HARGA jual Cristiano Ronaldo ke Juventus dari Real Madrid sekitar Rp 1,8 triliun. Sedangkan Neymar Junior senilai Rp 3,5 triliun. Nah, jika digabung kedua pemain termahal di dunia ini, toh masih mengalahi nominal kerugian negara pada 2017 lalu, senilai Rp 6,5 triliun. Intrik korupsi jadi biang keroknya.
MEDAN (podiumindonesia.com)- Artinya, dengan nilai korupsi Rp 6,5 triliun bisa membeli CR7 dan Neymar demi mengangkat pamor persepakbolaan Indonesia. Seperti begitulah catatan Indonesia Corruption Watch (ICW). Tercatat (2017), ada 576 kasus korupsi dan suap Rp 211 miliar.
Jumlah tersangkanya mencapai 1.298 orang. Berdasarkan rilis ICW, jika dibandingkan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan.
Hal ini terutama pada aspek kerugian negara. Pada 2016, kerugian negara dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017. Sungguh angka yang sangat fantastis.
Berbicara korupsi tak terlepas dari hasrat rakus para pejabat dan anggota legislatif. Berangkat dari situ pula, alhasil Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU. Yakni menyangkut pelarangan mantan korupsi turut ambil bagian dalam Pemilu 2019 nanti.
Hanya saja, walau Kemenkum & Ham telah mensahkan PKPU menjadi perundang-undangan, namun masih ada saja KPU Daerah (KPUD) yang kerap melanggarnya. Apakah ada kepentingan terhadap pejabat koruptor yang mencalonkan, atau sengaja dikondisikan demi untuk meraup keuntungan?
Tanda tanya itu menyeruak seketika. Bahkan, tiga provinsi yang tercatat menolak keputusan Kemenkum & Ham, yaitu Provinsi Aceh, Kabupaten Toraja Utara (Sulsel), dan Provinsi Sulawesi Utara berhasrat meloloskan calon legislatif mantan koruptor.
Sedangkan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Fritz Edward menyatakan dengan tegas dan meminta semua pihak untuk patuh terhadap putusan yang dibuat oleh panitia pengawas pemilihan umum (Panwaslu).
Ketiga mantan napi tersebut, yaitu bacaleg DPD dari Sulawesi Utara, Syahrial Damapolii, Bacaleg DPD dari Aceh, Abdullah Puteh, dan Bacaleg DPRD Toraja Utara, Joni Kornelius Tondok.
“Kami berharap kepada setiap orang patuh pada putusan pengadilan. Bawaslu bertindak sebagai quasi pengadilan sudah melaksanakan tugas dan kami minta semua pihak patuh pada putusan yang ada,” ujar Fritz, di kantor Bawaslu RI, akhir Agustus kemarin.
Bawaslu dapat menjalankan tugas sebagai Badan Pengadilan Administratif Semu (Quasi Rechtspraak). Ini adalah suatu badan peradilan yang menangani perkara-perkara terlepas dari pengadilan biasa, di mana pejabat-pejabat administrasi negara memegang peranan dan para anggota badan tersebut mempunyai status sebagai hakim.
Menurut Fritz, tugas Bawaslu sudah selesai pada saat membacakan putusan. Untuk itu, dia meminta kepada KPU supaya segera menjalankan keputusan tersebut.
“Bawaslu bertindak sebagai hakim harusnya sudah selesai pada saat membacakan putusan. KPU harus segera berkewajiban melaksanakan putusan administrasi dan sengketa pemilu,” kata dia.
Dia menjelaskan, Pasal 469 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan.
“Itu sudah diatur dalam pasal 469 UU 7 (UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,-red)” tambahnya.
Adanya putusan Bawaslu dan Panwaslu, tiga mantan koruptor yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU, akhirnya dinyatakan memenuhi syarat (MS) sebagai bakal caleg DPD dan DPRD kabupaten setempat.
Namun, KPU belum menjalankan putusan Bawaslu dan Panwaslu sehingga tiga mantan koruptor ini belum bisa masuk DCS. Hal ini, karena KPU menunggu hasil judisial review Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Abdullah Puteh diketahui pernah menjadi tersangka kasus korupsi pembelian dua helikopter senilai Rp 12,5 miliar pada 2004 lalu. Joni Kornelius Tondok pernah melakukan korupsi saat menjadi anggota DPRD Tana Toraja pada 2002 lalu.
Belum adanya sikap yang valid antara ketiga lembaga penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu & Panwaslu), mengumbar polemik di kalangan masyarakat, terutama para calon legislatif. Bahkan hal ini mengisyaratkan ketidaksinkrononan ketiga lembaga tersebut menyangkut aturan PKPU.
KPU tetap pada pendirian melarang semua caleg bekas koruptor. Sebaliknya, Bawaslu memberikan toleransi maksimal.
Perbedaan sikap kedua lembaga itu terkait dengan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD.
Kedua aturan itu masih sah berlaku dan telah diundangkan pula. Dalam dua aturan itu disebutkan bahwa bekas koruptor dilarang menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Bagi KPU, dua peraturan KPU itu sah, berlaku, serta mengikat semua pihak. Akan tetapi, bagi Bawaslu, dua peraturan KPU itu tidak mengikat, bisa dikesampingkan. Akibatnya, mantan koruptor bisa melenggang bebas menuju lembaga legislatif.
Lebih menyedihkan lagi, Bawaslu RI terang-terangan membela putusan bawahan mereka di daerah. Bahkan, Bawaslu RI berharap KPU menghormati kewenangan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu. Jika KPU tidak menghormati putusan jajaran pengawas pemilu, berarti tak menghormati proses adjudikasi Bawaslu.
Harus tegas dikatakan bahwa tidak ada celah sedikit pun bagi Bawaslu untuk menentang peraturan KPU. Bahkan, Bawaslu bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menilai apakah PKPU itu bertentangan atau tidak. Tugas Bawaslu dalam melakukan sengketa pemilu itu hanya melihat apakah PKPU yang ditentukan KPU sudah berdasarkan ketentuan administrasi pemilu yang berlaku atau belum.
Hanya Mahkamah Agung yang dapat menafsirkan atau membatalkan PKPU melalui proses uji materi. Mestinya, karena PKPU tersebut telah disahkan, Bawaslu harus memedomani PKPU sebagai ketentuan dari registrasi pemilu di 2019. Sepanjang PKPU belum dibatalkan MA, Bawaslu haruslah memedomani PKPU itu sebagai ketentuan registrasi pemilu.
Sesama penyelenggara pemilu jangan sampai tidak sinkron. Bawaslu tidak semestinya menentang PKPU. Mestinya kedua lembaga itu saling mendukung untuk menyukseskan pemilu. Ketidaksinkronan persepsi atas sebuah aturan akan mendelegitimasi hasil kontestasi pemilu.
Ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan juga akan menyebabkan munculnya gugatan-gugatan serupa oleh caleg-caleg eks koruptor di daerah lainnya. Hal itu jelas akan menyita waktu penyelenggaraan pemilu untuk hal yang tidak perlu karena aturannya sudah jelas dan terang.
Seperti yang dilakukan politikus Partai Gerindra M Taufik. Ia menggugat pencoretan dirinya oleh KPU DKI Jakarta ke Bawaslu Provinsi DKI Jakarta karena mencontoh putusan Bawaslu di tiga daerah tersebut. Hal serupa dilakukan DPW PAN Jambi dan Edy Muklison, Ketua DPD II Partai Golkar Blitar.
Tentu, jika keputusan Bawaslu dieksekusi begitu saja oleh KPU, bukan tidak mungkin cerita kesuksesan gugatan itu akan menginspirasi eks koruptor lainya untuk memulai gugatan. Padahal, total ada 207 bakal caleg eks koruptor untuk semua tingkatan, DPR, DPD, dan DPRD, yang tersebar di 12 provinsi, 97 kabupaten, dan 19 kota. Bayangkan betapa banyak waktu yang tersita untuk mengurus mantan maling uang rakyat itu.
