BERITA UTAMANASIONALPENDIDIKAN

Indonesia Minus 988.133 Guru

 

MEDAN (podiumindonesia.com)- ILMU menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat Al-Quran yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia. Namun, orang-orang berilmu tak bisa dilepaskan dari peran seorang guru. Meski kadang ilmu (prilaku dan akhlak) itu tertanam dari keluarga, hanya saja penggemblengannya berada di ruang pendidikan. Ya, guru, demikianlah pahlawan tanpa tanda jasa itu disebut.

Saat peringatan Hari Guru Nasional, kisah miris tertampilkan. Ribuan guru berstatus honorer menggelar demo di negeri ini. Mereka menuntut pemerintah agar diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil alias PNS.

Apalagi kabarnya negeri seribu pulau ini sangat membutuhkan tenaga pengajar setingkat guru. Data diperoleh, jumlah guru secara nasional ada sekitar 3,017 juta orang. Jumlah tersebut meliputi guru dengan status PNS dan honorer baik di sekolah negeri maupun swasta.

Guru bukan PNS di sekolah negeri sebanyak 735 ribu, guru bukan PNS di sekolah swasta 790 ribu. Total guru bukan PNS 1,5 juta, sementara total guru PNS di sekolah negeri dan swasta 1,4 juta.

Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy menyebut bahwa saat ini sektor pendidikan kekurangan guru PNS di sekolah negeri sebanyak 988.133. Sedangkan, jumlah guru PNS yang telah pensiun mencapai 295.779.

Karena kekurangan tenaga pengajar itu, maka banyak pihak sekolah yang dengan sendirinya mengangkat tenaga pengajar dengan status honorer.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil juncto Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN atau APBD.

Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Tenaga Honorer diganti dengan istilah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

PPPK, seperti yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 2014 Pasal 1 Nomor 4, yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

Guru honorer daerah paling besar berada di tingkat Sekolah Dasar. Jumlahnya mencapai 99.978 orang pada periode 2017/2018. Sedangkan, pada tingkat SMP dan SMA jumlahnya masing-masing sebesar 37.077 dan 18.041.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru honorer tersebar di beberapa kota di Indonesia. Pada jenjang SD misalnya, Jawa Timur memiliki paling banyak guru honorer dengan 9.318 dari total 99.978 guru.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Jawa Tengah dengan 7.642 guru dan Sulawesi Selatan dengan 7.417 guru. Kemudian pada tingkat SMP, jumlah guru honorer terbanyak berada di Sumatera Utara dengan 2.919 dari total 37.077 guru. Posisi selanjutnya diisi oleh Riau dengan 2.824 guru dan Nusa Tenggara Timur dengan 2.783 guru.

Sementara pada jenjang SMA, jumlah guru honorer terbanyak berada di Riau dengan 1.999 dari total 18.041 guru. Posisi selanjutnya ditempati Aceh dengan 1.324 guru dan disusul Nusa Tenggara Timur dengan 1.181 guru.

Pengangkatan guru honorer menjadi PNS sangat perlu dilakukan. Hal ini disebabkan rasio guru per murid di Indonesia masih banyak yang berada di bawah rata-rata nasional, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA.

Secara keseluruhan, ada 11 provinsi di Indonesia dengan rasio guru per siswa di bawah rata-rata nasional. SMP merupakan jenjang pendidikan dengan penyumbang terbesar, diikuti oleh jenjang SD dan SMA.

Pada tahun pelajaran 2017/2018, untuk tingkat Sekolah Dasar, Papua merupakan provinsi dengan rasio guru terendah, yaitu 1:28. Artinya, 1 orang guru melayani 28 murid. Padahal, rata-rata nasional adalah 1:17.

Sedangkan Jawa Barat merupakan provinsi degan rasio guru terendah untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA pada periode yang sama.

Rasionya masing-masing untuk SMP dan SMA adalah 1:22 dan 1:19. Padahal, di tingkat nasional, rata-ratanya baik SMP maupun SMA sebesar 1:16. Pengangkatan guru honorer menjadi PNS memang tidak terelakkan. Dengan perubahan status ini, guru honorer yang awalnya tidak mendapat kejelasan mengenai pendapatan dan tunjangan, selanjutnya akan memiliki kepastian.

