BERITA UTAMAPOLITIK

Oposisi Mengejar Kursi

 

DAMAI. Lebih kurang 7 bulan pertarungan sengit itu terjadi. Meski telah melewati puncaknya (hari pencoblosan), namun belum juga usai. Walau secara legitimasi putusan KPU hingga berujung ke Mahkamah Konstitusi hasilnya memenangkan pasangan 01, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin.

JAKARTA, PODIUM
Kini, damaikah Indonesia? Kasat mata, negara menganut sistem Demokrasi Pancasila yang akan berusia 74 tahun pada Agustus 2019, ini telah damai dari gejolak. Hanya saja, konflik politik tetap terjadi.

Usai jodoh akurat Jokowi-Ma’ruf menang, riak politik tersebut masih memuncak. Babak baru pun dimulai. Dua episode tantangan di depan mata. Yakni susunan calon menteri kabinet Jokowi-Ma’ruf serta mencari pemimpin senator di Senayan.

Sementara diketahui dua partai oposisi (Demokrat dan PAN) kabarnya telah merapat ke kubu pemerintahan. Bisa jadi dengan maksud membidik kursi menteri atau memperkuat posisi menuju lima tahun ke depan. Bagaimana dengan dua partai lainnya, yakni Gerindra dan PKS?

Gerindra sendiri masih abu-abu, sedangkan PKS telah menasbitkan partainya sebagai oposisi murni. Orang yang paling berpengaruh di Partai Gerindra, Prabowo Subianto lebih dulu coba dirayu.

Bermula ketika pertemuan dengan Presiden Jokowi di salah satu stasiun kereta api. Pun kabarnya hanya pertemuan biasa dan tidak membicarakan sesuatu hal, namun tergambar bahwa Prabowo mulai legowo.

Karena terlihat kurang ‘greget’ saat bertemu Jokowi, alhasil petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri, coba melobi dari hati ke hati.

Dikemas dalam pertemuan makan siang sajian nasi goreng, Prabowo sowan ke putri Bung Karno tersebut. Pertemuan dua ketua umum partai besar tampak hangat, ibaratnya jumpa kakak dengan adik.

Pengamat politik Igor Dirgantara menilai dalam politik ada adagium ‘tidak ada makan siang gratis’, termasuk nasi goreng.

“Tentu ada pembicaraan soal ‘who gets what, when, and how,” kata Igor Dirgantara, kemarin.

Dari analisisinya, pembahasan dua ketum partai yang memiliki jumlah suara terbanyak di Pemilu 2019 lalu ini bisa membahas beberapa hal. Seperti soal adopsi program Prabowo di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dan posisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

“Kemudian Kementerian, BUMN, Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), atau Dubes dan lain-lain. Ini yang mungkin dibahas,” lanjut Igor.

Soal pernyataan Mega usai pertemuan yang menyebut tak mengenal sistem oposisi dan koalisi di sistem ketatanegaraan Indonesia, hal itu dinilai sebatas mencairkan suasana.

Sebaliknya, pernyataan Presiden ke-5 RI ini justru dimaknai Director Survey and Polling Indonesia (SPIN) ini sarat makna yang berarti. Ada kemungkinan kubu Prabowo dalam hal ini Gerindra masuk ke dalam kabiner Jokowi-Maruf.

“Pertemuan lanjutan Prabowo Subianto berikutnya mungkin dengan tokoh parpol koalisi pemerintah lainnya, tentunya diduga memperbesar potensi itu,” tandasnya.

Nah, ketika Gerindra yang tengah di atas ‘angin’ dengan janji penuh penawaran untuk bergabung ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, para partai pendukung terlihat berkecamuk. Jatah kursi menteri jadi taruhan karena telah mempertahankan ‘jagoannya’ menang dalam Pilpres 2019 ini.

Jokowi pun, menurut peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes sedang berada di dua ‘poros’ dalam koalisi parpol pendukung pemerintahan di periode kedua.

Hal itu terkait isu kemunculan Poros Gondangdia (Nasdem, PKB, Golkar, PPP) dan Poros Teuku Umar (PDIP) di dalam Koalisi Indonesia Kerja.

