Beranda NASIONAL Perpustakaan Desa Mubazir

Perpustakaan Desa Mubazir

142
0

LANGKAT (podiumindonesia.com)- Lagi temuan PODIUM menyangkut ketidakwajaran Dana Desa di Kabupaten Langkat. Dugaan penyelewengan serta kemubaziran dana kemaslahatan ummat kucuran pemerintah itu terpantau di enam desa dari 240 desa di bawah pimpinan H Ngogesa Sitepu.

Belum usai kasak-kusuk pemberitaan PODIUM edisi sebelumnya soal sinyalir dana sosialisasi bagi Kepala Desa dan Kaur Umum, hingga membuat Camat menggelar rapat mendadak. Kini, kasus lain mengemuka dan jadi perbincangan publik. Ya, penelusuran kru tabloid ini beberapa hari lalu terkait kemubaziran Dana Dana untuk perpustakaan.

Ditilik dari kebijakan pemerintah daerah mengaktifkan kembali perpustakaan desa sangatlah baik. Dan mungkin tak seorang pun menolak pemberdayaan perpustakaan desa. Hanya saja, keberadaan perpustaan desa itu jauh dari harapan bagi masyarakat yang mendiami pinggiran kota itu.

Hal ini bukan tanpa alasan. Dari enam desa yang berada di tiga kecamatan di Kabupaten Langkat, hasil telaah kru tabloid ini sangatlah tidak layak. Terutama menyangkut lokasi atau area berdirinya perpustakaan, jumlah buku dan isi buku serta literatur yang terpajang di lemari perpustakaan desa.

Ironinya, enam desa tersebut menampilkan literatur buku yang sama. Terdiri dari buku ilmu hukum beserta pasal-pasal penyertanya. Tak salah memang pembelajaran hukum terhadap kaum marginal diberikan, tapi rasanya kurang pas.

Artinya, dilihat dari iklim warga desa yang kebanyakan bertani, toh malah buku tentang pertanian atau sejenisnya sama sekali ‘hilang’.

Begitu juga tentang buku agama, sejarah, pendidikan akhlak dan sebagainya, itu pun tidak masuk dalam lemari perpustakaan. Penasaran, lalu kru PODIUM coba mewawancarai perangkat desa yang ada saat itu.

Perangkat desa yang tak mau namanya dipublis menerangkan, sejak awal berdiri perpustakaan desa, ya isi di lemari itu hanya berkutat tentang hukum. Seperti undang-undang dan peraturan tentang pemerintahan desa, peraturan pemerataan desa, buku hukum (KUHP).

Jumlahnya juga tak banyak. Sekitar 35-40 unit buku saja. Yang jadi pertanyaan, dari mana anggaran buku dan pembenahan lokasi perpustakaan diperoleh?

Seketika aparat desa itu menjawab. “Dananya dari Dana Desa, bang. Ini merupakan kewajiban bagi desa untuk membuat perpustakaan desa. Nominalnya 12 juta rupiah untuk satu perpustakaan desa,” katanya.

Lokasi perpustakaan sendiri, kata aparat desa tersebut, itu diserahkan kepada pihak desa. Memang, pantauan PODIUM perpustakaan itu ada yang berada di aula desa, ruang khusus perpustakaan desa dan ada pula di ruang Kepala Desa serta ruangan Sekretaris Desa.

Ketidaklayakan posisi atau tempat perpustakaan nyatanya jauh dari kenyamanan. Apalagi berada di ruang Kepala Desa atau di ruang Sekretaris Desa. Di situ tampak satu sisi yang menyalahi aturan.

Telaah lebih lanjut, di Kabupaten Langkat terdapat 240 desa. Rata-rata perdesa mengeluarkan anggaran Rp12 juta. Total keseluruhan Dana Desa sekira Rp2,88 miliar.

“Pokoknya isi buku hampir rata tak ada membahas soal pertanian, cuma hukum saja,” tukasnya.

Berapa dana ketersediaan buku? Pertanyaan itu kembali diutarakan PODIUM. “Untuk buku dianggarkan Rp10 juta,” singkat aparat tersebut menambahkan.

Jadi, dana buku Rp10 juta untuk membeli rata-rata 40 buku. Ditaksir satu buku itu berada di angka Rp250 ribu. Nominal harga satu buku ‘hebat’ bagi kalangan masyarakat desa. Apakah buku tersebut dibeli pihak desa atau disediakan oleh PMDK?

Dengan lugas aparat desa itu kembali menjawab. “Kalau soal buku, itu disiapkan pihak ketiga, bang. Kami selaku pihak desa hanya menerima bersih dari anggaran yang ditetapkan sebesar Rp10 juta,” terangnya.

Siapa pihak ketiga itu? “Kalau (pihak ketiga-red) itu kami tidak tahu. Dan jenis buku juga ditentukan pihak ketiga,” imbuh aparat desa.

“Yang kami tahu, buku telah disediakan di salah satu tempat dan kami disuruh untuk mengambil saja,” sebutnya.

