JAKARTA (podiumindonesia.com)- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bekasi Kelas 1A Khusus dilaporkan ke Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Pasalnya, para ‘pengetuk palu’ diduga melakukan pelanggaran kode etik.
Adalah Raja Tahan Panjaitan SH dan R Wijaya S SH sebagai pelapor yang juga kuasa hukum Penggugat dalam perkara Gugatan Cerai nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks, yang mmelaporkan tiga orang Majelis Hakim PN Bekasi Kelas IA Khusus.
Melalui surat pelaporan tertanggal 22 November 2021, diterima awak media, kuasa hukum penggugat perkara gugatan cerai dari Law Office Raja Tahan Panjaitan, SH & Partners menyebutkan, bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya, terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi).
“Abuse Of Power” yang telah dilakukan oleh majelis hakim tersebut adalah sebelum pemeriksaan pokok perkara a qou dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA nomor 01 tahun 2016 telah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock);
Bahwa seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim tersebut juga berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara. Sayangnya, upaya yang dilakukan tetap gagal dan mengalami kebuntuan.
Dijelakan, bahwa selama pemeriksaan perkara a quo, majelis hakim tidak profesioanal dan mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena terkesan mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera).
“Dalam putusannya, majelis hakim tersebut terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum: bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, di mana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar, jadi harus melibatkan lembaga adat batak yang bernama DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalahnya,” sebut kuasa hukum dalam surat tertulisnya.
Selain itu, Majelis Hakim telah melanggar asas-asas peradilan hukum perdata, yaitu azas bahwa hakim dalam pemeriksaan perkara perdata haruslah bersifat pasif atau diam. Artinya bahwa hakim hanya bersifat menunggu pembuktian dari para pihak berperkara yang bertujuan untuk menghindari adanya pertimbangan hukum bersifat subyektif dan harus berdasar bukti dan fakta-fakta di persidangan yang diajukan oleh para pihak.
“Dalam hal ini, majelis hakim tersebut telah melanggar azas tersebut, dimana dalam pertimbagan hukumnya menyebut bahwa perceraian adalah Ultimun Remedium, sehingga gugatan Penggugat disebut premature,” beber kuasa hukum.
Dalam penerapan asas Ultimun Remedium, majelis hakim tersebut tidak berdasar secara hukum, karena penerapan azas dimaksud hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana bukan dalam perkara perdata.
“Azas-azas hukum dalam perkara pidana dan perkara perdata sudah sangat jelas jauh berbeda, dimana dalam perkara pidana hakim harus aktif guna menggali kebenaran materil sedangkan dalam perkara perdata hakim bersifat menunggu para pihak berperkara dan hanya memutus perkara yang diajukan oleh para pihak secara obyektif sesuai bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan berdasarkan undang-undang yang berlaku atau dengan kata lain hanya kebenaran formil,” jelas kuasa hukum.
Dari beberapa point permasalahan tersebut, maka kuasa hukum penggugat dalam perkara Gugatan Cerai nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks melaporkan tiga Majelis Hakim PN Bekasi Kelas IA Khusus ke Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial RI. (pi/ril/win)