Home POLITIK Elektabilitas Golkar Merosot

Elektabilitas Golkar Merosot

68
0

LANGKAT (podiumindonesia.com)- Ingat Pemilu 1977 hingga 1997? Selama 20 tahun tiga partai politik (Parpol) menjadi pemegang tampuk kekuasan di negeri ini. Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dari ketiga partai ‘tua’ itu, hanya tersisa dua yang masih bersaing. Yakni Partai Golkar yang notabene berdiri pada 20 Oktober 1964, dan PPP alias Partai Ka’bah (kata orang dulu-red) bergaung pada 5 Januari 1973.

Sedangkan satu partai lagi, PDI (didirikan 11 Januari 1973) telah hilang dari peredaran. Gantinya kini PDI-Perjuangan gawean Megawati Soekarno Putri.

Nah, dari ketiga partai tersebut, so pasti partai berlambang Pohon Beringin yang paling ‘gaek’. Berusia 53 tahun dan menjadi juara di masa orde baru. Tak ada yang mampu menyaingi partainya para Pegawai Negeri Sipil (PNS) era Presiden Soeharto. Bagaimana nasib partai dominan warna kuning ini sekarang?

Kabar bergulir, nasib Partai Golkar di ujung tanduk. Apalagi sejak perpecahan beberapa waktu lalu. Tingkat kepercayaan masyarakat pun kian melorot. Walau diketahui para kader merupakan orang-orang bijak elit politik, tapi hal itu tak menjamin Partai Golkar bisa duduk manis di Pilkada 2018 dan 2019 mendatang.

Bahkan, Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid telah menyatakan elektabilitas partainya menurun. Salah satu faktor adalah terkait kasus e-KTP yang menjerat sang Ketua Umum Setya Novanto.

“Nah, laporannya memang setelah mengundang dari pada dua lembaga survei, lalu melakukan diskusi. Kemudian mereka sendiri secara internal melakukan pendalaman-pendalaman kajian. Maka disimpulkan bahwa salah satu, bukan satu-satunya faktor penurunan elektabilitas adalah persoalan e-KTP,” ujar Nurdin Halid, Rabu (27/9) kemarin.

Dalam kesempatan yang sama, Korbid Polhukam Golkar Yorrys Raweyai menjelaskan, kasus e-KTP jadi faktor paling signifikan menukiknya elektabilitas partai. Faktor lainnya karena minimnya tokoh di Golkar.

“Itu yang paling signifikan karena kasus e-KTP. Kedua, karena kering tokoh. Golkar harus punya tokoh yang secara nasional, itu perlu kita harus cari. Ketiga DKI, pasca (Pilgub) DKI. Kemudian, belum terbangunnya soliditas partai pasca-rekonsiliasi kemarin. Ini yang perlu kita sampaikan. Banyak masalah,” kata Yorrys.

Soal kecenderungan elektabilitas Golkar yang menurun pernah disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung. Ia khawatir, jika elektabilitas terus menurun, Golkar tidak akan lolos ke Senayan pada tahun 2019.

“Tapi ternyata kok trennya terus turun? Ini yang saya takutkan. Yang paling saya takutkan adalah penurunannya di bawah parliamentary threshold,” kata Akbar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (15/9).

“Parliamentary threshold kan Anda tahu 4 persen. Kalau di bawah 4 persen artinya apa? Artinya Golkar tidak punya wakil di DPR. Itu artinya sama saja Golkar itu tidak ada,” imbuh Akbar.

Tahun 2004, Golkar memperoleh 128 kursi. Sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 106 kursi.

Berikutnya, tahun 2014 Golkar hanya menyisakan 91 kursi. Terakhir, kata Akbar, pada bulan Mei 2017, elektabilitas Golkar turun hingga ke angka 7,1 persen.

“Pemilu 2014 lalu kami 14,5 persen. Kalau 7,1 persen itu kan berarti separuh. Kalau pada waktu 2014 (dapat) 91 kursi, kalau separuh kan berarti sekitar 45 (di 2019),” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dikatakan Dedi, Partai Golkar mengalami penurunan sehingga harus mengambil langkah-langkah yang jelas untuk partai.

“Mereka banyak yang ingin menyatakan mundur bahkan mengembalikan kartu tanda anggota (KTA). Seluruh energinya harus bisa kita kendalikan agar lebih produktif bagi partai Golkar. Dengan cara memberi masukan kepada DPP untuk mengambil langkah-langkah perubahan termasuk dalam pemilihan kepala daerah,” paparnya.

Sedangkan Ketua DPP Golkar Aziz Syamsuddin menyampaikan rasa prihatin atas musibah yang menimpa partainya. Terutama terkait operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kader atau kepala daerah dari partai berlambang Pohon Beringin ini.

“Nah mengenai rentetan-rentetan ini tentu kita prihatin. Mudah-mudahan ini menjadi suatu instropeksi bagi seluruh kader partai,” sebut Aziz.

Aziz menyebut kasus ini juga dapat menurunkan elektabilitas Golkar. Namun, partainya juga masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.

“Secara teori itu pasti akan mempunyai dampak. Tapi apakah itu mencerminkan suatu perolehan partai di 2019, saya rasa belum. Tentu kita masih punya waktu untuk recovery terhadap perolehan suara nanti di 2019,” tegas Aziz.

Dan tercatat pula selama 2 bulan terakhir, setidaknya ada 5 kader Partai Golkar yang terkena OTT mau pun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

“Harus jujur saya prihatin, kecewa dan sedih. Kenapa prihatin, ternyata dalam dua bulan terakhir, apa yang dialami partai Golkar sampai kemarin itu sudah ada 7 OTT. Dari 7 itu 5 dari Golkar. Itu sesuatu yang mengejutkan,” pungkasnya.

Terpisah, Center for Strategic and Internasionall Studies (CSIS) melakukan survei tingkat elektabilitas partai-partai politik. PDIP masih bertahan di posisi teratas, namun Partai Golkar merosot cukup signifikan.

Survei CSIS untuk tahun 2017 dilakukan pada tanggal 23-30 Agustus dengan 1.000 responden secara acak (probability sampling) dari 34 provinsi di Indonesia. Responden adalah masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih. Margin of error dari survei ini sebesar 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam rilis disebutkan elektabilitas PDIP tetap paling tinggi di angka 35,1%. Elektabiltas PDIP mengalami kenaikan setiap tahunnya dari tahun 2015 meski tidak terlalu besar.

Sementara itu, elektabilitas Golkar disalip oleh Gerindra jika dibandingkan dengan perolehan Pemilu 2014. Di Pileg 2014 lalu, Golkar berada di posisi kedua, sementara Gerindra di posisi ketiga.

Namun berdasarkan elektabilitas ini, Gerindra berada di posisi kedua (14,2 %) dan Golkar di posisi ketiga (10,9%). Elektabilitas Golkar menurun cukup tajam dari tahun sebelumnya.

“Suara PDIP mengalami kenaikan kecil (masih dalam batas margin of error). Golkar mengalami penurunan sekitar 3,2% dari tahun sebelumnya. Sementara suara Gerindra mengalami stagnasi,” demikian penjelasan CSIS dalam rilisnya.

Berbeda dengan elektabilitas, dari sisi popularitas Golkar masih menempati yang tertinggi dengan perolehan 95,2%. Sementara itu PDIP tak terpaut jauh dengan mendapat 94,3%. Kemudian disusul Demokrat di angka 92,8% dan Gerindra 90,6%. (TIM/PI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here