Home HUKUM Ramses Butar-butar SH: Tak Berlaku Hukum Adat, Karena Kita Penganut Hukum Positif

Ramses Butar-butar SH: Tak Berlaku Hukum Adat, Karena Kita Penganut Hukum Positif

30
0
Ramses Butar-butar SH, pengamat hukum.
Ramses Butar-butar SH, pengamat hukum.

MEDAN (podiumindonesia.com)- Menyikapi viralnya putusan tiga hakim PN Bekasi yang menolak gugatan perceraian, Ramses Hotman Butar-butar angkat bicara.

Ramses, panggilan akrab pengamat hukum sekaligus pengacara ini berkata tegas bahwa ada azas lex specialis derogant lex generalis. Yang mana artinya ada hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

“Jadi, apa yang dilakukan oleh 3 Hakim PN Klas IA Khusus Bekasi tersebut sangat tidak tepat untuk menolak gugatan cerai. Apalagi mereka berpedoman kepada hukum adat dalihan natolu. Apa pula dasarnya?” kata Ramses membuka percakapan kepada wartawan, Kamis kemarin.

Ramses yang juga sebagai anggota Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) ini menyesalkan tindakan 3 hakim itu.

“Tidak ada berlaku hukum adat karena kita penganut hukum positif. Tdak pernah ada dasarnya harus berdasarkan dalihan natolu. Gugatan perceraian itu diajukan guna membatalkan perkawinan yang telah didaftarkan di Dukcapil, bukan malah membatalkan adatnya,” sebutnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Law Office Raja Tahan Panjaitan SH dan Partners melaporkan tiga hakim PN Bekasi, Ranto Indra Karta, Abdul Rofik dan Rakhman Rajagukguk ke Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung dan ke Badan Pengawasan MARI.

Laporan tersebut, karena patut diduga dalam penanganan perkara perdata nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks melakukan pelanggaran kode etik. Kepada wartawan dalam press rilisnya, Selasa (23/11/2021), menyatakan selaku Kuasa Hukum dari Penggugat dalam perkara Gugatan Cerai di Pengadilan Negeri Bekasi Kelas 1A Khusus tersebut, LAW OFFICE RAJA TAHAN PANJAITAN, SH & PARTNERS melaporkannya.

Bahwa patut diduga ketiga majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi);

Ada pun “Abuse Of Power” yang dilakukan oleh majelis hakim menurut hemat penasehat hukum ‘JS’ selaku principal yakni sebagai berikut: sebelum pemeriksaan pokok dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 sudah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock).

Kemudian seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim masih berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun tetap gagal dan mengalami kebuntuan. Selanjutnya, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera).

Lalu dalam putusannya, majelis hakim terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, di mana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar sehingga harus terlebih dahulu melibatkan lembaga adat batak yang bernama DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalahnya. (pi/ril/win)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here