Selain itu, pemerintah pun perlu melakukan penataan dan pemerataan guru honorer. Redistribusi perlu dilakukan agar mereka dapat berkontribusi dan membantu kebutuhan guru di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.

Dengan demikian, guru honorer yang nantinya diangkat menjadi PNS dapat menjadi jawaban dalam upaya menekan kekurangan guru secara nasional.

Sementara itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyatakan tidak akan membatalkan persyaratan soal batasan usia 35 tahun bagi tenaga honorer kategori II (K2) yang akan mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 36 Tahun 2018 mengatur syarat administrasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kesehatan dari eks tenaga honorer kategori II berusia maksimal 35 tahun pada 1 Agustus 2018. Selain itu, pelamar tersebut harus aktif bekerja secara terus menerus sampai sekarang.

Imbas dari peraturan kementerian itu, tak pelak mengundang reaksi. Guru-guru honorer yang berusia matang alias di atas 35 tahun mendera tangis. Mereka meminta pemerintah membatalkan pembatasan usia untuk menjadi calon PNS Guru.

Seperti tergambar dari wajah Tiur. Wanita 54 tahun warga Tapanuli ini bilang bahwa dirinya telah mengabdi di kampungnya sebagai guru, sekitar 34 tahun. Artinya, sejak usia 20 tahun, Tiur telah menyalurkan ilmu kepada murid sekolah dasar di tempat tinggalnya.

Tiur pun sedih dengan keluarnya peraturan pengangkatan PNS Guru sekira 35 tahun itu. “Inilah nasib kami selaku guru. Pengabdian berpuluh-puluh tahun kadang tak dianggap. Kami cuma bisa ikhlas dengan kondisi yang ada sekarang ini,” keluh Tiur, belum lama ini.

Tiur tak lah sendiri. Masih banyak Tiur-Tiur lain yang mengalami derita sepertinya. Ya, terutama yang bermukim di pedalaman. Ironinya, guru-guru PNS hanya terfokus di inti kota. Walau semasa belum diangkat, guru-guru (non PNS) ‘dilempar’ ke luar kota atau pedalaman desa.

Diulas PODIUM, ini masih soal mimpi jadi PNS bagi guru honorer. Belum lagi gaji para guru honorer yang tak menentu. Bahkan ada yang mendapatkan gaji sebesar Rp 125 hingga Rp 300 ribu perbulan. Kadang, kabarnya ada juga hanya mendapatkan lemparan rupiah tak berwarna.

Apakah jasa mereka (para guru honorer) layak dipandang? Padahal jerih payah mereka tak bisa dinilai sebelah mata. Pasalnya, jasa guru honorer toh tak jauh beda dengan guru PNS. Sama-sama memberi pengajaran, sama-sama memberi ilmu, sama-sama menciptakan anak-anak berkualitas.

Sayangnya, guru honorer tak punya embel-embel duit pensiun. “Ya, cuma mimpi dapat duit pensiun saja yang kami idamkan sebagai PNS. Kalau soal jasa, apa yang kami berikan tak jauh beda dengan guru PNS,” sahut Ijan, yang juga seorang guru honorer.

Tuntut SK

Jelang Hari Guru Nasional, 25 Desember kemarin, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Sumatera Utara menyambangi Gedung DPRD Sumut. PGRI lewat Ketuanya Abdul Rahman Siregar beraudiensi ke Komisi E.

Dia, mewakili para kaum guru meminta Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan guru honor terhadap 2.000 lebih guru honor tingkat SMA/SMK di Sumut.

Ketua PGRI Sumut, Abdul Rahman Siregar menjelaskan, di Sumut ada 8.500 guru honor SMA/SMK sederajat yang sudah mendapat SK dari kepala daerah dalam hal ini Gubernur Sumut. Sementara sekitar 2.000 lebih masih SK dari Komite Sekolah.

“Masih ada sekitar 2.000-an lagi guru honor yang harus diangkat dengan SK kepala daerah karena SK mereka masih dari komite sekolah,” kata Abdul Rahman.

