MEDAN (podiumindonesia.com)-
Pangonal Harahap telah divonis majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan selama 7 tahun penjara. Usai vonis April lalu itu, kini sang anak buah berhasil diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin.
Adalah Umar Ritonga, tangan kanan Pangonal yang buron selama 1 tahun itu ditangkap di rumahnya di Labuhanbatu.
Umar adalah tersangka kasus suap terkait proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Tahun Anggaran 2018.
Tak butuh waktu lama, alhasil KPK pun menggiringnya ke Gedung Merah Putih pada Kamis (25/7/2019) malam. Selanjutnya akan dilakukan penahanan.
“(UMR dibawa ke Jakarta) Untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di kantor KPK. Tentu akan dilakukan pemeriksaan malam ini. Dan setelah itu, akan dilakukan penahanan oleh penyidik,” jelas
Kabag Pemberitaan dan Publikasi, Biro Humas KPK Yuyuk Andriati
Sebelumnya, KPK bersama personel kepolisian berhasil menangkap tangan kanan Bupati Labuhanbatu, Pangonal itu di rumahnya.
“Tim mengetahui UMR berada di rumah, dan kemudian tim melakukan penjemputan dengan bantuan Polres Labuhanbatu. Pihak keluarga bersama lurah setempat juga kooperatif menyerahkan UMR untuk proses lebih lanjut. KPK menghargai sikap kooperatif tersebut,” kata Yuyuk.
KPK mengimbau kepada semua pihak untuk bersikap kooperatif dalam proses hukum dugaan tindak pidana korupsi. Terlebih, hingga dijadikan DPO oleh lembaga antirasuah.
Sememtara big boss Umar Ritonga, Pangonal Harahap lebih dulu mendekam di balik jeruji besi usai vonis awal April lalu.
Majelis hakim menyatakan, Pangonal terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menerima suap sebesar Rp 42,28 miliar dan SGD 218 ribu dari pengusaha. Dia terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Selain menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan.
“Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ujar Ketua Majelis Hakim Erwan Efendi waktu itu.
Selain hukuman penjara dan denda, Pangonal juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 42,28 miliar dan SGD 218 ribu. Jika Pangonal tidak membayar dalam satu bulan maka harta bendanya akan dilelang untuk membayar kerugian negara.
Apabila harta bendanya tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara maka akan diganti dengan satu tahun penjara. Tak hanya itu, bahkan majelis hakim memberikan terdakwa hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik terdakwa.
“Memberi hukuman tambahan terhadap terdakwa, berupa pencabutan hak dipilih selama tiga tahun setelah terdakwa menjalani hukuman pokok,” sebut majelis hakim.
Diketahui, Pangonal dituntut 8 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan oleh Penuntut Umum KPK. Selain itu, KPK juga menuntut agar terdakwa dikenakan hukuman pengganti sebesar Rp 42,28 miliar dan SGD 218 ribu.
Dengan ketentuan, jika tidak dibayar dan harta bendanya tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara, maka diganti dengan satu tahun penjara. Penuntut umum KPK juga meminta, agar terdakwa diberikan hukuman tambahan berupa dicabut hak pilihnya selama 3,5 tahun.
Dalam dakwaannya, penuntut memaparkan, Pangonal sebagai Bupati Labuhanbatu telah melakukan beberapa perbuatan berlanjut. Perbuatan tersebut yakni, menerima hadiah berupa uang yang seluruhnya Rp 42,28 miliar serta SGD 218 ribu dari pengusaha Efendy Sahputra alias Asiong.
Pemberian uang itu, berlangsung sejak 2016 hingga 2018. Uang tersebut diberikan melalui Thamrin Ritonga, Umar Ritonga (DPO), Baikandi Harahap, dan Abu Yazid Anshori Hasibuan.
Uang senilai Rp 42,28 miliar dan SGD 218 ribu itu diberikan Asiong agar terdakwa memberikan beberapa paket pekerjaan di Kabupaten Labuhanbatu Tahun Anggaran 2016, 2017, dan 2018 kepadanya. (pi/syahduri)