OPINI

Rizki Amanah (OLEH: ESP PARINDURI)

 

RIZKI. Pendidikan cuma tamatan SMP. Itu pun harus dijalani 4 tahun. Maklum saja, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai pemulung. Rizki atau Iki, biasa dipanggil teman-temannya. Iki anak sulung dari dua bersaudara.

Tiap hari (sejak usia 4 tahun) Iki sudah turun ke lapangan. Bukan sebagai petugas keamanan tapi bekerja membantu ayah-emaknya. Terlahir dengan tubuh kurus ceking (kayak kurang gizi), Iki kecil mencakar sampah demi sampah yang ada di seputaran tempat tinggalnya.

Iki juga tak menjalani masa-masa sekolah Taman Kanak-kanak, yang sedianya syarat masuk ke jenjang Sekolah Dasar (SD). Di tengah mengais sampah di permukiman, Iki kerap menyapa si pemilik rumah. Ya, dengan maksud mohon izin mengorek sampah yang serta merta pasti berbau.

Iki tak merasakan indahnya masa kecil, sebagaimana anak seusianya. Usai mengais sampah, Iki pun berpeluh di genggaman tangan emaknya. Dia menempuh lintasan aspal tanpa beralas kaki alias kaki ayam.

Berangkat sekira pukul 09.00 WIB pagi dan kembali ke rumah jelang maghrib. Begitulah yang dialami Iki masa itu. Di rumah beratap seng sebagian dan berdinding tepas dibalut koran, keluarga kurang beruntung ini kumpul bersama.

Makan ala kadarnya sesuai jatah yang diberikan emaknya. Nah, sebelum makan, Iki kerap disuruh memimpin doa. Kebersamaan itu pula yang menjadi panutan Iki kepada orangtuanya. Di sela makan itu, ayah Iki selalu menasihati dia dan adiknya.

Iki beserta adiknya selalu diingatkan melaksanakan perintah Allah SWT, mencari nafkah yang halal, hormati orang tua atau lebih tua daripada mereka. Lalu berusaha sembari ikhtiar dan terakhir berprilaku jujur. Karena kejujuran tak ternilai harganya.

“Orang jujur mudah dapat kerja,” demikian ditanamkan ayah Iki kepadanya.

Usia 9 tahun Iki masuk SD. Seyogianya usia SD itu 6-7 tahun tapi Iki agak telat. Ya, lagi-lagi karena tubuh Iki yang mungil dan lambat berpikir. Sebab, Iki baru bisa menyerap perkataan orang lain setelah berulang-ulang diajari. Sejak itu Iki mulai punya teman sekelas.

Sepulang sekolah Iki tak bisa berleha-leha. Dia harus berjibaku membantu ayah-emaknya berkumal di sampah bekas atau barang loakan. Begitulah tiap hari dilakukan Iki hingga jenjang SD usai. Waktunya di rumah cuma tatkala jelang maghrib, belajar sebentar, lalu tidur.

Menjalani 6 tahun di SD, Iki pun lulus. Tapi nilai rapornya biasa saja. Karena Iki bukanlah orang pintar di sekolahnya. Hanya saja, setiap ujian Iki tak pernah nyontek. Kalau bisa menjawab, biasanya dijawabnya. Begitu juga tatkala mengerjakan soal di depan kelas.

Andai Iki tak tahu, juga dijawabnya dengan senyuman. Dan kalau tidak tahu, dia pun jujur berkata kepada sang guru ‘tidak tahu’. Maklum, Iki sibuk membantu orangtuanya sehingga luang belajar sangat minim baginya. Apakah orangtuanya ikhlas dibantu sang anak yang masih usia sekolah?

Sempat tertuang di hati ayah Iki, kalau dia pernah melarang anaknya ikut mencari nafkah sebagai pemulung. Karena itu tadi, Iki tugasnya belajar sedangkan nafkah merupakan tanggung jawab orang tua. Meski sudah diterangkan ayahnya, Iki tetap menolak. Dia ingin tetap membantu orangtuanya mencari nafkah.

Tamat SD, genap berusia 15 tahun Iki mendaftar ke SMP. Pun orangtuanya bersyukur Iki masih mau sekolah. Malahan di usia labil itu pernah ayahnya bertanya tentang cita-cita Iki. Namun Iki cuma melempar senyum ke ayahnya. Sembari mencium tangan sang ayah saat itu, Iki mengatakan kalau dia cuma ingin membantu orangtuanya. Demikian kadang berulang diucapkannya.

Artinya, dia tak berpikir dengan pendidikan atau sekolah tinggi. Iki lebih mau membantu orangtuanya. Tak hanya itu, Iki juga meyakinkan bisa membahagiakan ayah-emaknya tanpa pendidikan yang tinggi. Tak pelak, mendengar ucapan Iki sambil mencium tangan ayahnya, linangan air mata pun bercucuran. Wajah ayahnya sayu, tak mampu bergumam dan hanya bisa menahan isak tangis di hati.

Karena sibuk mencari nafkah, Iki sampai tinggal kelas, tepatnya jenjang ke kelas 3 SMP. Cukup setahun tinggal kelas, Iki lulus SMP. Lagi-lagi nilai yang diperoleh tak lah mencolok. Kata cuma nilainya pas makan, itu pun sudah cukup. Lepas SMP, Iki rupanya tak mau melanjutkan ke tingkat SMA.

Di usia 19 tahun itu Iki ingin membantu full keluarganya. Dia pun sempat memohon agar ayah-emaknya tak lagi mengorek tumpukan sampah di permukiman warga.