Ia menuturkan, SK kepala sekolah maupun Komite Sekolah bagi para guru honor selain tidak memiliki kekuatan hukum juga telah dilarang oleh pemerintah. “Karena ini dilarang, maka PGRI meminta agar PP (Peraturan Pemerintah) tentang PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) difinalkan. Dan kalau juga terjadi masalah, SK kan saja gubernur , dananya nanti bisa dari DAU dan APBD,” ujarnya.

Menurut Abdul Rahman, pihaknya memperjuangkan SK para guru honor untuk meningkatkan kesejahteraan para pendidik tersebut. “Kalau kita mau meningkatkan kualitas pendidikan kita, maka kesejahteraan guru juga harus dinaikkan,” ungkapnya.

Terkait keaejahteraan guru honor, Abdul Rahman mengaku sangat senang karena Pemprov Sumut melalui Komisi E DPRD Sumut telah menaikkan anggaran guru honor pada APBD 2019 dari sebelumnya Rp 40.000 per jam menjadi Rp 60.000 per jam. Meski pun jumlah tersebut belum sesuai dengan tuntutan PGRI.

“Kita minta ditambah jadi Rp80 ribu per jam. Karena kalau kita ambil patokan Bangka Belitung, itu mereka Rp80 ribu per jam. Maka kita berharap DPRD Sumut bisa studi banding ke sana. Kalau kita ambil ukuran Bandung atau Jakarta itu lebih tinggi lagi mereka,” ujarnya.

Sementara Ketua Komisi E DPRD Sumut Dahril Siregar memastikan bahwa peningkatan kesejahteraan guru honor telah ditampung dalam APBD Sumut 2019. “Kita sudah keluarkan Perda untuk guru honor dari Rp 40.000 jadi Rp60.000 per jam, dan itu akan dibayarkan pada 2019,” ujarnya.

Terkait permintaan SK gubernur untuk 2.000-an tenaga honor, menurut Dahril pihaknya akan menyampaikannya ke gubernur. Sebab peningkatan kesejahteraan guru juga menjadi visi misi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah untuk memartabatkan Sumatera Utara.

Di Medan sendiri, Ketua Panitia Khusus (Pansus) R-APBD 2019, Ilhamsyah mengatakan bakal ada penambahan alokasi anggaran hingga Rp5 miliar untuk pemberian insentif kepada guru honorer di Dinas Pendidikan (Disdik) Medan.

Ilhamsyah mengaku penambahan alokasi anggaran Rp 5 miliar itu untuk pemberlakuan klasifikasi pemberian insentif. Sementara anggaran semula Rp 15 miliar. Kata dia, pemberian insentif kepada guru honorer berdasarkan masa kerja.

“Jadi mulai tahun depan bakal ada klasifikasi berdasarkan masa kerja dengan angka minimal Rp 600.000 perbulan untuk masa kerja 0-4 tahuh. Masa kerja 4-8 tahun menjadi Rp800.000 perbulan dan masa kerja 8 tahun ke atas Rp1.000.000 perbulan,” ujarnya, di Medan, kemarin.

Dia berharap penambahan insentif berdasarkan masa kerja akan membuat para guru honorer semakin baik lagi kedepannya. Selain itu, dia juga berharap kualitas pendidikan juga meningkat. “Kalau guru sejahtera tentu kualitas pendidikan bisa lebih baik,” paparnya.

Sebelumnya, Plt Kepala Dinas Pendidikan Medan, Ramlan Tarigan mengatakan pihaknya bakal mengupayakan pencairan insentif untuk tenaga honorer pada Desember 2018.

Mantan Ketua PGRI Kota Medan itu menyebut guru honorer yang akan mendapat insentif adalah guru honorer yang mengantongi SK Wali Kota Medan.

“Saat ini dalam proses pendataan, kalau tidak ada halangan bulan depan cair. Yang mendapat insentif itu 1.962 guru honorer yang memiliki SK Wali Kota. Untuk tenaga pendidik seperti Tata Usaha atau operator memang belum, ini khusus guru,” paparnya. (PI/NT)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button