Home BERITA UTAMA Yasonna Laoly Disebut Pemain Utama Revisi UU KPK

Yasonna Laoly Disebut Pemain Utama Revisi UU KPK

69
0

JAKARTA (podiumindonesia.com)- Ada pemain utama di balik polemik revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang berujung penolakan hingga aksi demo ribuan mahasiswa di depan Gedung DPR RI. Mirisnya, pemain utama di balik revisi yang dinilai melemahkan KPK ini datang dari internal pemerintahan. Begitu dikatakan Ketua YLBHI, Asfinawati saat merunut jejak digital.

“Kalau kita lihat dari tahun 2015 ketika revisi (UU KPK) bergulir, maka pemain utama adalah Pak Yasonna Laoly berdasarkan jejak digital yang ada,” ungkap Ketua YLBHI, Asfinawati di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Menurut Asfinawati, saat menjadi Menkumham, Yasonna kerap menggaungkan wacana revisi UU KPK. Bahkan, kata Asfinawati, kala itu Yasonna mengklaim telah berdiskusi dengan presiden Jokowi soal revisi UU KPK.

“Pak Yasonna dari PDIP dan ternyata ada kemelut bahwa dia tidak berdiskusi dengan presiden. Jadi ada persoalan di 2015,” papar Asfinawati. Di sisi lain, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif pernah menyebut mantan Menkumham itu mengklaim telah membahas revisi UU KPK bersama Ketua KPK, Agus Rahardjo sebelum UU disahkan.

“Pak Yasonna Laoly tidak perlu membuat narasi baru dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Saya dan Pak Agus Rahardjo ditemani Pak Pahala Nainggolan dan Pak Rasamala Aritonang pergi menemui Pak Yasonna untuk meminta DIM yang disampaikan pemerintah kepada DPR. Tapi Pak Yasonna tidak memberikan DIM tersebut kepada kami,” kata Laode.

Sementara itu hasil penelitian Universitas Oxford yang menunjukkan elite politik Indonesia menggunaan buzzer menjadi momok bagi demokrasi di Indonesia.

Ketua YLBHI Jakarta, Asfinawati menyatakan, buzzer justru merusak tatanan kehidupan berdemokrasi di tanah air lantaran mengaburkan fakta. “Beberapa laporan, ada dari Universitas Oxford yang menunjukkan sebenarnya ada buzzer, yaitu orang yang dibayar untuk mengungkapkan hal tertentu dan pemerintah mengakui mereka punya buzzer,” katanya.

YLBHI, kata Asfinawati, menyesalkan ulah para politikus di Indonesia yang menggunakan buzzer dengan tujuan memanipulasi opini publik tersebut. “Kalau kita mau mempertahankan iklim demonstrasi kita, maka fakta harus diterima, bukan dimentahkan oleh buzzer yang dibayar,” kesalnya.

Di sisi lain, keberadaan buzzer ini juga dapat melemahkan pers lantaran narasi yang diproduksi mengesampingkan kaidah jurnalistik, bahkan hingga melanggar kode etik atau hanya sekadar propaganda belaka. “Media itu punya aturan sendiri ada kode etik,” tegasnya. “Itu adalah sebuah sinyal bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman, sedang menurun. Kalau diteruskan, lama-lama kita bisa tidak punya demokrasi lagi,” tandasnya. (pi/rmol)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here