POLITIK

Pemilu 2019, Masih Banyak Kecurangan Berdemokrasi

 


JAKARTA (podiumindonesia.com)- Tidak ada pihak yang rela dicurangi. Apalagi dalam kontestasi politik, seperti Pemilihan Umum (Pemilu), jika ditanyakan satu per satu, sungguh tak seorang pun mau jadi korban kecurangan.

Rabu, 17 April 2019, adalah hari yang menjadi salah satu puncak kuratif proses demokrasi di Indonesia. Kali ini, Pemilu dilakukan serentak, yang mana Pemilihan Calon Legislator dilakukan bersamaan dengan Pemilihan Calon Presiden.

Selama berbulan-bulan, masyarakat Indonesia yang tersebar di seantero dunia, bagai kembali mengalami demam berkelanjutan.

Hal itu terekam dan terdeskripsikan dari banyaknya pergunjingan di masyarakat dan media-media massa maupun media sosial, yang saling bergesekan, panas.

Meskipun negara ini sudah sering menyelenggarakan Pemilu, namun kali ini dirasa lebih berani dan mempertaruhkan hampir seluruh potensi yang dimiliki oleh setiap orang Indonesia.

Memang, hampir di setiap kontestasi politik di Tanah Air, demam mirip seperti menjelang Pemilu 2019 ini selalu terjadi. Mulai dari kontestasi Pemilihan Kepala Desa, Pemilihan Kepala Daerah, hingga Pemilihan Presiden.

Tensi demam yang terus meninggi jelang hari H, sempat dikhawatirkan akan menyebabkan efek buruk bagi masyarakat Indonesia dan dunia ke depan. Apakah kondisi ini mirip demam biasa, demam karena gejala sakit tipus ataukah demam berdarah yang sangat berbahaya itu?

Jika kondisi ini bagai gejala demam berdarah, bisa berakibat fatal, yakni kehilangan nyawa. Butuh tindakan yang segera dan efektif, untuk menghentikan demam berdarah. Semoga tidak.

Pemilu 2019 kali ini, sangat fenomenal. Selain dilakukan serentak, masing-masing pemain saling sikut dan berupaya mempengaruhi massa pemilih melalui berbagai perangkat, seperti kebijakan-kebijakan, atraksi-atraksi maupun alat-alat teknologi informasi, untuk memenangkan pertarungan.

Seyogyanya, Pemilu adalah pesta demokrasi. Pestanya rakyat. Namun, kini terminologi terus berkembang, Pemilu pun semakin nyata sebagai ajang pertarungan dan perebutan puncak kekuasaan dan ekonomi.

Sebagai ajang pertarungan, semua pemain yang bertarung dan para pendukungnya meyakini sedang bertarung gagasan, ide, kemampuan, emosi dan bahkan jiwa raga untuk menghabisi lawan politiknya.

Pada titik inilah potensi-potensi kecurangan terjadi. Berdemokrasi tadinya untuk mengikutsertakan rakyat terlibat secara langsung menyampaikan aspirasinya bagi bangsa dan negaranya. Kini tidak hanya sekedar ikut serta, juga telah menjadi permainan yang saling tarik menarik.

Dalam terminologi Ilmu Komunikasi, pemain politik di semua aras, bisa dikategorikan sebagai komunikan-komunikan yang bertarung. Seorang komunikator akan mampu mempengaruhi massa, dengan melihat isi, sikap, perilaku dan komitmennya.

Dari pendekatan budaya, di Indonesia dikenal harus mengenal Bibit, Bebet dan Bobot si calon. Ukuran-ukuran itulah yang dianggap lebih rasional dalam menentukan pilihan politik juga.

Seorang pakar teknologi informasi dan pengolahan data, Yudi Cahya Prawira mencermati meskipun semua alat dan perangkat demokrasi telah dibuat di Indonesia, perilaku dan potensi curang masih terjadi.

Padahal, lanjut Yudi, sejatinya berdemokrasi adalah mengeliminir perilaku-perilaku politik menyimpang, seperti kecurangan. Dengan begitu, demokrasi Indonesia bisa lebih rasional, sehat dan membahagiakan semua orang Indonesia.

“Memang ada undang undang, ada partai politik, ada calon-calon legislatif, ada pasangan calon presiden, ada KPU, ada Bawaslu, ada DKPP ada media massa, dan berbagai perangkat hingga ke desa-desa. Namun potensi kecurangan terus terjadi. Ini yang harus dihindari,” tutur Yudi Cahya Prawira, kemarin.

