STABAT (podiumindonesia.com)- Empat masa Sumut dipimpin sipil. Rudolf Pardede, H Syamsul Arifin, Gatot Pudjo Nugroho dan kini HT Erry Nuradi. Cerita kelam Sumatera Utara pun bergulir selama 10 tahun ini.
Rudolf Pardede menggantikan Alm T Rizal Nurdin yang mengalami kecelakaan pesawat di tahun 2005. Tak lama kemudian tepatnya pada 2008, Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu). Sang jawara H Syamsul Arifin alias Dato’ menduduki jabatan empuk sebagai orang nomor satu di Pemprovsu.
Namun sayang, 2,5 tahun nyaman dengan kursi ‘goyangnya’, Dato’ Sri Lilawangsa ‘digoyang’. Kasus korupsi jadi batu sandungan. Tampuk Sumut kemudian dipegang oleh wakilnya, Gatot Pudjo Nugroho (2011). Sisa jabatan dimanfaatkan mantan politisi PKS itu untuk bersosialisasi demi menggalang suara Pilgubsu 2013.
Tak bisa dipungkiri, ‘jarum’ Gatot terbukti ampuh. Berpasangan dengan HT Erry Nuradi yang merupakan adik kandung Alm T Rizal Nurdin, mereka melenggang menuju Sumut Satu.
Kisah duka Dato’ Sri Lilawangsa ternyata diikuti Gatot Pudjo Nugroho. Lagi-lagi, Gatot tak kuasa menahan nafsu ‘segepok’ rupiah di depan mata. Dua tahun berselang, Gatot pun gagal total. Kasus demi kasus membawanya ke kerangkeng komisi anti rasuah. Dana Hibah Bansos serta penyuapan tiga hakim PTUN Medan mimpi buruk suami dari Sutiyas ini.
Tak hanya itu, bahkan sejumlah anggota DPRD Sumut juga turut terseret. Mendekam di tahanan, pada 11 Agustus 2015 HT Erry Nuradi menjabat Plt Gubsu hingga disahkan pada 26 Mei 2016. Erry Nuradi kini didampingi Wagubsu Nurhajizah Marpaung yang notabene dari TNI. Terhitung lebih kurang dua tahun duet Erry dengan Nurhajizah berjalan. Setahun kemudian di 2018 mendatang pesta demokrasi Pilgubsu digulirkan, Erry Nuradi bersama Nurhajizah dipastikan pisah.
Terdata oleh PODIUM, dua pejabat nomor satu Pemprovsu tersangkut kasus korupsi. Adalah Syamsul Arifin dan Gatot Pudjo Nugroho. Sedangkan masa sebelumnya dipegang pejabat militer. Yakni Alm Raja Inal Siregar dan Alm T Rizal Nurdin. Kedua pejabat militer tersebut bersih dari tindak korupsi.
Riak pun menyeruak ke permukaan. Apakah Sumut harus dipimpin TNI periode mendatang? Ada sesumbar mengatakan “tidak”. Delik ketakutan kembali di era rezim orde baru. Pun begitu, banyak kalangan pula mendukung bahwa Sumut harus dipimpin TNI.
Sebab, belajar dari pengalaman dua kepemimpinan sebelumnya (Alm Raja Inal Siregar dan Alm T Rizal Nurdin) tokoh TNI, toh Sumut aman-aman saja dari kasus korupsi. Apakah memang adanya belenggu ketakutan mengungkap keterlibatan oknum TNI di kasus korupsi, atau nyatanya Sumut bisa bersih dari duit-duit haram duniawi, andai itu benar dipegang TNI!
Namun pastinya, genderang pertarungan antara sipil versus TNI seakan telah dimulai untuk merengkuh Sumut Satu. Ditilik dari pemberitaan PODIUM edisi kemarin, bahwa dua pasangan telah mendapatkan pendamping.
HT Erry Nuradi berpasangan dengan H Ngogesa Sitepu (Petahana) dan Letjen TNI Edy Rahmayadi bersama duetnya Musa Rajeckshah akrab disapa Ijeck. Malah banyak yang mengklaim bahwa Pilgubsu hanya diikuti dua pasangan ini.
Walau belum ada pengesahan secara gamblang, namun baru dua pasangan ini yang tampak bersaing. Tersiar info lagi, ada seorang calon dari kalangan TNI yang turut meramaikan peta Pilgubsu selain Letjen Edy Rahmayadi. Dialah Jopinus Ramli Saragih yang kerap disapa JR Saragih.
Bupati Simalungun ini telah mendapatkan mandat dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat maju sebagai bakal calon gubernur pada Pilkada Sumatera Utara 2018. JR Saragih dinilai berkompeten karena sudah berpengalaman memimpin Kabupaten Simalungun.
JR Saragih merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Sumatera Utara. Penunjukkan JR Saragih sebagai bakal calon gubernur tertuang dalam Surat Keputusan DPP Partai Demokrat bernomor 16/INP/DPP.PD/VIII/2017 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Hinca Panjaitan dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Andi Timo Pangerang.
Surat Keputusan itu diserahkan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan kepada JR Saragih, setelah melalui rapat koordinasi panjang, di Cibubur, Jakarta Timur.
“Dengan adanya pemberian surat keputusan dari DPP Demokrat Sumatera Utara, ini artinya Partai Demokrat telah memberikan amanah kepada Bapak JR Saragih untuk maju menjadi Gubernur Sumatera Utara di 2018,” ucap Wakil Ketua DPD Demokrat Sumut Tahan Manahan Panggabean, Jumat kemarin.
Selain diberikan amanah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, kata Tahan, JR Saragih yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Sumut ini harus memenuhi jumlah kursi yang menjadi syarat utama untuk maju menjadi calon gubernur Sumatera Utara serta mencari pasangannya sebagai wakil gubernur.
Hal ini juga diaminkan oleh Sekretaris DPD Demokrat Sumatera Utara, Meilizar Latief yang mengatakan dengan diberikan amanah dari Partai Demokrat. Artinya Partai Demokrat sangat mempercayai JR Saragih untuk mengemban tugas melayani masyarakat.
Selain JR Saragih, tertuang juga nama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Efendi Simbolan. Meski sempat kalah pada periode 2013 lalu, namun putra Tapanuli ini menyebut dirinya maju karena banyak yang mendukungnya, terutama dari masyarakat Sumut.
“Permintaan dan aspirasi agar saya maju menjadi calon gubernur Sumut cukup besar. Tapi saya tidak bisa menentukan sendiri karena hanya kader partai. Kalaupun ditugaskan, ya ada prakondisi dululah,” katanya.
Mencuat lagi nama Tifatul Sembiring. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman menuturkan, di samping Tifatul, partainya juga menyiapkan tiga nama lainnya.
“Sekarang yang muncul ada empat,” kata Sohibul di Jakarta. Ada pun tiga nama lainnya adalah Anshory Siregar (anggota DPR RI), Iskan Qolba Lubis (anggota DPR RI) dan Satrya Yudha Wibowo (Ketua Badan Pemenangan Pemilu dan Pilkada DPW PKS Sumut). Sohibul menuturkan, pencalonan belum mengerucut ke salah satu nama dan masih sangat cair.
Kalau ditelisik, memang Pilgubsu 2018 ini begitu beragam. Kandidat mulai dari TNI, politisi hingga mantan koruptor telah mendaftarkan diri ke partai politik. Dalihnya karena mendapat dukungan penuh dari masyarakat terutama kalangan arus bawah.
Terlepas seluk beluk dukung mendukung, Jumat kemarin, Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi telah mengembalikan formulir pendaftaran ke PAN Sumut melalui Ketua DPW Partai Perindo Sumut Rudi Hasibuan.
Rudi mengatakan, Edy tidak dapat menyerahkan langsung berkas itu karena masih berstatus sebagai prajurit TNI. Peraturan di lingkungan TNI menyebutkan, personel aktif TNI tidak boleh terjun ke politik praktis kecuali setelah dia mengundurkan diri. Dikatakan Rudi, bahwa Edy akan mengundurkan diri dari kedinasan TNI, menjelang pencalonan dan penetapan di KPU.
Sementara itu, Ketua FKP-SU Tengku Syaiful Anhar meminta pihak Letjen Edy Rahmayadi tidak melakukan langkah keliru seperti diperbuat mantan Pangkostrad AY Nasution di Pilgubsu periode lalu.
“Artinya, jangan lebih dulu euforia dan merasa mendapatkan ‘perahu’ dari parpol tertentu. Harus bekerja keras, pihak Edy Rahmayadi meyakinkan partai pendukungnya,” tandas Syaiful Anhar.
Berawal dari Bola
Tak salah jika ada pepatah mengatakan ‘bola itu bundar’. Artinya, dalam permainan sepakbola itu belum bisa ditebak. Kalau pun reka-reka benar adanya, bisa jadi masih samar-samar. Semua berpelung mencetak gol, walau sekelas pemain tarkam atau pun kiyam.
