MEDAN (podiumindonesia.com)- Belum waktunya sebenarnya bagi mantan Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Simalungun, Arsyad Siregar (57) berhenti dari pekerjaan sebagai Aparatur Sipil Negara andaikan mantan bosnya, yakni Bupati Jopinus Ramli (JR) Saragih tak bergerilya mengganggunya agar dia hengkang dari pekerjaannya.
Berkali-kali JR yang kini tengah dirundung kasus sengketa legalisir ijazah melawan KPU Sumut dalam pencalonannya di Pilgubsu 2018, berusaha memecat Arsyad. Tak cuma dari jabatannya sebagai Sekretaris KPU tetapi juga dari status PNS. Akibatnya, tak cuma Arsyad yang sengsara, ketiga anaknya juga ikut merasakan dampak pahitnya.
Kisah pilu yang dialami Arsyad ini bermula saat digelarnya Pilkada Simalungun 2010, di mana saat itu JR Saragih merupakan salah satu kandidat bupati. Sama seperti yang tengah bergolak di Pilgubsu, waktu itu legalisir ijazah JR juga sudah dipersoalkan.
Berbagai kebijakan dilakukan KPU guna memastikan kebenaran sertifikat lulusan SMA milik Ketua DPD Partai Demokrat Sumut ini. Sampai-sampai harus mendatangi Dinas Pendidikan DKI Jakarta, karena JR bersekolah di Jakarta saat SMA. Arsyad termasuk dalam tim KPU yang memverifikasi ijazah JR.
“Sampai detik terakhir penetapan calon bupati ketika itu legalisir ijazah JR masih belum jelas keabsahannya. Nggak tahu bagaimana caranya akhirnya dia dinyatakan memenuhi syarat (MS),” ujar Arsyad.
JR kemudian terpilih menjadi Bupati Simalungun 2010-2015. Kata Arsyad, karena dirinya dianggap tak berpihak padanya saat proses Pilkada, dia pun mulai “dikerjai”.
“Gerilya” pertama JR untuk menjatuhkan dirinya, kata Arsyad, adalah dengan cara hendak menggulingkannya dari posisi sebagai Sekretaris KPU. Persisnya pada 2012. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, JR melobi Komisioner KPU mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat.
Untungnya, Arsyad tahu betul landasan hukum yang menopangnya duduk sebagai Sekretaris KPU. Jadi siapapun tidak bisa menggulingkannya jika tanpa melalui prosedur yang tepat.
Satu ketika, kata Arsyad, dia pernah mengancam akan mengadukan Komisioner KPU Sumatera Utara ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu jika berniat mengintervensi jabatannya. Ancaman itu ternyata manjur. Ia masih aman dari jabatannya.
“Senjata” pertama gagal, JR meneruskan gerilyanya dengan cara tidak membayarkan gaji Arsyad selama hampir dua tahun. Mulai 2012 hingga 2013 gajinya tak dibayarkan. Selama itu pula dia bersama keluarganya kelimpungan.
Singkat kata, setelah melalui pengaduannya ke Polda Sumut, Pemkab Simalungun kemudian membayarkan gajinya utuh. Tidak disebut Arsyad berapa jumlah total gajinya yang dibayar. Hanya, dia menyayangkan kebijakan Polda yang tidak meneruskan proses hukum kepada JR yang dianggap telah menzoliminya.
Gagal lagi hendak menjatuhkan dirinya, Arsyad menyebutkan JR tidak kehabisan “peluru”. Dia pernah hendak dijerat dengan dugaan penggelapan dana penyelenggaraan Pilkada. Oleh pejabat kepala seksi dari kejaksaan negeri waktu itu dia didatangi hendak diperiksa.
“Saya nggak mau diperiksa waktu itu. Selain laporannya sudah clear dan telah diserahkan ke BPK, saya heran kok bisa-bisanya diperiksa kejaksaan, sementara JR yang sudah lebih dulu saya adukan kok nggak diperiksa,” ujarnya.
Senjata pamungkas JR guna menyingkirkannya, ungkap Arsyad, adalah menggunakan kekuasaannya untuk memecat dirinya. Setidaknya sebanyak dua kali JR bermaksud hendak memecat dirinya.
Pertama, pada akhir 2013 JR mengajukan pemecatan Arsyad ke Gubernur Sumut. Namun karena dianggap salah alamat permintaan pemecatannya itu ditolak. Arsyad pun selamat.
Kedua, JR kemudian mengajukan pemecatan Arsyad ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) di Jakarta. Badan ini diketuai oleh Menteri PAN dan Kepala Badan Kepegawaian Negara sebagai sekretarisnya.
“Saya kemudian mengajukan banding ke PT TUN tahun 2014 atas pemecatan diri saya itu. Saya dinyatakan menang di PT TUN, lalu JR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” tegas Arsyad.
Alasan pemecatan dirinya oleh JR ketika itu adalah Arsyad dinyatakan mangkir selama 80 hari kerja. Secara diam-diam dan tanpa pemberitahuan resmi kepadanya, Arsyad dipindahkan menjadi kepala bidang di salah satu dinas.
Upaya JR di tingkat MA untuk menyingkirkan Arsyad lagi-lagi berakhir dengan kegagalan. Arsyad dinyatakan sah sebagai PNS di Pemkab Simalungun. Keputusan MA saat itu pada 2015. Sebelumnya, dia sudah mengundurkan diri lebih dulu dari jabatan sebagai Sekretaris KPU.
Secara sukarela kemudian pada akhir 2015 Arsyad mengundurkan diri dari PNS. Bersamaan dengan berlangsungnya proses pemilihan bupati, di mana JR kembali mencalonkan diri. Dia berkeyakinan bahwa “seteru”-nya itu bakal kembali terpilih jadi bupati.
“JR itu pembohong, secara psikologis saya tak mungkin bisa bekerja di bawah pimpinannya. Anak saya yang kuliah di USU dan yang SMA ikut menderita secara mental akibat kebijakan JR kepada saya,” kata Arsyad.
Awal 2016, Arsyad resmi mengundurkan diri dari PNS. Empat tahun lebih cepat dari akhir masa pengabdiannya. Padahal, dia berkesempatan menduduki jabatan kepala dinas. (PI/MBC)