Jika mencermati proses yang sudah terjadi hingga pelaksanaan Pemilu pada Rabu 17 April 2019, Yudi menilai segudang kecurangan terus terjadi dan dibiarkan, tanpa penyelesaian yang bermartabat dan tidak bertanggung jawab secara hukum.

Meskipun institusi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, TNI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginstruksikan akan menindak tegas berbagai pelaku kecurangan, namun sering kali institusi itu pun berpihak secara politis pada pasangan calon tertentu.

Bahkan, lembaga-lembaga survei yang menjamur pun tidak menjamin terlaksananya Pemilu yang tidak curang. Malah, menurut Yudi, ada lembaga survei yang dibayar oleh pemain politik sehingga terkesan obyektif. Padahal membangun keberpihakan kepada si pembayar.

Wilson Siregar, salah seorang caleg DPRD Kabupaten Tobasa, di daerah pedalaman Sumatera Utara mengaku kesulitan meyakinkan warga masyarakat yang sudah disiram dengan uang oleh para pemain politik di tingkat bawah.

Menurut Wilson, praktik money politics sangat massif dan vulgar di masyarakat.

“Sangat terbuka, pembagian uang oleh tim sukses dan calon legislatif tertentu dan pasangan calon presiden. Besarannya antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per kepala. Ini juga sudah kami sampaikan ke partai dan KPUD, Panwaslu maupun aparat penegak hukum. Tidak ditindak tegas,” tutur Wilson lewat sambungan telepon.

Hal senada diutarakan Roger Sirait, caleg DPRD Provinsi Sumatera Utara. Menurut Roger, Pemilu kali ini adalah pemilu karena uang.

“Siapa yang banyak uang dan memberikan kepada tim sukses dan masyarakat, maka ini jadi pestanya mereka. Negara dan penyelenggara Pemilu, seperti tutup mata,” tuturnya.

Menurut Yudi Cahya Prawira, kondisi-kondisi riil itulah yang membuat nilai dan proses demokrasi Indonesia jadi tergerus.

Ditambah lagi kekurangpercayaan terhadap kinerja penyelenggara Pemilu dan perangkat negara dalam proses penyelenggaraan Pemilu kali ini, lanjut Yudi, membuat publik lebih memilih mempergunakan kemampuan teknologi informasi, dan media sosial sebagai ajang menyampaikan unek-unek.

“Jadinya masyarakat melapor dengan teknologi informasi. Meng-upload berbagai persoalan lewat media sosial, lewat video vlog, lewat viralisasi yang mempergunakan media informasi teknologi,” tuturnya.

Yudi meyakini demokrasi dalam wujud apapun, tidak akan banyak berguna bagi kemaslahatan bangsa Indonesia, selagi setiap pemain politik ataupun operatornya masih berwatak curang.

“Jadi, bukan di perangkat atau alat, bukan di kebijakan atau lembaga-lembaga, tetapi potensi kecurangan itu sudah dimulai dari watak para operator dan pemainnya,” tuturnya.

Oleh karena itulah, ia bersama teman-temannya berkomitmen mengurangi kecurangan-kecurangan itu dengan membuat aplikasi teknologi informasi yang bisa diakses oleh setiap orang.

Apalikasi itu berisi laporan-laporan langsung dari masyarakat di lapangan, yang bisa memberikan informasi, data, berupa teks, foto, suara dan video langsung, yang terkoneksi ke server, dan bisa segera disampaikan ke khalayak, dan lembaga-lembaga terkait.

“Itu semacam aplikasi yang terintegrasi. Sulit dibohongi, apa adanya,” tuturnya.

Yudi memprediksi, meskipun proses pencoblosan telah terjadi, namun proses-proses kecurangan itu harus terus dieliminir dan diawasi ketat, hingga resmi nantinya ditetapkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Demikian juga pada Caleg DPR, DPRD dan DPD.

“Dari hari ini, hingga 60 hari ke depan, kami akan melakukan terus pemantauan, pengumpulan informasi, publikasi dan upaya menghentikan kecurangan. Dan menyampaikannya ke aparat hukum untuk ditindaklanjuti. Kita akan mengawal Pemilu ini hingga selesai dan ditetapkannya pemenang secara sah,” tutur Yudi. (pi/rmol)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button