Beranda HUKUM Lanjutan Sidang #gantipresiden, Aneh!! Wartawan Dilarang Ambil Foto, Ada Apa Dengan Hakim...

Lanjutan Sidang #gantipresiden, Aneh!! Wartawan Dilarang Ambil Foto, Ada Apa Dengan Hakim Riana?

98
0

MEDAN (podiumindonesia.com)-Riana Pohan SH, berang. Ketua majelis hakim yang menangani perkara ujaran kebencian #gantipresiden ini dengan menghadirkan terdakwa Himma Dewiyana Lubis alias Himma ST, MHum, tiba-tiba naik tensi. Dengan arogannya Riana melarang wartawan media cetak mau pun elektronik untuk mengambil foto terdakwa yang merupakan salah seorang dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tersebut. Pantauan tak lazim ini terlihat di Pengadilan Negeri Medan, Senin (4/3/2019). Pertanyaan seketika muncul, ada apa dengan Riana?

“Bapak dari mana? Tolong ya supaya izin dulu kepada majelis hakim karena ada hal-hal yang bisa dan tidak bisa dikutip media,” sergahnya melarang.

Perlu diketahui, selama ini belum pernah terjadi aksi pelarangan bagi kuli tinta untuk meliput atau pun mengambil foto saat berlangsungnya sidang.

Apalagi sidang saat itu nyata-nyata terbuka untuk umum.

Bahkan, seingat rekan media beberapa kali sidang sempat ditunda karena wartawan yang biasanya meliput persidangan di lingkungan PN Medan tidak serentak datang ke ruangan sidang Cakra 2.

Sementara dari arena persidangan, ahli Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Iwan Nurhadi MKom yang dihadirkan penuntut umum dari Kejatisu Tiorida Juliana Hutagaol SH dalam menguraikan, setiap orang pengguna media sosial (medsos) harus bijak dalam dalam menerima mau pun mendistribusikan informasi di dunia maya.

Sebab ada konsekuensi hukum yang diterima sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang ITE.

“Jangan langsung menshare (membagikan kiriman) status maupun data yang diterima sekali pun itu dari teman yang kita kenal kepada orang lain,” urai ahli.

Pemerintah telah berusaha mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi informasi di dunia dengan hadirnya satu produk UU yang mengatur tentang ITE. UU Nomor 19 Tahun 2019 telah 3 kali mengalami perubahan yakni di tahun 1998, 2004, dan UU ITE di tahun 2008.

Menjawab pertanyaan salah seorang tim penasihat hukum (ph) terdakwa mengenai istilah viral sebagaimana dakwaan penuntut umum, ahli mengakui, dalam UU tentang ITE tidak dikenal istilah kata viral. Istilah dimaksud populer disebut di kalangan masyarakat milenial.

Namun demikian, lanjut Iwan Nurhadi, kata dimaksud bisa diterjemahkan bahwa data atau informasi yang diposting terdakwa dishare (didistribusikan) oleh sesama netizen lainnya.

Usai mendengarkan keterangan ahli ITE tersebut, majelis hakim melanjutkan persidangan, Selasa (5/3/2019) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi meringankan terdakwa (adecharge).

Mengutip dakwaan penuntut umum Tiorida Juliana Hutagaol SH, Himma Dewiyana dijerat Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Yakni dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Pada tanggal 12 Mei dan 13 Mei 2018 terdakwa di kediamannya Jalan Melinjo 2, Lingkungan VII, Komplek Johor Permai Gedung Johor Medan antara lain mengupdate status di fb bertuliskan, ‘Skenario pengalihan yang sempurna #2019gantipresiden’ dan ‘Ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang “.

Menurut terdakwa, ketiga aksi peledakan rumah ibadah di Jawa Timur beberapa waktu lalu seolah-olah dijadikan sebagai upaya pengalihan isu agar publik tidak lagi fokus mengkritisi kinerja pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo (Jokowi) dan sempat viral. Jajaran DitKrimsus Subdit II Cyber Crime Polda Sumut yang menindaklanjuti kasus tersebut, Sabtu (19/5/2018) mendatangi kediaman PNS berprofesi sebagai dosen Ilmu Perpustakaan tersebut. (syahduri)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini