WAMPU (podiumindonesia.com)-
Pemilu serentak 17 April 2019 kemarin adalah Pemilu yang paling melelahkan. Selain pemilihan pasangan calon presiden juga pemilihan anggota legislatif. Rakyat harus mencoblos lima kertas suara. Mulai dari pasangan capres, calon legislatief (pusat, propinsi dan kabupaten/kota dan dewan perwakilan daerah).
Faktor lain yang melelahkan adanya perdebatan panjang pro kontra kasus: pembuatan berita Acara antara PPS dengan Bawaslu, Kesemuanya itu meneganggan urat saraf. Pesta demokrasi berbiaya mahal benar-benar melelahkan sampai-sampai ucapan lepas kontrol. Antara perasaan lelah dan emosi mewarnai pelaksanaan pemilu serentak di negeri ini.
Kerja 24 jam sungguh tak sebanding dengan upah yang diterima baik oleh KPPS dan sanksi partai.
“Kita seperti terjebak,” begitulah komentar baik dari petugas KPPS atau saksi di beberapa TPS yang temui PODIUM.
Petugas KPPS dan saksi harus begadang hingga subuh. “Kalau tau begini rumit lelahnya, aku tak mau menjadi saksi,” repet Juli salah seorang saksi dari partai politik.
Menunggu berita acara dibuat petugas KPPS, Juli dan 6 orang saksi, mereka harus begadang sampai pukul 04.00WIB dini hari. Dengan honor saksi berfariasi, antara Rp100 ribu sampai Rp 200 ribu. Jumlah itu dianggap tak sebanding dengan beban pekerjaan.
“Cukup sekali aku merasakan seperti ini takkan terulang kudua kali aku mengalaminya,” demikian keluh mereka. “Tobat tobat, tobat!!!”
Petugas KPPS juga merasakan hal yang sama. “Benar kami melaksanakan tugas negara tapi setelah mereka duduk nanti memimpin pemerintahan apa yang mereka berikan pada kami?” imbuh petugas KPPS.
Sebuah pertanyaan yang jawabannya bisa melebar dan menjadi perdebatan panjang. “Pemilu tahun 2024 mendatang kalau sitemnya tidak berubah masih seperti ini tak mau aku mendaftar sebagai anggota KPPS. Aku pun tak mau menjadi saksi,” ujar salah seorang saksi di salah satu TPS.
Banyaknya tanda tangan harus dibubuhkan baik oleh KPPS bersama anggota dan para saksi partai selain melelahkan, juga membosankan. Setiap lembar harus ditandatangani. Kondisi seperti ini sejak dari pemilu legislatif di era reformasi hingga kini tanpa ada perubahan.
Memahami isi dari berita acara menjadi multi penafsiran antar petugas KPPS meski sama-sama mengikuti Bimtek. Akibatnya, proses pembuatan berita acara berlarut-larut dan pada besalahan. Beberapa TPS harus menyelesaikan berita acara Pemungutan dan Penghitungan Suara di kantor desa hingga pukul 07.00 WIB pagi.
Faktor SDM petugas KPPS hendaknya menjadi pemikiran, kajian dan perhatian KPU. Buatlah Berita Acara tak ribet tak menimbulkan perdebatan antara petugas KPPS.
Ditambah lagi akibat hiruk pikuk arogansi politisi yang terbuka di publik hanya menambah sikap apatis masyarakat karena tidak tersirat harapan perbaikan di masa datang paska pemilu nanti. Retorika tanpa makna menjauhkan rakyat dari impian tampilnya pemimpin andalan masa depan.
Tingginya frekwensi sanggahan terhadap kemenangan sepihak oleh salah satu pasangan capres membuat panggung politik memanas. Klaim keberhasilan dilawan dengan paparan fakta kecurangan di lapangan di berbagai wilayah di tanah air menjadi pembenaran dari argumentasi rakyat mempertahankan klaim pemenangan.
Ditambah lagi hasil polling di media cetak yang tak sama muncul dari sumber yang tidak jelas paling banyak menyita perhatian masyarakat bisa menjadi tombak kembar politik yang sensitif dan berpotensi memunculkan kerusuhan sosial. KPU bisa menjadi luapan kekesalan warga yang tak puas dengan hasil kenerjanya. (rusdi)