Semestinya dua lembaga penyelenggara pemilu ini membangun kolaborasi, tidak lagi berseteru bak kucing dan anjing seperti selama ini kerap terjadi. Pemilu kali ini berbeda dengan sebelumnya, digelar serentak antara pileg dan pilpres. Butuh energi kolaborasi yang besar untuk menyukseskannya.
Polemik mengenai substansi larangan koruptor nyaleg telah usai sejak PKPU diundangkan. Kini, bola di tangan MA karena gugatan uji materi PKPU tersebut telah diajukan. KPU dan Bawaslu tidak perlu lagi berseteru karena pemilu disebut sukses jika tanpa keikutsertaan mantan koruptor.
Sementara itu, seperti diketahui dua caleg DPD RI dari Sumut yang dulu tersangkut kasus korupsi, akhirnya batal bertarung pada 17 April 2019. Pasalnya, dua bakal calon legislatif yakni H Syamsul Arifin dan H Abdillah harus berhadapan dengan Peraturan KPU terkait pembatalan bacaleg.
Diberitakan pada 20 Juli kemarin, KPU menyatakan mantan Walikota Medan itu tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi calon karena mantan narapidana korupsi.
Abdillah dinyatakan tidak memenuhi ketentuan PKPU No 14/2018 soal larangan calon anggota DPD pernah terlibat tindak pidana korupsi, pelecehan seksual terhadap anak serta bandar narkoba.
“Abdillah dinyatakan TMS karena menyalahi PKPU No 14/2018 pasal 60 ayat 1 poin J,” tegas Benget yang juga Koordinator Divisi Teknis KPU Sumut.
Kontroversi Abdillah menjadi calon anggota DPD sebelumnya sudah mengemuka. Kendati PKPU tidak membenarkan, tetapi dia tetap mendaftar.
Pihak KPU menerima pendaftaran Abdillah karena pertimbangan tidak serta merta bisa menolak. Proses pendaftarannya tetap diterima untuk kemudian diteliti syarat pencalonannya memenuhi ketentuan atau tidak.
Abdillah pernah terjerat tindak pidana korupsi yang menyebabkannya sempat dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa tahun. Selain Abdillah, mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin yang juga pernah tersangkut kasus korupsi sempat hendak mencalonkan diri menjadi anggota DPD, namun urung mendaftar.
199 Bacaleg ‘Meradang’
Sebanyak 199 bakal calon legislatif, baik mencalonkan DPD RI,DPRD Provinsi dan kabupaten/kota hingga DPR RI dikabarkan terpaksa gigit jari. Ya, itu tadi, semuanya karena keluarnya Peraturan KPU seiring dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melarang eks napi koruptor mencalonkan diri pada Pemilu 2019 nanti.
Ke-199 bacaleg tersebut di antaranya diusung partai politik, seperti PKB (8 napi eks koruptor), Gerindra (27), PDIP (13), Golkar (25), NasDem (17), Partai Garuda (6), Partai Berkarya (16)
PKS (5), Perindo (12), PPP (7), PAN (12), Hanura (15), Partai Demokrat (12), Partai Sira, Aceh (1), PBB (11), PKPI (7) dan 5 bacaleg tak diketahui parpolnya.
Sejauh ini Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, pihaknya selama ini sangat selektif dalam menentukan bacaleg. “Instruksi kami ke DPD dan DPC sudah jelas. Ternyata masih ada bacaleg yang lolos, yang rekam jejaknya tidak terdeteksi. Sebelumnya, beberapa yang sudah terdeteksi secara persuasif kami minta untuk mundur,” ujarnya.
Hendrawan menegaskan, sikap PDIP tegas tidak mencalonkan mantan narapidana koruptor. Namun, dia menyebut, masih ada saja yang bisa lolos.
