Beranda NASIONAL Putra Batak Pendiri HMI

Putra Batak Pendiri HMI

171
0

LAHIR di Sipirok 12 April 1923 dan wafat di Yogyakarta 24 Januari 1991. Berperawakan keras ciri khas suku Batak Tapanuli. Ya, pria itu dikenal dengan nama Lafran Pane. Merantau sembari menempuh pendidikan di ranah Sri Sultan hingga memprakarsai lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.

JAKARTA, PODIUM
Selama 26 tahun jasad itu berada di liang lahat. Meski telah menjadi kenangan, namun perjuangan HMI yang kini menjadi salah satu organisasi tertua di kalangan mahasiswa tak pernah pudar. Teguh dalam pendirian, tak mau hidup di bawah kungkungan.

Dan, selama itu pula aktivis HMI menanti sosok panutan diangkat menjadi pahlawan. Pun penantian panjang, tapi berbuah kebahagian. Itu terjawab pada Kamis, 9 November 2017 di Istana Negara. Sehari jelang peringatan Hari Pahlawan (10/11), nama pejuang mahasiswa, Lafran Pane terucap. Dia disandingkan dengan tiga gelar pahlawan lainnya, yakni TGKH M Zainuddin Abdul Madjid (dari Nusa Tenggara Barat), Laksamana Malahayati (dari Aceh) dan Sultan Mahmud Riayat Syah (dari Kepulauan Riau).

Anugerah pahlawan nasional diberikan Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, sekarang ada 173 orang yang telah memperoleh gelar sebagai pahlawan nasional. Sebanyak 173 orang itu terdiri dari 160 laki-laki dan 13 perempuan.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebutkan, sebanyak 173 pahlawan nasional itu berlatar belakang sipil mau pun TNI/Polri.

Khofifah menjelaskan, pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan pemerintah kepada seorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara yang semasa hidupnya tanpa cela.

“Mereka yang menyandang gelar pahlawan nasional tidak hanya yang berjasa di medan perang tapi juga di bidang lain yang gaung dan manfaatnya dirasakan secara nasional,” dalam siaran persnya.

Menurut dia, permohonan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden dilakukan melalui Dewan Gelar. Sebelumnya, diadakan verfikasi, penelitian dan pengkajian melalui proses seminar, diskusi, serta sarasehan.

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Hartono Laras, mengatakan ada syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum akhirnya tokoh tersebut diputuskan memperoleh gelar pahlawan nasional oleh presiden. Inilah rekam jejak keempat pahlawan:

1. LAFRAN PANE: Tokoh HMI

Lafran PaneLafran Pane lahir di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer ke arah utara dari Padang Sidempuan. Dia merupakan tokoh pendiri organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang merupakan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.

Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP).

Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam, Rabu 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar.

Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.

Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan.

Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya. Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI.

Dalam artikel berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”, Lafran membagi masyarakat Islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik.

Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi
kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan). Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam.

Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat. Artinya, dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.

Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof. Drs. H. Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi. Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Singkat kata, Lafran Pane Layak dijadikan tokoh nasional bahkan pahlawan nasional.

Karena HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa terbesar yang yang mampu melahirkan tokoh-tokoh terbaik bangsa di negeri ini seperti Dahlan Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo, Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal, Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dll,

Terdapat juga tokoh-tokoh sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M,Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto, Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Ferry Mursyidan Baldan, Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi.

2. LAKSAMANA MALAHAYATI: Pencetus Inong Balee
Tokoh perempuan yang pernah mengoreskan tinta emas di daftar deretan nama-nama yang disegani dan ditakuti oleh dunia Barat dan sekutu di Abad 19 ini memang sedikit kontraversi. Dia mempunyai nama asli Admiral Laksamana Malahayati.

Mungkin sebagian orang Aceh atau masyarakat Indonesia kurang begitu mengenal sosoknya secara lebih dekat. Namun namanya yang kabanyakan dijadikan nama jalan, rumah sakit atau gedung perkantoran ini tidak asing di telinga setiap orang.

Admiral Keumalahayat atau yang biasa dikenal dengan sebutan Laksamana Malahayati adalah salah satu putri dari Admiral Machmud Syah. Dan cucu dari Admiral Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh tahun 1530-1539. Dalam diri Laksamana Malahayati mengalir darah bangsawan dari kesultanan Aceh Darussalam.

Jiwa pelaut ditularkan dari sang ayah merupakan Laksamana angkatan laut pada saat itu. Sehingga tak ayal, jika Laksamana Malahayati akrab dengan dunia Maritim serta strategi perangnya.

Setelah merampungkan pendidikan di pesantren, Laksamana Malahayati melanjutkan ilmu kemaritiman dalam bidang kelautan di sekolah Baital Makdis yang merupakan pusat pendidikan tentara dan sekaligus calon angkatan laut Pasukan Aceh pada saat itu.

Dan dalam studinya, Laksamana Malahayati konon jatuh hati kepada seorang perwira muda di sana. Yang pada akhirnya menjadi pendamping hidupnya. Dan darisinilah sosok Laksamana Malahayati menjadi dikenal.

Dalam sejarah tercatat bahwa pasukan tentara Aceh pernah gugur melawan Portugis di Teluk Haru. Mencapai seribu tentara dan termasuk suami dari Laksamana Malahayati. Karena banyaknya tentara Aceh yang gugur dalam pertempuran serta tak ingin berlama-lama dalam kesedihan sehingga Laksamana Malahayati berinisiatif membentuk pasukan armada tempur Aceh yang diberi nama Inong Balee atau armada perempuan janda. Karena pasukanya mayoritas dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis.

