PILKADA Bersih. Begitulah tagline yang kerap diumbarkan. Bersih hati, bersih jiwa, bersih dalam artian tak melakukan kecurangan dan terutama bersih dari uang gono-gini. Namun, apakah ini bisa dibuktikan?
Di atas kertas pasti jawabannya ‘YA’, namun di balik kertas otomatis ‘TIDAK’. Why? Karena para petarung tak siap kalah. Jadi segala hal ‘haram’ dalam Pilkada dilakukan hanya demi lima tahun jabatan.
Walau tanpa adanya arahan serta suruhan si calon Pilkada sendiri, tapi yang bermain adalah tim sukses alias TS. Ada katanya serangan fajar-lah, ada pula masyarakat bilang rezeki nomplok. Bahkan banyak pula yang berkata ‘aji mumpung’, sebab kalau sang calon menang dalam Pilkada belum tentu ingat akan massa pendukungnya.
Inilah unik dan kemajemukan Pilkada. Khas serta khiasan sesumbar jadi terkadang jadi petaka. Di Sumatera Utara sendiri, ada 7 daerah tingkat dua dan Sumut telah memulai tahapan.
Lobi-lobi politik untuk mendapatkan restu anggota parlemen sebagai syarat sah pendaftaran. Atau paling tidak calon kepala daerah independen menyiapkan ribuan kartu tanda pengenal warga. Dengan maksud para pemilik KTP itu mendukung calonnya.
Usai tahap pendaftaran, lalu berlanjut ke pemeriksaan kesehatan. Setiap calon kepala daerah diperiksa di RSUD H Adam Malik Medan. Tak terkecuali calon Gubsu dan wakilnya.
Malah hampir semua calon kepala daerah telah menjalani tahap kedua itu yang berbarengan penyerahan harta kekayaan. Modal kekayaan ini juga syarat mutlak calon kepala daerah untuk melihat nominal semasa atau pun usai jabatan.
Bisa jadi, dengan modal yang besar diharapkan para calon kepala daerah tak melakukan tindak korupsi. Walau kebanyakan pula harta yang dimiliki oleh peserta calon Pilkada makin bertambah hingga dua kali lipat, setelah duduk selama lima tahun.
Ada pula terpaksa meringkuk di penjara akibat ulah meraup harta rakyatnya sendiri. Silau akan kertas ‘bergambar’ hingga tak kuasa menahan nafsu duniawi. Sebagai contoh nyata adalah Sumatera Utara.
Dua gubernur terdahulu diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak hanya gubernur, kini KPK juga melirik sejumlah anggota dewan Sumut terkait gratifikasi. Sebanyak 46 anggota DPRD Sumut kembali diperiksa KPK sejak akhir Januari 2018 kemarin.
Melihat kondisi yang terjadi hampir sepuluh tahun belakangan ini, Ketua Forum Karya Pemuda Sumatera Utara (FKP-SU) T Syaiful Anhar berkomentar. Apalagi pertarungan calon kepala daerah telah memulai ‘bendera start-nya’.
Agar tidak terjadi hal sedemikian, seperti apa yang pernah dialami Sumatera Utara, tokoh pemuda Langkat ini berharap rakyat lebih jeli dalam menentukan pilihan. Sebab, memilih pemimpin tak segampang membalikkan telapak tangan. Jangan pula bak kata pepatah salah pilih layaknya membeli kucing dalam dalam karung.
“Pilih calon yang berjiwa pemimpin, dapat mengayomi rakyatnya. Jauhkan pilihan pada sosok calon penguasa. Karena sosok penguasa bisa mengahalalkan segala cara,” pesan T Syaiful.
Dia pun berharap warga Sumut dapat menjaga kondusifitas daerah yang serba majemuk ini. “Selain itu kita harapkan pada calon agar sportif dan bertarung secara fair. Jangan black campigne,” tukasnya.
Satu hal pamungkas pesan Syaiful yakni jadilah pemimpin seperti Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad SAW. Umar yang tak pernah mementingan dirinya sendiri dan lebih berbakti kepada rakyatnya.
“Umar yang rela tak makan asal rakyatnya senang, dan Umar rela berpakaian seadanya. Tidak hidup mewah di atas penderitaan orang lain. Dan Umar juga pernah melarang anaknya untuk melanjutkan kekuasaannya. Saya rasa setiap calon yang akan memimpin harus belajar dari Umar bin Khattab RA,” tandasnya. (***)