HUKUMMEDAN TERKINI

Kasus UINSU, Saksi Ahli Sebut Prosedur UU Pengadaan Barang Dan Jasa Sudah Dipenuhi

 

MEDAN (podiumindonesia.com)- Dosen Politeknik Negeri Medan, Edi Usman, menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sudah memenuhi prosedur ketentuan undang-undang dalam proses pengadaan barang dan jasa dalam pembangunan gedung kuliah terpadu di UINSU.

“Saya sudah membaca materi-materi terkait prosedur pengadaan barang dan jasa yang dilakukan PPK dalam kasus ini. Pendapat saya PPK telah menjalankan prosedur sesuai ketentuan UU yang ada,” kata Edi Usman ketika dihadirkan sebagai saksi ahli pengadaan barang dan jasa oleh kuasa hukum dengan terdakwa Syahruddin dalam sidang kasus dugaan korupsi pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU, di ruang Cakra 3 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (18/10).

Pada sidang yang dipimpin Safril Batubara selaku ketua majelis hakim, Edi Usman mengatakan untuk proses pengadaan, PPK telah menjalankan prosedur penunjukan dan menjalankan kontrak dengan konsultan manajemen konstruksi (KMK) melalui tender untuk membantu PPK sebelum proses lelang penyedia jasa kontruksi selaku pelaksana proyek dilakukan.

Kemudian ketika proyek bermasalah, PPK juga telah melaksanakan prosedur dengan melakukan peringatan, memutus kontrak, dan memasukkan perusahaan dalam daftar hitam sesuai ketentuan yang berlaku, sebagai tanggungjawab dan niat baik untuk menghindari terjadinya kerugian negara.

Selain itu, adanya jaminan sisa kegiatan sebanyak sisa pekerjaan yang ada di BJB, menurutnya hal itu sudah sesuai dengan ketentuan. “Adanya jaminan memang harus dipersiapkan untuk mengantisipasi kerugian negara. Sehingga saat proyek tidak selesai, jaminan itu dapat dicairkan dan masuk ke kas negara atau menjadi DIPA di Kementerian Agama, dan proses itu semua sudah dijalankan sesuai ketentuan dalam kasus ini,” katanya.

Kemudian terkait penilaian persentase kerja, dikatakannya hal itu merupakan kewenangan KMK. “Jadi sesungguhnya pertanggungjawaban tentang persentase kerja itu ada pada pihak KMK bukan pada pihak lain,” katanya.

Sementara, mantan auditor BPKP Sudirman yang dihadirkan sebagai saksi ahli mengatakan bahwa kewenangan untuk melakukan audit kerugian negara sesuai ketentuan undang-undang adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan BPKP.

Dalam menentukan kerugian negara, sebutnya, dana jaminan yang sudah dicairkan dan masuk ke kas negara serta pajak-pajak yang sudah dibayarkan harus terlebih dahulu diperhitungkan. Jika dari penghitungan telah menutupi sisa pekerjaan yang belum selesai, maka tidak ada kerugian negara.

Namun, jika dalam audit setelah memperhitungkan dana jaminan, pajak yang sudah dibayar dan adanya dana di kas negara yang belum dibayarkan, pada kesimpulan pemeriksaan tetap ditemukan adanya kerugian negara, maka sesuai ketentuan Pasal 16 ayat 4 UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pihak auditor juga wajib meminta tanggapan dari teraudit yang turut dimuat atau dilampirkan pada Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) dan harus diberikan pada para pihak.

Lebih lanjut ia mengatakan, jika dalam LHAP ada kerugian negara, pemerintah juga memberi kesempatan kepada pejabat negara yang bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian negara selama 60 hari sejak LHAP diterbitkan.

“Jika dalam batas waktu 60 hari sejak LHAP dikeluarkan tidak ada pengembalian kerugian negara serta ada indikasi tindak pidana korupsi disana, barulah proses pemeriksaannya menjadi kewenangan penyidik,” ujar Sudirman.

Tetapi saat Kamaluddin Pane selaku kuasa hukum Syahruddin mempertanyakan bagaimana jika tanggapan dari teraudit tidak pernah diminta oleh auditor swasta dari ITS serta dari BPKP, dan LHAP juga tidak pernah diberikan pada pihak teraudit. Dimana kuasa hukum menunjukkan adanya bukti bahwa pada Januari 2021 pihak UINSU mengirim surat untuk meminta hasil audit dari ITS dan BPKB. Itu artinya, selain tidak dimintai tanggapan, LHAP juga tidak diberikan pada pihak UINSU selaku pihak teraudit.

Menjawab pertanyaan kuasa hukum itu Sudirman mengatakan hasil audit itu cacat hukum, karena tidak dilakukan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Kemudian, saat kuasa hukum, jaksa dan hakim mempertanyakan apakah material onsite dalam ketentuan audit dihitung atau tidak dalam pemeriksaan. Sebab hal itu yang menjadi perbedaan penghitungan antara konsultan manajemen konstruksi (KMK) dan auditor yang diminta Polda Sumut dari ITS. Dimana KMK membuat laporan progres pekerjaan 91,07% dengan memasukkan komponen material onsite, sementara ITS tidak memasukkan komponen material onsite dan dalam laporannya menyatakan progres baru 74,17% dan menjadi acuan BPKP menentukan kerugian negara.