Tantangan Jokowi akan lebih berat karena harus bernegosiasi dengan dua kekuatan politik pendukungnya yang bersitegang. Jokowi diprediksi tidak punya kendali penuh atas koalisinya jika dua poros itu terus bermanuver.

“Jokowi tidak akan punya kendali penuh, karena soal-soal koalisi ditentukan oleh adanya tokoh luar,” katanya.

Dia menyarankan agar Jokowi mengambil alih. Siapa yang diajak, siapa yang enggak. “Dengan begitu wibawa Jokowi sebagai presiden akan dilihat oleh partai koalisi,” sarannya.

Partai Demokrat yang nyata telah bergabung dengan blok pemerintahan, juga tak membuat Jokowi nyaman. Walau partai Demokrat menyerahkan sepenuhnya urusan kursi menteri pada Presiden Jokowi. Sebab kepala negara mempunyai hak prerogatif untuk membentuk pemerintahannya sendiri.

Namun, Partai berlambang bintang Mercy itu melihat manuver beberapa parpol belakangan ini bisa saja membuat Jokowi tak tenang.

“Kami Demokrat sebagai partai yang pernah punya pengalaman mengelola pemerintahan selama 10 tahun paham betul terkait hal-hal yang berkenan dengan kursi menteri itu sepenuhnya hak prerogatif presiden ya,” kata Ketua DPP Demokrat Jansen Sitindaon.

Demokrat, kata Jansen, tidak masalah bila Jokowi mau mengajak siapa pun anak bangsa bergabung dalam pemerintahannya. Menurut dia itu merupakan kehendak bebas Jokowi selaku Kepala Negara sebagaimana diatur konstitusi. Demokrat, lanjut Jansen, mendukung apa pun keputusan Jokowi.

“Jadi beliau mau ngajak siapapun saja anak bangsa untuk membantunya lima tahun ke depan biarlah itu sepenuhnya menjadi kehendak bebas Pak Jokowi selaku Presiden sebagaimana diatur di konstitusi. Apa pun keputusan Pak Jokowi Demokrat akan dukung,” tutur Jansen.

Dia mengaku memahami betul perasaan seorang presiden saat penyusunan kabinet. Hal itu didasari pada pengalaman sang Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah menjadi presiden selama 10 tahun.

“Pak SBY pernah jadi Presiden selama 10 tahun, jadi kami Partai Demokrat tahu betullah perasaan seorang Presiden. Melihat manuver beberapa partai politik belakangan ini bisa saja membuat Pak Jokowi tidak nyaman. Apalagi jika sampai ada permintaan “ini itu” kepada beliau,” ucap Jansen.

Menurut Jansen, kerukunan Indonesia berada di atas segala-galanya. Kalau Indonesia kembali guyub dan rukun, Presiden Jokowi akan lebih enak membangun serta menjalankan programnya selama lima tahun ke depan.

Sedangkan Wasekjen Partai Hanura Tri Dianto berharap
partai koalisi merasa punya wakil di kabinet. “Biar politik bisa stabil dan pemerintah kompak bekerja. Jumlahnya berapa untuk partai ya itu terserah pak Jokowi,” ujar Tri.

Di sisi lain, Tri berpandangan, Jokowi sebaiknya tidak menempatkan para kader partai yang berseberangan ketika pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan kemarin.

“Sebaiknya untuk menjaga agar demokrasi berjalan bagus ya mereka diluar saja. Karena koalisi pendukung Jokowi udah lebih dari cukup,” tutup Tri.

Senada disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid. Jazilul khawatir bila oposisi masuk, koalisi bisa tidak satu kata selama 5 tahun pemerintahan.

Pernyataan ini juga bisa dimaknai soal kursi menteri buat koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf yang berkurang bila partai koalisi lawan ikut ‘nimbrung’ dalam kabinet.

Karena bila masuk Gerindra, PKS dan PAN punya cukup daya tawar dalam kabinet. Makanya Partai Golkar senantiasa menegaskan supaya hanya koalisi Jokowi-Ma’ruf yang bisa mendapatkan kursi menteri dan dibagi secara proporsional perolehan suara DPR.

