STABAT (podiumindonesia.com)- Perseturuan etnis antara Melayu dan Karo yang terjadi beberapa hari belakangan ini memicu polemik kekisruhan di masyarakat Langkat.
Ini terjadi akibat beberapa oknum yang mengklaim pemisahan sejarah antara Melayu dan Karo. Padahal sebenarnya Melayu dan Karo merupakan serumpun. Hadir Tengku Chandra Hardi selaku Raja Stabat yang menjadi inisiator perdamaian antar Melayu dan Karo di Jambur Marga Silima Rumah Adat Karo. Hadir pula perwakilan Pemuda Marga Silima (PMS) Kabupaten Langkat yang diwakili Santa Peronika Sembiring dan Matesa Sembiring selaku Mediator dari Pemuda Marga Silima.
“Ke depan kita bersepakat untuk tidak ada lagi kesalahpahaman bahwa Melayu dan Karo ini merupakan serumpun yang tidak dapat dipisahkan,” sebut Tengku Chandra Hardi selaku Raja Stabat, Minggu (19/01/2020) di Jambur Marga Silima Rumah Adat Karo.
“Jangan ada lagi yang ingin coba-coba mengadudomba hingga memecah belah antara Melayu dan Karo di Langkat ini, jika nanti kita temukan ada pihak yang sengaja mengadu domba antara Melayu dan Karo maka akan kita tindak lanjuti secara tegas,” tegasnya.
Semoga, kata Chandra, dengan kejadian ini dapat menambah keharmonisan antara Melayu dan Karo di masa yang akan datang. “Tidak pernah sampai terjadi perseteruan dari zaman leluhur kami dahulu antara Melayu dan Karo dan ini cukup untuk yang pertama dan terakhir kalinya, mari kita bergandengan tangan antara Melayu dan Karo untuk menjaga keamanan dan keharmonisan agar bersama-sama membangun Kabupaten Langkat ini menjadi kabupaten yang beradab, bermartabat dan lebih baik di masa yang akan datang, ahooii, mejuah-juah, tabik,” tutupnya.
Moh Kite Bangket
Puak kita ne dah pernah mengalami jatoh bangket, jatoh bangket lagi. Cubala kalian keleh sejarah masa lampau, wilayah ini pernah di serang kerajaan Chola dari India Selatan, tapi mampu bangket lagi. Setelah Chola, kerajaan Johor Lama pernah pula menguasai wilayah yang bernama Aru ini, namun puak Melayu disini saat itu masih mampu berdiri tegak.
Setelah serangan dari dua kerajaan besar itu, kerajaan Aceh darussalam pula yang menyerang bertubi-tubi wilayah ini hingga akhirnya luluh lantak, namun sisa-sisa petinggi Aru yang selamat berhasil meloloskan diri dan membangun koloni barunya di kawasan yang sekarang diberi nama Labuhan Deli. Namun tak beberapa lama, wilayah tersebut juga digempur kekuatan Aceh hingga menjadi Kesultanan Deli.
Walaupun begitu, puak Melayu mampu selamat melarikan diri saat itu hingga mampu bangket dan membangun puing-puing kerajaannya yang telah dihancurkan Aceh hingga akhirnya muncullah kerajaan Langkat sebagai salah satu penerus kerajaan Aru. Kerajaan Langkat yang wujud sejak Raja Kahar memindahkan pusat kerajaannya dari Kota Rantang dan Kota Datar Hamparan Perak dan membuka wilayah yang di kenal dengan Kota Dalam di Secanggang pada 17 Januari 1750. Puak Melayupun dapat bangket sekali lagi saat itu. Tak lama, kepemimpinan diteruskan oleh putra Sulung Raja Kahar yakni Raja Badiuzzaman hingga mampu menjaga tambang emas di Bahorok dan membuka kota pelabuhan di Kota Dalam.
Selain itu, Puak Melayu mampu membangun koloni-koloni barunya di Bahorok, Jentera Malay, Johor, Stabat, Bingai, Selesai dan Tanjung Pura yang berada di sepanjang Sei Wampu yang dulunya masih merupakan hutan belantara.
Namun naas, sekali lagi kita tersungkur oleh Kerajaan Siak dan Belanda datang menginvasi sejak 1815 hingga 1821 dalam periode pertama yang dilanjutkan dengan politik adu domba. Bandar Diraja atau Negara Kota yang telah dibangun dipaksa untuk dihancurkan dengan strategi politik satu pintu menerapkan sistem monarki absolut dengan menghapus sistem federasi hingga berhasil melakukan invasi kedua sejak 1862 hingga 1865. Sekali lagi kita jatuh tersungkur !
Belanda pun menguasai wilayah ini dengan membabat habis hutan adat Puak Melayu Langkat dengan mendatangkan ribuan kuli dan askar upahan dari luar untuk membuka perkebunan Tembakau, Karet, Kopi, Lada, Cengkeh dan Tebu sejak 1870.
Sistem pemerintahanpun berubah drastis dari kerajaan yang berpusat di sepanjang aliran Sei Wampu tepatnya di Kota Dalam dan Jentera Malay menjadi kesultanan yang berpusat di Kota Pati (Klamber) yang saat ini dikenal dengan Tanjung Pura sejak 1887.
Namun, sejak revolusi kemerdekaan, sekali lagi puak Melayu jatuh tersungkur pada 1946 dalam peristiwa revolusi hitam. Kesultanan Langkat dilenyapkan oleh Puak Komunis, wilayah ini nyaris dikuasai puak pendatang. Melayu di cap feodal, malas dan bodoh.
Kondisinya nyaris teruk, terserak, terburai hingga lemah bahkan tergadai oleh pihak yang memiliki kepentingan sesaat dan nyaris ditinggalkan oleh kaum intelektualnya. Puak Melayu saat ini nyaris diurus oleh panglima talam dan bajak laut yang menyandera kekuatan puak Melayu untuk bangket.
Oleh karena itu, kebangkitan pada prinsipnya hanya mampu dijalankan oleh generasi baru yang dapat menyelamatkan Puak Melayu ini untuk mampu bangket sekali lagi. Harapan baru, kekuatan baru yang lebih fresh dan dinamis berada di tangan generasi muda Melayu untuk mampu menghimpun kekuatan agar bangket sekali lagi dengan mengusung program ‘Jihad Ekonomi & Gerakan 1000 Kader untuk ‘Membangun Melayu Baru & Masa Depan Langkat” di masa hadapan. Sejarah pernah mencatat jatoh bangketnya Puak ini dengan menggunakan kekuatan dari dalam, kekuatan gotong royong, menyambut generasi baru, menyongsong masa depan. Esa Hilang Dua Terbilang. (pi/rusdi)