Beranda OPINI Kebijakan PPN 12% Sengsarakan Rakyat ?

Kebijakan PPN 12% Sengsarakan Rakyat ?

12
0

Penulis : Muhammad Yusril Mahendra Butar-Butar, S.H.

PODIUMINDONESIA.COM – Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, akan berlaku pada 01 Januari 2025. Kebijakan tersebut diprediksi akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengubah pola konsumsi ataupun menurunnya daya beli masyarakat. Sehingga timbul kekhawatiran dan masyarakat merespon untuk menolak kebijakan tersebut baik melakukan demonstrasi maupun berkomentar di media sosial.

Pandangan lainnya, urgensi diadakan kebijakan ini guna untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor dan mengurangi defisit anggaran. Pemerintah dengan berbagai cara apapun berkewajiban untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat tanpa memandang status sosial. Hal tersebut berdasarkan amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Kebijakan ini harus dikaji kembali. Pun jika kebijakan PPN 12% harus diterapkan, pemerintah harus memiliki formula yang sempura agar tidak terjadinya permasalahan lainnya yang timbul. Sebab, pemerintah sebagai aktor utama dalam pembuat kebijakan, harus berpedoman kepada dasar dan ideologi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Sebab, tidak mungkin tidak hal tersebut tidak dilakukan pemerintah, apabila hal tersebut tidak dilakukan sebagaimana mestinya, maka secara patut akan menimbulkan potensi permasalahan yang ada.

PPN 12% dapat dilakukan apabila pemerintah membebani kepada setiap orang yang tingkat perekonomiannya di atas rata-rata masyarakat miskin. Mengapa demikian ? Karena setiap orang dengan tingkat ekonominya diatas, secara pasti mampu membeli barang dan jasa apapun. Sederhananya secara tidak langsung mereka mampu membeli barang dan jasa, apalagi membayar PPN 12%.

Tidak pantas rasanya, apabila penerapan PPN 12% diberlakukan untuk masyarakat miskin yang tingkat ekonominya dibawah rata-rata. Jangankan membayar PPN 12%, membayar ataupun membeli barang dan jasa pun belum tentu mereka mampu. Artinya, diperlukan kajian ulang terhadap kebijakan ini agar tidak terjadinya ketimpangan-ketimpangan hukum terjadi kembali.

Lain halnya, jika kebijakan PPN 12% dipandang dari segi kepatuhan warga negara harus tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan. Apabila menggunakan metode pemikiran hukum positif normativ tentu itu dibenarkan. Namun, dari segi aspek sosio legal-yurisprudensi (hubungan realita sosia dengan hukum/aturan), tentu kebijakan ini harus dilakukan pengkajian secara mendalam. Pemerintah dengan kewenangan dan “keleluasaannya” mengeluarkan kebijakan tidak diperbolehkan menjadikan kekuasaannya sebagai senjata agar masyarakat tunduk dan patuh.

Apalagi ini berkaitan dengan pajak yang secara umum dimaknai aturan pajak merupakan kewajiban setiap warga negara untuk mematuhinya. Namun, pemerintah dalam hal ini tampaknya hanya melihat data penurunan angka kemiskinan di Indonesia yakni 9,03 %. Walaupun begitu, tidak adil rasanya jika hanya berdasarkan data itu saja kebijakan PPN 12% ini diadakan. Akan tetapi, banyak faktor-faktor lain yang dapat digunakan pemerintah untuk melihat kembali efektivitas kebijakan ini diberlakukan.

Sederhananya, dapat dilihat adanya kemarahan terjadi diberbagai daerah dan menjadi diskusi penolakan di media sosial atas kebijakan ini. Ataupun pemerintah dapat menggalang aspirasi warga negara terkait pro atau kontranya kebijakan ini. Karena kebijakan PPN 12% ini masyarakatlah yang merasakan langsung baik buruknya. Dengan kata lain, jika pemerintah berupaya untuk menstabilkan ekonomi, berupaya menaikkan pertumbuhan ekonomi, jangan jadikan masyarakat sebagai sumber utama dalam hal pemberian pemasukan untuk negara lewat  adanya nilai tambah setiap pembelian/transaksi barang dan jasa.

Parameternya dalam membuat kebijakan ialah pemerintah harus memandang Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai landasan yuridis dan filosifis ketika membuat kebijakan. Kemudian, menggunakan aspek sosiologis, ekonomi dan budaya sebagai alat analisis dalam membuat kebijakan. Padahal secara yuridis, konstitusi telah mengatakan bahwasanya pemerintah memiliki kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat dan tidak diperkenankan menyengsarakan masyarakat.

Kemudian, secara sosiologis, ekonomi dan budaya masyarakat belum mampu untuk mematuhi aturan kenaikan PPN 12% ini, sebab masyarakat masih menganggap belum sanggup membeli barang dan jasa dengan harga yang tinggi, sementara rata-rata pendapatan masyarakat jauh di bawah rata-rata. Oleh karena itu, kebijakan ini harus diperhatikan kembali, jika terdesak untuk tetap dilakukan maka akan berpotensi pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak dasar.

Penulis merupakan Advokat sekaligus Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara Periode 2024-2026

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini