MEDAN (podiumindonesia.com) – Peraturan Pemerintah (PP) No 103 Tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional dinilai telah menghambat tumbuh kembang eksistensi praktisi kesehatan tradisional serta organisasi penyehat tradisional.
Menyikapi hal itu, Wakil Direktur Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, Iswan Kaputra menyampaikan, pihaknya telah melakukan berbagai studi untuk menjawab kegelisahan ini.
“Puncaknya, kajian itu dibawa pada seminar nasional ini. Nantinya (kesimpulan) akan digodok lagi dalam policy paper untuk dibawakan ke tingkat pemerintah pusat,” katanya dalam seminar nasional yang dilakukan secara darung dan luring bertemakan ‘peluang dan tantangan PP 103/2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional terhadap eksistensi praktisi kesehatan & organisasi penyehat tradisional’ di Medan, Selasa (21/12/2021).
Iswan berharap, melalui usulan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan revisi terhadap PP nomor 103 tahun 2014 itu. Karena itu, menurutnya, perlu kajian yang sangat komprehensif, baik masukan dari para praktisi kesehatan tradisional, akademisi dan lainnya.
“Sebab, selama ini PP tersebut memang dianggap belum berpihak kepada penyehat tradisional dan juga organisasinya,” tukasnya.
Sementara itu, sebagai pemateri, Ahli Bidang Kesehatan Tradisional Sumatera Utara (Sumut) Rustam Efendi mengaku, setelah mempelajari PP tersebut, dirinya menolak diskriminasi dalam tata kelola layanan kesehatan tradisional. Menurutnya, PP tersebut memiliki titik kritis yang melemahkan kepada praktisi dan organisasi kesehatan tradisional.
“Karenanya kita harap, pemerintah memberdayakan fungsi pembinaan dan pemberdayaannya terhadap kesehatan tradisional,” katanya.
Rustam menilai, PP ini juga melahirkan dua persoalan yang cukup krusial dalam menghambat tumbuh kembang penyehat kesehatan tradisional. Pertama adalah klasterisasi dan kedua menciptakan organisasi profesi yang sentralistik.
“Klasterisasi ini tidak memberikan ruangan yang cukup bagi praktisi kesehatan tradisional, baik yang emperis, komplementer dan integratif,” terangnya.
Rustam menuturkan, bila pun harus dikelompokkan, harusnya pemerintah juga membaginya menjadi empat, dengan menambahkan praktisi kesehatan terlatih. Karena dengan ini, sambung dia, artinya kualitas pelayanan kesehatan tradisional telah diperhatikan oleh negara.
“Jadi ini menurut kami penting, agar pemerintah melakukan perubahan terhadap PP ini,” harapnya.
Sebagaimana diketahui, sebut Rustam, bahwa sektor kesehatan baik global mau pun tingkat lokal merupakan salah satu sektor pembangkit ekonomi. Untuk itu, dalam peraturan, masyarakat patut diberi ruang berpartisipasi aktif meningkatkan derajat kesehatan.
“Tapi pengaturan kesehatan tradisional belum berlandaskan azas keadilan dan cenderung diskriminatif yang berdampak terhadap tumbuh kembangnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu dilakukan penataan ulang sebagai bentuk keberpihakan. Kemudian memberikan dukungan sumber daya dan penyebarluasan informasi terkait pelayanan kesehatan tradisional serta melakukan fungsi pembinaan dalam memenuhi kebutuhan setiap orang terhadap akses pelayanan kesehatan tradisional.
“Karena semua praktisi tidak semata-mata untuk dirinya dan kelompoknya saja, tetapi juga untuk masyarakat. Untuk itu, sangat pentingnya dilakukan revisi tentang pelayanan kesehatan tradisional khususnya yang berkaitan agar dapat tumbuh kembang,” pungkasnya. (pi/nan)