Begitulah setidaknya kiprah Letnan Jenderal Edy Rahmayadi masuk dalam kancah politik yang awalnya berawal dari sepak bola. Meski telah mendaftar di sejumlah partai politik untuk bersaing di Sumut Satu, namun belum ada kepastian validasi siapa dan berapa jumlah parpol yang mengusungnya.
Gambaran sementara hanya Partai Hanura yang memperoleh 10 kursi di DPRD Sumut memberi suara ke Edy Rahmayadi. Untuk itu paling tidak Edy harus ‘berkeringat’ mencari 10 kursi lagi sebagai syarat pencalonan. Nah sejauh ini, Edy telah mendaftarkan diri ke PDIP, NasDem, PKPI, PPP, Hanura, PKS, Demokrat dan PAN.
Secara rinci, kekuatan di DPRD Sumut yakni Partai Golkar 17 kursi, PDI Perjuangan (16), Partai Demokrat (14), Partai Gerindra (13), Partai Hanura (10), Partai Keadilan Sejahtera (9), Partai Amanat Nasional (6), Partai NasDem (5), Persatuan Keadilan Bangsa (10).
Hanya saja, kiprah Edy Rahmayadi di provinsi berpenduduk lebih kurang 14.551.960 jiwa dengan 9 suku tersebut mulai menggaung sejak 2015. Ketika itu dirinya menjabat Pangdam I Bukit Barisan.
Masa itu pula Edy tergerak mengambil alih pengelolaan PSMS Medan karena prihatin dengan nasib klub. Kisruh di tubuh Ayam Kinantan nyatanya berakhir prestasi dengan menjuarai Piala Kemerdekaan pada September 2015.
Menjadi juara Piala Kemerdekaan, PSMS sempat dihadapkan pada masalah kesulitan finansial. Tak mau nama besar PSMS terpuruk, Edy yang sudah menjabat sebagai Pangkostrad lantas mengadakan gala dinner untuk penggalangan dana.
Mengawali karir di TNI, sebenarnya Edy Rahmayadi lebih dulu mengenal sepakbola. Dari pemain sepakbola amatir, kemudian menjadi pembina beberapa klub, seperti PSAD, PSMS Medan, dan PS TNI sejak TSC 2016.
Edy yang lahir di Aceh pada 10 Maret 1965 menjalani karir gemilang dan menempati berbagai posisi strategis di TNI AD sejak lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) pada 1985.
Kendati aktif di militer sejak 1985, Edy tetap bisa menggeluti hobinya dalam bermain sepak bola. Dia mengaku aktif bermain sepak bola seangkatan dengan striker legendaris tim nasional, Ricky Yacobi.
Dari situ Edy masuk tentara, sedangkan Ricky meneruskan karirnya di sepak bola. Sejak 2015 lalu itu pula nama Edy Rahmayadi mulai mengemuka di jagat Sumut. Secara perlahan, Edy yang merupakan asli putra daerah ini merasa ingin kembali mengabdi di tanah kelahirannya. Sedangkan karir Edy sendiri sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) berakhir pada 2019.
Otomatis, anak dari Alm Kapten TNI Rachman Ishaq ini akan mengajukan pensiun dini. Menurut Edy ada beberapa alasan dirinya maju di Pilgubsu 2018 mendatang. Salah satunya karena dia didaulat beberapa agama dan etnis agar membenahi Sumut ke depan.
“Saya didatangi tokoh agama dari Nasrani, Buddha, Muslim (ulama) dan tokoh masyarakat. Mereka meminta saya untuk ikut serta membenahi Sumatera Utara. Akhirnya terjadilah pembicaraan yang panjang. Dan saya terima itu dan saya putuskan dan insya Allah saya akan maju (dalam) pesta demokrasi 2018 khususnya di Sumatera Utara,” kata Edy akhir Agustus lalu seperti dikutip PODIUM dari salah satu situs.
“Tapi, ada satu panggilan emosional saya. Saya selaku orang Sumatera Utara, alangkah naifnya saya yang sudah keluar dari Sumatera Utara, begitu saya diajak kembali untuk bersama-sama membangun Sumatera Utara, lalu hal ini saya tolak,” kata dia.
Bahkan Edy pun bilang, awal Januari 2018 akan mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai Pangkostrad.
“Tujuan saya menjadi gubernur bukan hanya menjadi gubernur, bukan hanya mengambil power (kekuasaan). Saya bisa berbuat sesuai dengan power saya itu dan insya Allah saya akan mengembalikan posisi Sumatera Utara pada posisi the big five di seluruh provinsi di Indonesia. Nah, sekarang ini Sumatera Utara jauh sekali. Pada zaman saya SMA, Sumatera Utara nomor tiga. Nomor satunya Jakarta, nomor dua Surabaya, nomor tiga Sumatera Utara,” tukasnya.
“Semata adalah pengabdian selaku putra daerah, yang tak ingin lagi melihat Sumut terpuruk. Saya ingin kembali membangun martabat Sumatera Utara sebagai bentuk pengabdian saya selaku seorang prajurit,” ujar Edy.
Dijelaskan Edy bahwa 30 persen Sumut itu adalah menengah ke atas, 70 persennya menengah ke bawah.”Dan kita ini one man one vote dalam demokrasi. Yang jelasnya profesor dengan tukang sapu itu posisinya sama dalam memilih seorang gubernur. Nah ini yang sedang saya pelajari,” sebut Edy.
Menyangkut dirinya seorang militer dan kandidat sipil, Edy mengatakan bahwa sebenarnya persoalan sipil dan militer itu tidak perbedaannya. “Saya sendiri tidak tahu (perbedaan-red). Intinya adalah ketegasan, kepastian hukum. Itu yang jelas. Mau senyum, mau marah, yang pasti harus ikut prosedur,” tegas Edy.
Misi besar jika sukses memenangkan Pilgub Sumut adalah meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat jadi prioritas.
“Pertama adalah keamanan. Yang membuat orang Sumut tidak nyaman karena tidak aman, banyak sekali hal-nya. Itu yang akan kita luruskan nanti, ada kegiatan yang bersifat kelompok premanisme, ini harus kita selesaikan,” kata Edy Rahmayadi.
“Saya ingin Sumatera Utara makmur sejahtera. Dengan makmur dan sejahteranya Sumatera Utara akan mendukung, membantu bangsa ini lebih kuat,” sambungnya.
Edy bersama Ijeck pertama kali mendaftarkan diri ke Partai Hanura. “Pak Edy Rahmayadi orang pertama yang mendaftar. Yang mendaftarkannya pasangannya, Bapak Musa Rajeckshah,” kata Ketua Tim Pilkada DPD Hanura Sumut Bahdin Nur Tanjung awal Agustus lalu.
10.194.368 DPT
Terpisah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara telah menetapkan besaran syarat dukungan untuk pasangan calon yang ingin maju pada kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara 2018.
Berdasarkan rapat pleno yang digelar KPU Sumut diputuskan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang ingin maju dari jalur independen wajib memiliki dukungan sebesar 764.578 dari warga yang memiliki KTP Sumatera Utara.
Anggota KPU Sumut Benget Silitonga mengatakan, jumlah ini ditetapkan berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir yang digelar di 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Ada pun rinciannya 23 kabupaten/kota yang menggelar Pilkada 2015, dan 2 kabupaten/kota yang menggelar Pilkada di 2017 menggunakan DPT Pilkada, sedangkan 8 kabupaten/kota yang menggelar Pilkada 2018 digunakan DPT Pilpres 2014. Penggunaan DPT pemilu atau pemilihan terakhir merupakan perintah undang-undang.
“Dari penggabungan itu, kemudian didapat jumlah DPT pemilu/pemilihan terakhir sebesar 10.194.368. Sehingga syarat dukungan minimal bakal calon perseorangan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut 2018 adalah 10.194.368x 7,5% = 764.578. Dan harus tersebar di minimal 17 kabupaten/kota se Sumut,” papar Benget, Senin (11/9).
Benget menambahkan, hasil dari penetapan ini akan mereka sampaikan agar masyarakat yang ingin maju melalui jalur independen dapat mempersiapkan diri sebelum masa pendaftaran.
Dukungan ini sendiri menurutnya tidak hanya berupa foto copy KTP, namun juga disertai dengan keterangan mendukung pada formulir dukungan yang didalamnya memuat nama, NIK, alamat, jenis kelamin, tempat/tinggal lahir, serta usia.
Berdasarkan tahapan, jadwal, dan program Pilgubsu, maka pada 22-26 November 2017, KPU akan mulai membuka tahapan penyerahan syarat dukungan pasangan calon perseorangan untuk selanjutnya diteliti jumlah dan sebarannya.
Sedangkan untuk jadwal pendaftaran pasangan calon dari jalur independen, disamakan dengan jadwal pendaftaran pasangan calon dari jalur partai politik, yakni 8-10 Januari 2018. (tim)