“Komitmen kami sudah jelas dan tegas. Mereka yang maju harus memiliki kredibilitas yang teruji, yang tidak maju sebagai calon wakil rakyat dengan bekal keinginan untuk mengelabui publik, berpartisipasi dalam kekuasaan yang koruptif-konspiratif tanpa idealisme untuk melakukan perubahan mental dan struktural,” sebut Hendrawan.
“Itu sebabnya ada tes psikologis, ada sekolah partai, ada sekolah bacaleg, dll. Semua ditujukan untuk membangun postur dan profil bacaleg yang aspiratif dan korelatif dengan harapan masyarakat dan tantangan zaman,” sebutnya.
Menyangkut hal tersebut, Menkum & HAM Yasonna Laoly bilang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 telah disahkan meski ada perubahan. Dia menyebut pengesahan itu dilakukan agar tidak mengganggu tahapan pemilu yang sudah di depan mata.
“Memang sekarang tanggung jawab dikasih kepada partai politik untuk melihat dan mengawasi. Ini supaya tahapan jalan,” katanya. Ia menilai PKPU masih berpotensi diuji materi ke Mahkamah Agung sebab beberapa pihak masih keberatan akan hal ini. Namun, Yasonna tak mempermasalahkan itu.
“Kami sahkan, kami serahkan kepada masyarakat. Kalau masih mau dilihat, itu masih berpotensi di-judicial review,” kata politikus PDI Perjuangan ini.
Di tempat terpisah, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Seobagyo menilai PKPU diundangkan berdasarkan sejumlah pertimbangan politis. Menurutnya, Kemenkumham mengundangkan PKPU agar proses pencalegan tidak terganggu.
“Memang semalam saya komunikasi intensif dengan Kemenkumham terutama Dirjen Perundangan belum mengatakan memang ini ada pertimbangan politis bahwa kalau ini tidak diundangkan maka ini dampaknya akan lebih luas,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Dia mengatakan apabila aturan ini tidak segera diundangkan oleh Kemenkumham, kemungkinan besar pemilu bisa tertunda atau dibatalkan.
“Karena tahapan dari pencalegan ini menjadi tidak sah kalau tidak sah berarti pemilu bisa terjadi tidak ada karena caleg yang daftar dianggap tidak sah karena enggak ada peraturan,” ujar Firman.
Terkait perubahan subjek hukum pada PKPU, dia menilai langkah tersebut tidak elegan. KPU mengubah nomenklatur larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg.
“Kembali lagi ini melempar bola panas saja sebetulnya menjadi cara penyelesaian yang tidak elegan juga, padahal tanpa dikembalikan ke parpol sebetulnya parpol juga sudah akan tahu tingkat risikonya kalau mencalonkan mantan narapidana korupsi,” ujar dia.
Terpisah, Direktur Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum-HAM), Widodo Ekatjahjana, mengatakan dirinya sudah menandatangani Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye Pemilu 2019. Dengan diundangkannya PKPU ini, maka pedoman pelaksanaan kampanye dari penyelenggara pemilu sudah resmi berlaku.
Selain mendandatangani PKPU Kampanye, Widodo juga mengatakan sudah menandatangani PKPU Dana Kampanye Pemilu 2019. “PKPU Dana Kampanye sudah saya tandatangani juga,” tambahnya.
Namun, berdasarkan penelusuran dua dokumen PKPU itu belum diunggah secara resmi ke laman Jaringan Dokumentasi Informasi dan Hukum (JDIH) KPU. Ketika dikonfirmasi, KPU pun belum menjawab hal ini. Dengan demikian, belum bisa diketahui nomor kedua PKPU tersebut.
Sebelumnya, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, PKPU kampanye diharapkan bisa berjalan berdampingan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden serta cuti dalam pelaksanaan kampanye Pemilu yang telah disahkan pada 18 Juli lalu.
“Kami harap nanti saling melengkapi. Sebab, dalam PKPU kampanye kan tidak mungkin diatur secara detail tentang hal-hal yang detail. Misalnya soal fasilitas kesehatan, atau fasilitas protokoler yang melekat saat kampanye,” tandasnya. (PI/NT)