Atas pertanyaan ini, ahli menyatakan material onsite saat melakukan audit wajib dimasukkan. “Material onsite itukan stok barang yang sudah tersedia. Dalam audit akuntan publik itu harus dimasukan dalam barang yang sudah tersedia. Kan ada dana yang dikeluarkan untuk item pengadaan barang-barang itu. Jadi meski belum terpasang dan belum bisa difungsikan, item barang-barang yang sudah tersedia itu wajib dihitung, cuma bobotnya dihitung seharga barang. Misalnya lift barangnya sudah ada dilokasi tapi belum dipasang dan berfungsi, dihitung berapa harga liftnya dan berapa bobotnya untuk dijumlahkan ke dalam progres keseluruhan,” katanya.

Tidak Ada Unsur Pidana

Sedangkan pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum UISU, Panca Sarjana Putra, SH MHum yang juga dihadirkan kuasa hukum Syahruddin sebagai saksi ahli pada persidangan itu mengatakan, tidak ada unsur pidana yang dilakukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kasus pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU yang tidak selesai.

“Dalam hukum pidana, harus ada syarat formil dan materil seseorang melakukan tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi,” katanya.

Karenanya, sebut Panca, harus dibuktikan secara formil dan materil melalui saksi-saksi, bukti petunjuk, surat dan lainnya di persidangan apakah terdakwa secara formil dan materil ada unsur dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun koorporasi. Dan jika itu semua tidak dapat dibuktikan, lanjut Panca, maka tidak ada unsur pidana yang bisa didakwakan.

Selain itu Panca juga menyebutkan, tidak bisa dituntut pidana pejabat negara dalam hal ini PPK karena menjalankan tugas untuk kepentingan negara, meskipun kemudian ternyata terjadi kesalahan administrasi dari kebijakannya. Jika pun ada sanksi, sanksinya adalah administratif dari atasannya bukan dipidana.

Sama seperti pendapat Sudirman, Panca juga berpendapat jika ada dugaan kerugian negara pada instansi tertentu, yang berwenang mengaudit dan menentukan kerugian negara adalah BPK. “Sesuai ketentuan SEMA No.4/2016, seseorang tidak dapat dijadikan tersangka telah merugikan keuangan negara sebelum ada LHAP audit,” ujarnya.

Dan jika ada kerugian negara, bila dalam tenggang 60 hari kerugian negara telah dikembalikan, maka permasalahan selesai karena tidak ada lagi unsur pidana dan kerugian negaranya.

Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa, Kamaluddin Pane mengatakan, adanya perbedaan perhitungan persentase kesiapan pekerjaan pembangunan gedung UINSU oleh PT Multi Karya Bisnis Perkasa yang menjadi perkara saat ini dan klainnya dari PPK menjadi terdakwa menjadi masalah klasik.

Dikatakannya, Konsultan Manajemen Konstruksi (KMK) PT. Kanta Karya Utama menilai persentase pekerjaan mencapai 91.07% sisa pekerjaan yang belum selesai sebesar 8,93%, penuntut umum menyatakan persentase kerja hanya 74,17% menurut tim ITS Surabaya dan BPKP. Sehingga Penuntut Umum menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp10.350.091.337.

Perbedaan perhitungan ini yang menjadi masalah, harusnya perhitungan ada atau tidaknya kerugian Negara dilakukan sesuai pentunjuk Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang mana menegaskan bahwa yang memiliki kewenangan konstitusional ada atau tidaknya kerugian Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kamal juga menyimpulkan, dalam perkara UINSU ini, perlu perhitungan dan kajian mendalam untuk menyatakan kerugian Negara, dengan perhitungan, sisa pembayaran akhir tahun sebesar Rp. 4.016.120.375 yang dari awal ada pada Negara, ditambah pengembalian kepada Negara oleh Prof Saidurrahman selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebesar Rp10.350.091.338, ditambah lagi dengan progres pembangunan yang mencapai 91.07% versi KMK atau 74,17%, versi Penuntut Umum.

“Sebagai kuasa hukum, kami sangat mengharapkan agar Majelis Hakim benar-benar memperhatikan setiap aspek secara utuh, konprehensif secara mendalam terhadap permasalahan dan dinamika hukum selama proses persidangan dilakukan sebagai fakta hukum, dimana klain kami Syahruddin Siregar sama sekali tidak ada niat untuk merugikan keuangan negara serta melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam proyek ini,” katanya.

Selaku kuasa hukum, lanjutnya, mereka tentu sangat mengharapkan adanya keadilan terhadap Syahruddin Siregar. “Karena kita menganut azas Presumption Of Innocent, apabila tindakan administratif berujung pada pidana, lama-lama sangat potensial para pegawai takut melakukan kegiatan pengadaan,” ujar Kamal. (pi/win)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button