Home BERITA UTAMA Ulama Penyair Gang Bengkok Gugat Sejarah Sastra

Ulama Penyair Gang Bengkok Gugat Sejarah Sastra

51
0


MEDAN (podiumindonesia.com)- Tak banyak yang tahu, di Medan, tepatnya dari Gang Bengkok, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, ada seorang penyair yang juga ulama legendaris.

Di tahun 1950-1970 dia cukup dikenal karena sangat produktif menulis syair. Bahkan telah menerbitkan setidaknya 14 buku puisi yang ditulis dalam bentuk syair. Sebagian bukunya itu meraih best seller. Dialah H Abu Bakar Ya’cub. Sayang, dalam jagad sastra Tanah Air yang konstruksinya Jawasentris, nama Abu Bakar tidak tercatat.

Padahal, selain karya-karyanya, Abu Bakar patut dibahas karena ia justru mementahkan teori sejarah sastra Indonesia yang selama dikenal dan diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi. Demikian dikatakan sejarawan Ichwan Azhari saat memandu seminar “Dekonstruksi Sejarah Sastra dengan tema H. Abu Bakar Ya’cub Ulama Penyair Terlupakan dari Medan.

“Seminar berlangsung di gedung Museum Sejarah Alquran Sumatra Utara, Gedung Serba Guna Sumatra Utara, Jalan Williem Iskandar, Medan, Sabtu (5/10/2019). Seminar dihadiri kurang lebih 150 orang dari berbagai kalangan dan latarbelakang akademis.

“Rezim Jakarta sudah terbukti tidak adil dan keliru dalam mengkonstruksi sejarah Indonesia. Konstruksi itu sering dilakukan suka suka, tanpa riset. Di lapangan, sejarah sastra yang buat juga banyak keliru. Tapi dekonstruksi sejarah sastra made in Jakarta itu terus di lakukan berdasar bukti-bukti baru yang ditemukan di Medan,” Ichwan.

Ichwan menjelaskan, dalam teori sejarah sastra Indonesia, karya sastra lama yang salah satu bentuknya adalah syair, disebut sudah terkubur sejak era Pujangga Baru muncul 1920-an dan era setelahnya dianggap mengusung sastra Indonesia modern.

Padahal dari Mesjid Gang Bengkok Medan, ada seorang ulama terkenal di Medan yang sangat aktif tidak hanya berdakwah tapi juga menulis termasuk menulis syair keislaman yang sangat produktif. Dialah Haji Abubakar Ya’cub, ulama Medan yang legendaris pada era 1950-1970 an.

Ichwan mengaku, lewat cucunya, Muaz Tanjung yang juga dosen UIN Sumut, sejak 5 tahun belakangan, Ichwan mencoba mengumpulkan semua buku yang pernah ditulis Abubakar Ya’cub. Dikatakannya hal itu ia lakukan sebagai bagian dari program mengumpulkan semua karya ulama Sumatera Utara dalam rangka atau bagian dari rencana pendirian Museum Sejarah Al Quran Sumatera Utara.

“Hasil riset saya, saya temukan 14 buku puisinya, semua ditulis dalam bentuk syair, terbitan Medan kurun waktu 1950-1960 an. Saya terkejut ketika mendapatkan data bahwa buku puisi ini sangat digemari khalayak, terbukti dari jumlah tirasnya yang mengagumkan untuk buku puisi,” kata Ichwan.

Dari segi tiras, sambungnya, jumlah cetaknya luar biasa. Tak ada penyair modern manapun yang bisa menandingi di kurun waktu itu. Sekali cetak ada yan 6000, ada 8000 eksmplar. Dan dalam setahun berikutnya ada yang di cetak ulang. Peredaran buku puisinya sampai dan banyak di Jawa. Bahkan, di beberapa tukang buku loak di Jogya dan Solo saya kerap menemukan buku puisi karya Abubakar Ya’cub ini.

“Saat saya cek di Perpustakaan Nasional Jakarta, ternyata bukunya sudah lama dikoleksi di sana. Genre sastra syair Medan sebenarnya sudah saya dokumentasikan mulai dari sastra Koran Medan tahun 1916-an. Ada ribuan bait, ada puluhan penyair yang menulis. Bahkan karya A Rachman, Syair Puteri Hijau yang semula terbitan sastra koran Medan, diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka Jakarta tahun 1930-an,” terangnya. (pi/mbc)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here