Soal minta bagian kursi menteri ucapan Ketua Umum Partai Nasdem lebih memukau. Surya Paloh mengatakan bahwa hubungannya dengan Jokowi adalah karena pertemanan bukan karena kursi menteri.

Macam polah para petinggi partai koalisi Jokowi-Ma’ruf memang terkesan tak ingin supaya partai pendukung Prabowo-Subianto di Pilpres 2019 dapat jatah kursi menteri dan pejabat setingkat menteri.

Masuk akal, karena memang setelah bertarung dengan alot di Pilpres sebaiknya Prabowo dan partai koalisinya menjadi oposisi. Menjaga pagar demokrasi agar tetap utuh. Dengan kekuasaan eksekutif yang tetap diawasi para oposisi di Senayan.

Seperti diketahui perebutan kursi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo jilid kedua terus memanas. Partai politik pengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin mulai menunjukkan penolakan terhadap wacana masuknya parpol pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Beberapa parpol yang disebut tidak menolak jika ditawari masuk ke koalisi pemerintahan ialah Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra. Panasnya perebutan kursi menteri terlihat dari penolakan PKB atas wacana masuknya PAN ke dalam koalisi pemerintahan.

Penolakan tersebut disampaikan oleh anggota Dewan Syuro PKB, Maman Imanulhaq. Menurut Maman, sikap politik PAN tidak konsisten ketika berada dalam sebuah koalisi. Hal itu dapat dilihat ketika PAN masuk dalam koalisi partai pendukung Jokowi pada Pilpres 2014.

Namun, pada Pilpres 2019 PAN memilih mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga. “PKB itu adalah koalisi yang sangat-sangat konsisten, tidak pernah gabung ke sana, masuk tempat menteri, di tengah jalan pindah lagi. Sekarang tiba-tiba mendekat lagi, kayak PAN,” kata Maman.

Maman mengatakan, setiap partai politik harus membangun moralitas kepartaian serta memiliki integritas dan loyalitas terhadap koalisi yang dinaungi. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar partai-partai yang sejak awal tidak mendukung Jokowi-Ma’ruf sebaiknya tetap berada di luar koalisi pemerintahan.

“Menurut saya ada beberapa partai yang sebaiknya tidak masuk (koalisi pemerintah), partai yang tidak jelas, yang cuma merecoki. Daripada nanti mengganggu, lebih baik di sana (di luar koalisi pemerintah) sajalah sebagian,” ujarnya.

Penolakan juga muncul dari politisi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon. Menurut dia, Partai Gerindra telah lama berbeda sikap dengan PDI Perjuangan. Untuk itu, Effendi berpendapat, akan lebih baik jika Partai Gerindra tetap menjadi oposisi.

“Wong berbeda kok. Kita satu tahun lebih berbeda, dalam tanda petik kita berseberangan. Kasihan rakyatnya dong. Berbeda kan tidak berarti membuat kita bermusuhan,” kata Effendi.

Menurutnya, jika Partai Gerindra dipaksakan masuk ke koalisi Jokowi-Ma’ruf, dalam masyarakat akan muncul sikap apatis. Sebab, sejak Pilpres 2014 Partai Gerindra tak pernah ingin masuk dalam koalisi Jokowi.

“Saya pribadi melihat kalau model demokrasi kita seperti ini, ke depan masyarakat kita makin apatis. Wong berbeda, kok bisa satu. Enggak mungkin,” ujar Effendi.

Dia meminta Partai Gerindra konsisten pada posisi di luar koalisi pemerintah. Ia mengatakan, sepanjang memiliki niat yang baik, menjadi oposisi bukan sesuatu hal yang buruk.

“Jadi konsisten sajalah. Pasti sepanjang kita punya niat baik, enggak usah terlalu diakomodir seluruh kebutuhannya,” ucap dia.

Menanggapi penolakan dari parpol-parpol pengusung Jokowi, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan menilai pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Karena itu, dikatakan Bara tak perlu dipermasalahkan bila Presiden hendak memperluas koalisinya dengan mengundang parpol-parpol pengusung Prabowo-Sandi untuk bergabung.