Hasil tanya jawab dengan aparat desa, bisa dilihat bahwa peruntukan perpustakaan desa hanya menguntungkan sepihak. Terutama pihak ketiga yang bekerjasama dengan Dinas PMDK. Bahkan disebut-sebut pihak ketiga yang menyediakan pengadaan buku perpustakaan desa berasal dari kalangan kejaksaan.

Mungkin saja itu benar adanya. Sebab, buku-buku yang perpajang di lemari perpustakaan desa (seperti telusur PODIUM) banyak mengenai ilmu hukum.

“Kadang juga ada penambahan buku di lemari perpustakaan, bang. Ya itu tadi, buku perpustakaan bertambah dari hasil bimbingan dan penyuluhan aparat desa atau mahasiswa KKN (kuliah kerja nyata),” ujar aparat desa itu menambahkan.

Sedangkan pengunjung perpustakaan desa sendiri, menurut sang aparat desa, tak lain mereka yang bertugas di kantor desa. “Jarang ada warga sini yang datang, bang. Apalagi isi lemari perpusataan itu cuma buku hukum, hukum dan hukum. Siapa yang mau bacanya! Mana mungkin warga sini yang kebanyakan petani mau datang untuk membaca,” sahutnya lagi.

Makanya, kata aparat desa itu, mereka pun sedikit janggal tatkala menerima buku peruntukan bagi perpustakaan desa. “Sedari awal kami berpikir pihak ketiga itu memberikan buku tentang pertanian, atau lainnya. Ehh..malah buku tentang hukum. Ini kan aneh. Mubazir, kalau diperhatikan peruntukan Dana Desa ini,” sindir sang aparat desa.

Rapat Mendadak

Edisi 16-30 September, PODIUM mengulas tentang dugaan penyelewengan Dana Desa. Wuihh..heboh seketika. Terbukti, info di lapangan menyebut, pejabat PMDK seolah ‘kebakaran jenggot’. Kepanasan tak tentu arah. Alhasil, hampir di seluruh kecamatan yang dipimpin para camat, langsung menggelar rapat mendadak.

Diulas PODIUM saat itu soal dugaan penyelewengan Dana Desa dibalut sosialisasi pengadaan barang dan jasa. Secara matematis sekira Rp1,2 miliar dana tersebut ‘menguap’ entah kemana. Lagi-lagi, pihak ketiga yang katanya sebagai penyelenggara.

Terlepas dari rapat mendadak dan peran pihak ketiga bekerjasama dengan pejabat PMDK Kabupaten Langkat, namun pastinya terdata telah 139 pelaku korupsi Dana Desa merupakan kepala desa.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sejak 2016 hingga 10 Agustus 2017, telah ditemukan 110 kasus korupsi.

“Sedikitnya ada 110 kasus korupsi anggaran desa yang telah diproses penegak hukum dan ditemukan oleh ICW,” ujar Egi Primayogha, peneliti ICW pada Agustus lalu.

Dalam 110 kasus korupsi tersebut diduga terdapat 139 orang pelaku. Berdasarkan data yang dirilis ICW, dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa.

Sementara, 30 orang lainnya merupakan perangkat desa, dan 2 orang istri dari kepala desa.

“Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 30 miliar. Pada tahun 2017, terjadi peningkatan jumlah kerugian korupsi dana desa yakni Rp 19,6 miliar. Sementara di tahun 2016 lebih rendah dengan korupsi sebesar Rp 10,4 miliar,” ujar Egi.

Menurutnya, banyaknya kepala desa yang menjadi tersangka kasus korupsi dana desa menunjukkan bahwa banyak kepala desa yang tidak melaksanakan kewajiban mereka sebagai diatur dalam UU Desa.

Dalam pasal 26 ayat (4) UU Desa, disebutkan Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

Egi beserta 2 pembicara lainnya yaitu Kurnia Ramadhana dan Almas Sjafrina mengaku prihatin dan menolak keras adanya korupsi lebih lanjut mengenai dana desa.

Berkaca temuan ICW Dana Desa ‘dimainkan’ Kepala Desa, toh nyatanya bakal diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Malahan kabar teranyar diterima PODIUM, bahwa lembaga anti rasuah itu telah memberi sinyal untuk melakukan tindak lanjut dugaan penyelewengan ADD/DD di Kabupaten Langkat.

Info KPK juga menyebut akan langsung menyeret aktor intelektual yang bermain Anggaran Dana Desa dan Dana Desa di Bumi Amir Hamzah.

Sementara itu, dari ‘gedung bundar’ diperoleh informasi, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tetap konsen dengan riuhnya dugaan penyelewengan Dana Desa yang terjadi di Kabupaten Langkat.

Namun, laporan resmi tentang dugaan keterlibatan oknum jaksa yang ‘bermain’ harus ada lembaga atau pun pihak yang membuat laporan langsung ke Jamwas. Bisa saja pengaduan dari Langkat sudah disampaikan LSM ke pihak Kejatisu tapi mandek.

“Untuk itu kami menunggu laporan resmi (soal dugaan penyelewengan ADD/DD-red) dari Langkat,” tandas sumber PODIUM di Kejagung. (TIM/PI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini