POLITIK

Pileg 2019, ‘Wani Piro, Sadia, Ada Pucuknya….

 

MEDAN (podiumindonesia.com)- Kurang dari seratus hari lagi Pemilihan Umum (Pemilu) akan berlangsung. Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019. Tepatnya pada hari Rabu (17/4), serentak di seluruh Indonesia.

Untuk Pemilu Presiden, siapa saja yang akan bertarung memperebutkan dukungan masyarakat sudah sangat dikenal. Fisik, rekam jejak, prestasi serta visi dan misinya. Berdasarkan survei yang dilaksanakan berbagai lembaga, mayoritas rakyat Indonesia sudah menentukan pilihan.

Di Pilpres hanya sedikit dari 190 juta pemilih yang masih menimbang-nimbang siapa yang akan dicoblos. Sekitar 25%.

Bagaimana dengan Pemilu Legislatif yang akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Pegiat demokrasi dan hak azasi manusia dari Lembaga Suluh Muda Indonesia, Kristian Redison Simarmata, menjelaskan pengamatannya tentang hal ini.

Kristian menyatakan pendapat yang memprihatinkan. Mayoritas masyarakat tidak bergairah mengikuti proses pelaksanaan Pileg.

Katanya, proses meraih dukungan pemilih yang dilakukan para calon anggota legislatif merupakan sesuatu yang transaksional. Warga dimobilisasi datang ke satu tempat di mana caleg berada dengan cara memberi uang transport. Jika tidak maka masyarakat tidak akan datang.

Istilah “wani piro”, “sadia”, “ada pucuknya”, jelas nggak”, menjadi pertanyaan umum yang terlontar saat adanya ajakan berkumpul oleh caleg.

Jarang ada caleg yang mau berletih-letih datang ke masyarakat di daerah pemilihannya. Berdiskusi, mendengar keluh-kesah atau menyerap aspirasi.

Mereka lebih memilih memperkenalkan dirinya dengan cara membagikan kartu nama. Mendirikan baliho sebanyak mungkin, menempel pamflet di berbagai tempat atau membagikan kertas cetakan berisi riwayat hidup.

“Itu semua tidak berarti apa-apa bagi warga yang akan menggunakan hak pilihnya,” tegas Kristian.

Untuk kalangan masyarakat kelas menengah ke atas, ujarnya, kemungkinan akan banyak yang tidak memilih di Pileg. Sebab mereka tidak punya pilihan. Yakni sosok yang tidak hanya menebar janji, yang bersih dan rekam jejaknya bisa dipercaya.

Performance partai politik peserta pemilu selama ini yang tidak mendorong lahirnya kader-kader yang jujur, bersih atau berintegritas membuat masyarakat pemilih tidak memiliki patokan atau standard hendak memilih caleg mana. Tidak pernah melakukan pendidikan politik kepada warga. Dorongan untuk tidak ikut memilih kian kuat.

Diperkirakan hanya caleg yang sering muncul di media massa, diwawancarai, merekalah yang akan terpilih menjadi anggota legislatif. Juga yang memiliki uang melimpah serta pengaruh kuat pada satu kelompok masyarakat tertentu.

“Sangat berat bagi caleg untuk terpilih dengan cara-cara yang bersih di Pileg mendatang, rakyat hanya ingat pada yang memberi mereka uang,” papar Kristian. (PI/MBC)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button