“Kalau soal itu tentu menjadi hak prerogatif presiden. Jika presiden merasa perlu memperluas koalisinya, bisa saja mengundang partai-partai lain untuk bergabung,” sebut Bara.

Dia menambahkan, masuknya partai yang bukan pengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin ke dalam koalisi pemerintahan juga penting untuk menguatkan rekonsiliasi.

“Ini bukan hanya untuk memperkuat posisi pemerintah di parlemen, tetapi juga memperkuat modal sosial dalam hal rekonsiliasi. Masyarakat masih ada yang terluka seusai pilpres dan kita perlu membuka lembaran baru,” ujar Bara.

Ada pun Partai Gerindra belum memberikan kepastian apakah bersedia masuk ke dalam kabinet. Menurut Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade, sebagian besar kader di partainya lebih memilih untuk menjadi oposisi. Namun, ini bukan berarti Partai Gerindra menutup pintu untuk bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad kemudian menyatakan, partainya akan menawarkan program kepada Jokowi-Ma’ruf jika diajak bergabung.
Apa saja konsep yang ditawarkan Partai Gerindra? “Konsep kemandirian pangan, ketahanan energi. Pokoknya itu jadikan satu konsep. Kalau konsep mandiri-mandiri itu kemudian diterima (Jokowi-Ma’ruf), lalu kan nanti akan dihitung bidangnya berapa, orangnya berapa, kan begitu,” ujar Dasco.

Jika pemerintahan Jokowi-Ma’ruf bersedia menerima konsep itu, partai berlambang Garuda tersebut bersedia bergabung. Namun, jika tawaran itu ditolak, Partai Gerindra tetap memilih menjadi oposisi.

“Jadi konsisten sajalah. Pasti sepanjang kita punya niat baik, enggak usah terlalu diakomodir seluruh kebutuhannya,” ucap dia.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, Amien Rais berkata lain mengenai bakal masuknya oposisi gabung ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Amien mengingatkan agar koalisi yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilihan Presiden tidak tergiur mendapat kursi di kabinet pasca pertemuan Jokowi-Prabowo. Sebab demokrasi butuh oposisi untuk memberikan pengawasan kepada pemerintahan.

‘Menjaga’ Senayan

Hasil rekapitulasi KPU berdasarkan Pemilu Legislatif 2019 menempakan PDI Perjuangan pada urutan pertama 19,33 persen. Di urutan kedua Partai Gerindra 12,57 persen, kemudian urutan ketiga Partai Golkar 12,31 persen. Selanjutnya Partai Nasdem 9,05 persen, PKS 8.21 persen, Partai Demokrat 7,77 persen, PAN 6.84 persen, dan PPP 4.52 persen.

Menarik untuk disimak pertemuan-pertemuan para elit politik di tengah pembahasan anggota kabinet, ketua MPR dan pimpinan di DPR. Ada beberapa hal yang perlu dicermati.

Pertama, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo, serta Megawati dan Prabowo membawa angin segar politik tanah air yang sebelumnya berlawanan keras di Pilpres 2019 bahkan sempat memecah belah masyarakat Indonesia.

Di samping upaya rekonsiliasi. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri ada kepentingan politik jangka panjang demi stabilitas jalannya roda pemerintahan. Langkah awal membentuk pemerintahan kuat. Khususnya Indonesia saat ini menganut sistem presidensiil-multipartai.

Pembentukan grand coalition, dalam istilah literatur ilmu politik yang digagas Arend Lipjhart perlu dijajaki oleh elite politik parpol. Yakni koalisi yang dibentuk dengan melibatkan banyak partai di Parlemen. Ini yang terbaca dari manuver elite politik saat ini. Walau banyak penentangan di internal koalisi.

Kedua, dalam perjalanan pembentukan koalisi partai-partai besar dengan grand coalition akan diikuti minimal connected coalition atau kesamaan dalam preferensi kebijakan artinya terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan partner yang tidak penting. Asumsi koalisi partai, memiliki tujuan “policy seeking” atau memaksimalkan kebijakan sesuai kepentingan partai.

Maka grand coalition yang akan berproses menuju minimal connected coalition jika terbentuk, akan memperkuat loyalitas peserta koalisi partai karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan. Partai-partai seperti Golkar, Nasdem, PAN, Demokrat, PPP akan mengikuti grand coalition tersebut.