Namun dalam perkembangannya pasukannya tidak hanya terdiri dari para janda, akan tetapi gadis-gadis juga ikut bergabung. Armada ini terbilang disegani karena armadanya memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Dan tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan kapal paling besar dilengkapi lima meriam. Pangkalannya berada di Teluk Lamreh Krueng Raya.

Pada Juni 1599 dua kapal dagang Belanda dipimpin Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman datang mengunjungi Aceh. Kedatangan mereka disambut oleh Sultan dengan upacara kebesaran dan perjamuan. Tetapi setelah itu timbul ketegangan dan konflik, hingga pecah perang melawan Belanda pada September 1599. Sejumlah orang Belanda terbunuh, termasuk Cornelis de Houtman yang dibunuh oleh panglima armada Inong Balee, Malahayati, dengan rencongnya.

Selain menjadi panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu setelah pertempuran melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang memimpin Belanda berusaha memperbaiki hubungan. Maka dikirim utusan ke Aceh, dan Malahayati ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan utusan Belanda, hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Reputasi Admiral Keumalahayati sebagai Penjaga Kesultanan Aceh (Guardian of The Aceh Kingdom) membuat Inggris memilih menggunakan langkah diplomatik untuk memasuki Selat Malaka. Ratu Elizabeth I mengirim James Lancaster kepada Sultan Aceh, yang kemudian bernegosiasi dengan Keumalahayati. Hasil dari negosiasi adalah perjanjian pembukaan rute kapal dagang Inggris ke Jawa yang disusul dengan pembukaan kantor cabang Inggris di Banten.

Ratu Elizabeth I menganugerahi Lancaster gelar Knighthood atas suksesnya melakukan pembicaraan diplomatik dengan Aceh dan Banten. Admiral Keumalahayati tewas dalam peperangan melawan Portugis di Teuluk Krueng Raya, dan dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, 34 km dari Banda Aceh. Di dunia, nama Admiral Keumalahayati sering disebut sebagai satu dari 10 Best Woman Warrior, dan satu dari 7 Warlord Woman in history.

3. SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH: Raja Termuda di Asia
Penetapan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pahlawan nasional menyusul nama-nama seperti Raja Ali Haji dan Raja Haji Fisabilillah yang juga berasal dari Kepulauan Riau.

Jika menelisik sejarahnya, Sultan Mahmud Riayat Syah punya cerita menarik. Seperti dikutip dari situs Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Mahmud Riayat Syah ternyata sudah menjadi sultan Kerajaan Lingga pada 1761. Saat itu, usianya baru 2 tahun.

Sebagai pemimpin tertinggi Kerajaan Johor-Riau-Lingga dan Pahang, Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III terlibat dalam pertempuran melawan penjajah Belanda di antaranya perang di Teluk Riau dan Teluk Ketapang Melaka pada tahun 1784.

Selain beberapa kali bentrok dengan Belanda, Sultan Mahmud Syah III juga memperkuat armada perangnya dan membangun pusat-pusat ekonomi.

Sultan Mahmud Syah III juga mempererat hubungan dengan beberapa kerajaan lain seperti Jambi, Mempawah, Indragiri, Asahan, Selangor, Kedah dan Trenggano.

Lahir pada tanggal 24 Maret 1756, Mahmud Syah III adalah anak bungsu dari sultan Johor ke-13, Abdul Jalil Muazzam Syah dengan istri keduanya, Tengku Puteh binti Daeng Chelak. Mahmud Syah III adalah adik sultan Johor ke-14, Ahmad Riayat Syah (berkuasa dari tahun 1761-1770).

Mahmud Syah III naik tahta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah (1752-1770. Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah. Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu.[3] Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.

Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777). Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).

4. TGKH M ZAINUDDIN ABDUL MADJID: Pendiri Nahdlatul Wathan
Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun) adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di provinsi tersebut.

Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islam dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).

Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid’ dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajji Abdul Madjid (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu’minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shalihah bernama Hajjah Halimah al-Sa’diyyah.

Nama kecil beliau adalah ‘Muhammad Saggaf’, nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjid, didatangi dua waliyullah, masing-masing dari Hadhramaut dan Maghrabi. Kedua waliyullah itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqaf”.

Beliau berdua berpesan kepada TGH Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama “Saqqaf”, yang artinya “Atapnya para Wali pada zamannya”. Kata “Saqqaf” di Indonesia-kan menjadi “Saggaf” dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi “Segep”. Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan “Gep” oleh ibu beliau, Hajjah Halimah al-Sa’diyyah.

Setelah menunaikan ibadah hajji, nama kecil beliau tersebut diganti dengan ‘Hajji Muhammad Zainuddin’. Nama ini pun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang ‘ulama’ besar yang mengajar di Masjid al-Haram. Akhlaq dan kepribadian ulama’ besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulama’ besar itu adalah Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak, dari Serawak, Malaysia.

Sejak kecil al-Mukarram Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliau.

Ketika melawat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahandanya yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjid al-Haram dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim hajji. Sedangkan ibundanya Hajjah Halimah al-Sa’diyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.

Dengan demikian, tampak jelas betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo’akan dengan ucapan “Mudah mudahan engkau mendapat ‘ilmu yang barakah” sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata.

Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya ‘Tuan Guru Bajang’. Semula, pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Pada zaman penjajahan, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah.
Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”. Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. (PI/net)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini