
MEDAN (podiumindonesia.com)- Prof DR Mahidin Gultom dalam keahliannya menerangkan bahwa BPK-lah yang berhak mengaudit keuangan negara dan bukan BPKP.
Pernyataan ini disampaikan Mahidin dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan Praperadilan yang diajukan dua tersangka korupsi Marahalim Harahap selaku Plt Kadis Pendapatan, Pengelolahan Keuangan dan Aset Daerah Pemkab Labusel dan Salatieli Laoli Kepala Bidang (Kabid) Pendapatan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemkab Labusel, melalui Penaskhat Hukumnya, DR Adi Mansar Lubis SH MHUM, Rabu (5/2/2020).
Selain itu, ia juga menerangkan bahwa pihak pelapor bisa menjadi saksi dalam persidangan asalkan yang bersangkutan pernah mengalami langsung dan juga telah diperiksa sebagai saksi. Sementara dalam persidangan, ketika penasehat hukum kedua tersangka juga menanyakan tentang disertasi ilmu hukum yang didalami oleh ahli. Dalam persidangan ahli lebih menyatakan pada peradilan atau perlindungan anak
“Kalau saya biasanya tentang penanganan perlindungan anak namun bukan berarti masalah hukum pidana lainnya termasuk korupsi juga memahaminya,” ucapnya. Usai mendengarkan keterangan ahli, sebelum menutup persidangan, hakim tunggal Praperadilan, Irwan Effendi menanyakan apakah pihak termohon akan mengajukan ahli? Menjawab itu pihak termohon menyatakan iya.
Sementara itu, Adi Mansar menyampaikan apresiasi dan profesionalitas ahli dalam menjawab berbagai tanggapan tentang permasalahan hukum pidana termasuk korupsi. Meski ahli cenderung dalam keahlian di bidang perlindungan anak namun masalah tipikor memahami. Lanjut Adi Mansar, ahli secara tegas mengatakan yang berhak melakukan audit adalah BPK.
Sebagaimana dalam permohonan prapid, Adi Mansar meminta agar hakim yang memeriksa permohonan tersebut mengabulkan permohonan prapid pemohon seluruhnya. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/28-G/I/2020/Ditreskrimsus tanggal 08 Januari 2020 yang menyatakan
Para pemohon sebagai tersangka terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Subs. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Jo Pasal 64 KUHP adalah tidak sah.
Menyatakan Surat Ketetapan Termohon (ic. Dirreskrimsus Polda Sumut) Nomor : S.Tap/03/I/2020/Ditreskrimsus, tanggal 08 Januari 2020 Tentang Penetapan Tersangka atas nama Marahalim Harahap adalah tidak sah. Menyatakan Surat Ketetapan Termohon (ic. Dirreskrimsus Polda Sumut) Nomor : S.Tap/04/I/2020/Ditreskrimsus, tanggal 08 Januari 2020 tentang penetapan tersangka atas nama Salatieli Laoli adalah tidak sah. Menyatakan tidak sah segala penetapan atau putusan yang dikeluarkan oleh termohon terhadap para pemohon.
Seperti diketahui, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Subdit III Tindak Pidana Korupsi, Polda Sumatera Utara menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan (DBH PBB) di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) dan Labuhanbatu Selatan (Labusel).
Untuk di Kabupaten Labura terjadi di tahun 2013, kerugian negara berkisar Rp 2,9 miliar, penyidik Tipidkor Polda Sumatera Utara menetapkan tiga orang tersangka, di antaranya AKL, RD, dan AP. Sedangkan untuk Kabupaten Labusel terjadi di tahun 2013-2015 dengan kerugian negara Rp 1,9 miliar. Tersangka dalam kasus ini ada dua, MH dan SL. Dalam kasus ini, penyidik juga telah memeriksa Bupati Labura Khairuddin Syah Sitorus dan Bupati Labusel Wildan Aswan Tanjung.
Selain dua pemimpin di Labusel dan Labura itu, penyidik juga telah memeriksa Sekretaris Daerah (Sekda) Labura, Kepala Dinas Pendapatan Labura, serta beberapa pejabat di lingkungan Pemkab Labura. (pi/syahduri)