Diberitakan bahwa kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tengah menjadi rebutan hampir semua partai politik (parpol) usai Pemilu 2019.

Rebutan itu tak hanya terjadi di barisan parpol koalisi pendukung petahana Joko Widodo-Maruf Amin saat Pilpres 2019, namun juga terjadi di kubu oposisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beradu argumen dengan merasa paling berhak untuk mendapatkan kursi ketua MPR yang saat ini diduduki oleh Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan.

Belakangan Golkar malah mengaku siap membicarakan perihal kursi MPR itu dengan Partai Gerindra yang mulai ikut-ikutan membidik kursi Ketua MPR dengan dalih rekonsiliasi pilpres.

Di sisi lain, PAN juga terlihat tak rela jika kursi ketua MPR berpindah ke partai lain. Sementara Demokrat mengungkit jasa partainya saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa dengan memberikan jatah kursi MPR ke PDIP. Demokrat minta PDIP mengingat jasa SBY itu.

Bukan tanpa alasan para elite politik di Indonesia memperebutkan kursi Pimpinan MPR. Kursi ini dianggap posisi strategis dalam biduk pemerintahan di Indonesia dan merupakan lembaga yang memiliki kewenangan sangat tinggi.

Posisi Ketua MPR dinilai sedikit lebih istimewa dibanding pimpinan lembaga negara lainnya karena punya kewenangan mengubah dan menetapkan konstitusi dan melantik Presiden dan Wakil Presiden.

Tak hanya itu, Ketua MPR juga punya wewenang untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya, serta memilih Presiden atau Wakil Presiden bila terjadi kekosongan jabatan. Bahkan, MPR juga berhak mengubah aturan terkait lamanya presiden menjabat.

Pengamat Politik dari Populi Center, Rafif Pamenang Imawan menyebut ada dua hal utama dalam memandang posisi Ketua MPR saat ini. Pertama terkait Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kedua sudut pandang pragmatis dimana posisi pimpinan MPR dianggap sangat enak bagi politisi manapun.

“Bayangkan dengan fungsi minimalis, mendapatkan fasilitas setara pimpinan lembaga tinggi lainnya,” kata Rafif.

Menurut Rafif, kunci dari perebutan kursi MPR saat ini ada pada persoalan GBHN. Sebab, apabila GBHN kembali menjadi penting, maka MPR akan penting juga.

“Pembahasan mengenai GBHN tersebut yang kemudian membuat pimpinan MPR menjadi penting perannya, termasuk menyusun perangkatnya,” kata Rafif.

Terkait partai politik yang berpeluang mendapat posisi ini. Menurut Rafif kecil kemungkinan bisa dipegang oleh pihak oposisi. Untuk saat ini kursi pimpinan masih mungkin diduduki oleh partai koalisi di Pilpres yang mendukung Jokowi-Ma’ruf.

“Dari peta politik sekarang, kecil kemungkinan (didapat oposisi) aktor penentu tetap ada di dua partai yakni PDIP, Golkar,” ujarnya.

Direktur Eksutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyebut posisi ini memang pantas diperebutkan. Apalagi partai-partai politik di pemerintahan saat ini memang sangat haus kekuasaan. Maka tak heran, baik partai yang beroposisi maupun berkoalisi sama-sama membidik kursi ini.

“Ya saya kira karena MPR ini memiliki kewenangan yang sangat strategis. Siapa yang bisa mengubah aturan soal jabatan presiden? MPR,” ujar Karyono.

Menurutnya sah-sah saja jika PDIP, Golkar hingga Gerindra menginginkan kursi ini. Hanya saja, untuk partai oposisi sendiri dirasa akan cukup sulit dan kemungkinannya sedikit lebih kecil.

Kecuali, jika ada perbincangan intensif antara partai, mengingat pemilihan ketua MPR sendiri memang dilakukan dengan sistem paket, bukan dengan sistem pemenangan Pemilu seperti kursi Pimpinan DPR.

“Ya memang tidak ada aturan yang larang pemenang pemilu ambil posisi MPR atau sebaliknya. Yang paling penting adalah kompromi politik yang terjadi di antara parpol,” katanya.

