kemudian terlewati. Moment lainnya terjadi pada 20 Oktober pada pelantikan Presiden Jokowidodo dan Wapres Ma’ruf Amin.
Di sana ada Grace Natalie yang notabene Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia. Begitu juga kehadiran mantan petarung Jokowi, Prabowo selaku Ketua Umum Partai Gerindra. Lagi-lagi warganet ribut. Sebab aksi hampir mirip terjadi saat itu ketika Megawati ‘cueki’ Surya Paloh.
Kali ini adalah Prabowo Subianto seolah menolak berjabat tangan dengan Grace Natalie yang sempat berdiri di depannya. Prabowo dengan sertamerta melintas, sedangkan Grace Natalie sempat menyodorkan tangannya. Prabowo acuh saja melewati barisan Grace Natalie.
Di bulan ini, November, Surya Paloh kembali buat gerakan. Yakni datang ke kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia bertemu dengan Presiden PKS Shohibul Iman. Keduanya berangkulan erat seperti sudah fix jadi oposisi.
Dari kondisi yang terjadi (aksi para ketua umum partai), terlihat ada sejumlah manuver politik yang dinilai tak beretika. Para ketua umum partai, mirisnya mempertontonkan ego mereka tanpa rasa malu.
Dengan dalih kebangsaan yang mulai rapuh dan sebagainya, rasa malu untuk sesaat terpaksa dipinggirkan. Tak ayal, pemaksaan kehendak serta syahwat politik dibuka secara vulgar dan menjadi prioritas.
Tak memandang sejarah kelam, pihak yang dulunya lawan dan siteru diberikan karpet merah, sementara teman seiring yang sudah berkeringat tidak mendapat apa pun atas kemerdekaan ‘perjuangan’. Untuk itu semua tidak perlu etika dan rasa malu.
Sepertinya rasa dan budaya malu semakim menipis bahkan sudah tidak ada lagi dalam diri para elit politik. Ambisi mengejar kekuasan dalam kabinet Jokowi jilid 2 adalah hal utama.
Wajarlah, jika ada masyarakat yang mengatakan saat ini kondisi politik sudah tidak sehat & tak lagi beretika. Sayangnya, kadang kader-kader kerdil seumur jagung toh juga memberikan contoh, sebagaimana para ketua umumnya.
Etika politik tak sehat sampai menjurus pertikaian bukanlah gambaran berdemokrasi. Adem ayem cara berpolitik sesuai etika memudar seiring syahwat mengejar posisi. Akankah Indonesia bisa cerdas dalam berpolitikan, atau malah tersungkur di antara perkembangan zaman? Mari kita berkaca di masing-masing cermin yang ada. (***)