Karena sedari awal Iki membantu, orangtuanya pun tak rela melepas pekerjaan mereka sebagai pemulung. Tubuh renta kedua orangtuanya sesekali terpaksa dipapah Iki. Dulunya Iki yang di gandeng emak atau ayahnya, kini dia pula yang memapah kedua orangtuanya.

Seringnya Iki melintasi rumah warga sambil mengorek-orek sampah, hingga salah seorang penghuni menyapanya. Sesaat Iki terperangah. Sempat Iki curiga, apa ada yang salah diperbuatnya.

“Maaf pak, sebelumnya saya telah minta izin sama istri bapak untuk mengais sampah di sini (tong sampah),” sapanya.

Cemas Iki rupanya berbuah rezeki, sesuai namanya. Si pemilik rumah yang tiap hari tempatnya mengambil sampah malah menawarkan kerja. Meski begitu Iki belum meng-iyakan. Dia mohon kepada sang pemilik rumah agar membicarakan penawaran kerja terlebih dahulu ke orangtuanya.

Nah, di tengah malam Iki berbincang dengan ayah dan emaknya. Iki berbicara sejujurnya bahwa dia diajak kerja. Melihat kedua orangtuanya saling bertatapan, Iki mulai gelisah. Dia pun berujar semua keputusan diserahkan ke ayah-emaknya.

“Gimana ayah, emak, izinkah saya kerja dengan orang lain?” tanyanya. Seketika wajah kedua orangtuanya sumbringah. Dalam artian mereka menyetujui Iki beralih kerja, tak lagi jadi pemulung. Iki termenung sejenak dan kembali menyalam serta mencium pipi kedua orangtuanya.

Usai shalat subuh, Iki menyapa ayah-emaknya sambil memohon doa di pekerjaan barunya. Lalu dia
berangkat ke rumah tetangga yang menawarkan pekerjaan. Walau pagar si pemilik rumah masih tertutup tapi Iki setia menunggu di luar halaman rumah tersebut. Tepat pukul 07.30 WIB, si pemilik rumah membuka pagarnya. Iki disuruh masuk ke teras rumah sambil menunggu si tetangga berkemas.

Tak lama berselang Iki dan si pemberi kerja berangkat ke tokonya. Di sana Iki disuruh menghitung barang dagangan. Dan begitulah setiap hari hingga memasuki tahun pertamanya bekerja. Para karyawan memanggil pemilik toko bos, tapi Iki menyapa dengan sebutan bapak. Di tahun kedua barulah Iki tahu bahwa nama si pemilik toko adalah Barkah.

Barkah sendiri memang telah lama melihat prilaku Iki tatkala melintas rumahnya. Yang membuat Barkah terharu, Iki tetap minta izin kepada istrinya untuk mengorek sampah di halaman rumah mereka. Dari situ Barkah merasa bahwa Iki adalah orang tepat untuk dipekerjakan di toko miliknya. Sifat kejujuran dan hormat merupakan nilai plus bagi Barkah memboyong Iki ke toko sembakonya.

Bahkan di tahun kedua itu pula, Barkah berkisah selama Iki bekerja bersamanya tak terjadi kekurangan barang. Iki dinilai Barkah sangat jeli, begitu juga dengan disiplinya bekerja.

Di tahun berikutnya Iki diberi kuasa oleh Barkah sebagai penanggung jawab toko. Segala barang masuk dan barang keluar semuanya atas persetujuan Iki. Merasa Iki pria yang jujur, alhasil Barkah mulai bernafas lega. Dengan tenang hati Barkah pun menunaikan ibadah haji.

Waktu terus berlalu, Iki mulai menabung. Orangtuanya tak lagi diizinkan untuk memulung. Cukup dengan gajinya, Iki yakin bisa menghidupi ayah-emak serta adiknya. Di saat itu pula Barkah yang dipanggil Pak Haji terkesima melihat Iki. Akhirnya Pak Haji menjodohkan Iki dengan seorang putrinya bernama Sari.

Toko Pak Haji Barkah kian maju. Pelanggan merasa puas atas pelayanan dan volume timbangan yang tak pernah meleset. Konsumen pun bilang kalau toko Pak Haji Barkah Toko Kejujuran.

Kini Iki telah berhasil mengembangkan usaha mertuanya, Pak Haji Barkah. Dengan senang hati Iki memberangkatkan kedua orangtuanya berhaji dan memiliki ekonomi yang berkecukupan. Pun begitu, Iki tetap menanamkan buah warisan orangtuanya kepada putra-putrinya yakni KEJUJURAN.

Iki alias Rizki contoh anak yang santun, disiplin, walau ber-IQ biasa-biasa saja. Orang kaya dan pintar belum tentu JUJUR. Orang sederhana dengan ilmu yang dimiliki merupakan pemberian Allah SWT nyatanya bisa lebih menjunjung KEJUJURAN.

“Jadilah orang jujur insya Allah hidupmu terus bermanfaat”. Pesan sang ayah kepada Iki agar JUJUR itu tetap dipegangnya hingga kini. RIZKI diberi AMANAH oleh sang ayah berlaku JUJUR dan menghindari KECURANGAN walau dengan iming-iming jabatan dan harta. Ternyata, KEJUJURAN sangat luar biasa ketimbang ilmu yang diperoleh di bangku sekolahan.
“SEMOGA KITA BISA MENIRU SIFAT & SIKAP RIZKI” AMANAH. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button