Karyono sendiri tak bisa menyatakan satu partai tertentu layak menerima posisi sebagai Ketua MPR. Sebab, sebagai kursi yang memiliki kewenangan tinggi, Ketua MPR haruslah dimiliki oleh sosok yang memiliki pengalaman dalam sistem MPR. Tentu tak bisa diduduki oleh pihak yang minim pengalaman.

“Siapa yang paling layak itu menurut saya penting punya rekam jejak pengalaman di DPR dan MPR dan juga bisa diterima seluruh kalangan,” katanya.

Terpisah, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno menduga, hanya akan ada dua paket calon pimpinan MPR. Nama-nama kader partai nantinya akan dimasukan dalam dua paket tersebut.

Anggota Komisi XI DPR itu mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang MPR, DPR DPD dan DPRD (MD3) dari paket pimpinan MPR tersebut akan ada satu perwakilan dari DPD. Sehingga ia menduga hanya akan ada dua paket pimpinan MPR.

“Jadi memang sesuai Undang-Undang tetap harus ada Wakil DPD. Nanti kita lihat saja pake satu dan dua” katanya.

Hendrawan menjelaskan, sulit adanya paket pimpinan MPR lebih dari dua. Karena jika lebih dari dua jumlah dukungan akan sangat sedikit dari partai-partai yang lolos ke parlemen.

“Kalau tiga, dukungannya sedikit sekali dong,” ungkapnya.

Selain itu, Hendrawan juga menuturkan, ada wacana agar paket pimpinan bersifat cair, tidak berdasarkan koalisi pada Pemilu Presiden.

“Paket ini nantinya dipersaingkan, Zaman pak Zulhas kita-kita voting sampai pukul 3.20 pagi, saya ingat betul itu, siapa yang menang ini akan menjadi pimpinan kita bersama,” sebutnya.

Tidak menutup kemungkinan paket pimpinan MPR yang terbentuk nanti merupakan campuran antara partai pemerintah dengan partai koalisi.

Misalnya menurut Hedrawan ada fraksi partai yang sekarang di koalisi pemerintah bergabung dengan paket pimpinan MPR yang dimotori Gerindra.

Atau pun sebaliknya ada partai yang sebelumnya berada di koalisi oposisi kemudian bergabung dengan paket pimpinan yang dimotori PDIP.

“Contoh, PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, terus satu DPD, misalnya PPP ditinggal misalnya, karena yang paling kecil 19 kursi kan. terus kemudian disambut pihak gerindra, PKS, Pan Demokrat,” tuturnya.

Hendrawan menambahkan, paket pimpinan MPR juga dinamis. Tidak hanya mengakomodir kepentingan koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin saja. Melainkan partai-parai lain juga diberikan kesempatan untuk bisa menempati kursi pimpinan MPR.

“Karena saya kira MPR itu lebih guyub ya. Orang sudah tidak tersekat jadi ini partai oposisi ini koalisi pemerintah,” ungkapnya.

Diketahui, saat ini sudah ada beberapa partai yang membidik kursi Ketua MPR periode mendatang. Mulai dari Partai Golkar, PKB, Nasdem hingga Partai Gerindra.

Ada pun paket itu nantinya akan diisi oleh kader partai yang lolos ke DPR. Setelah itu nantinya anggota dewan memilih paket tersebut. Memilih komposisi paket A, atau B untuk bisa menjadi pimpinan MPR.

Diprediksi, jumlah pimpinan MPR ke depan sesuai dengan UU MD3 kembali menjadi 5 orang. Karena sebelumnya ada usulan bahwa pimpinan MPR ditambah menjadi 10 orang sehingga bisa mengakomodir pihak oposisi.

“10 tidak perlu, kita tegas soal itu,” ujar Hendrawan.

Banyak sedikitnya porsi pimpinan, menurut Hendrawan, tentu sangat menyangkut anggaran. Karena itu, anggaran negara harus dikelola seefisien mungkin. “Jadi pimpinan MPR cukup 5 saja dengan kompisisi 1 ketua dan 4 wakil ketua,” paparnya. (pi/nt)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button