“TERPUJILAH wahai engkau ibu bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir…”
Lagu Hymne Guru itu terdengar setahun sekali. Ya, pas di Hari Guru, seluruh pelajar satu suara memberi penghormatan kepada sang pengajar. Namun, apakah mereka (para guru) terutama yang masih menyandang status honorer bisa ikhlas?
Sebab, banyak cerita berkumandang, guru-guru honorer itu telah mengabdi hingga puluhan tahun. Bahkan sampai renta, pun tetap saja memberi ilmunya kepada murid sekalian.
‘Murid bodoh’ yang disalahkan guru. ‘Murid bandal’, disalahkan guru. ‘Murid berprilaku tak layak’, toh juga disalahkan guru. Dari kasus tersebut, tetap guru lebih sering disalahkan.
Padahal, di pundak guru pula negeri ini dipandang, negeri ini dianggap, negeri ini bermarbat di mata dunia. Namun masih saja guru dicemooh. Guru bergaji rendah (itu cerita silam). Guru naik angkot dan berjalan kaki (itu zaman dulu). Sekarang kalangan guru dihormati terutama yang menjabat status pegawai negeri sipil.
Sedangkan para honorer, toh masih seperti semula. Gaji mereka tak menentu kapan akan terkucur. Katanya, sih menunggu pencairan dana BOS. Hasilnya juga (kabarnya) belum memadai. Guru sejahtera, itu cuma sebagian. Semua tergantung jabatan.
Yang harus dicermati, mulai dari guru dicemooh, gaji kecil, dan sebagainya, peran pengajar tanpa tanda jasa itu lebih kepada keikhlasan. Ilmu yang diberikan akan dibalas oleh sang Khalik. Sekarang, mungkin di dunia, sebagian guru cuma bisa ‘menelurkan’ ilmu kepada orang penting yang sudah menjabat.
Tapi di balik itu semua, guru punya pahala yang besar. Mendidik, memberi pengajaran dan pelajaran. Walau semuanya berpulang lagi di hati para guru masing-masing. Harus ikhlas, mungkin hanya itu kunci ‘jawaban’. SEMOGA. (red)