OPINIPOLITIK

Tim Sukses Jangan Kebablasan

 

DUA kandidat Pilpres 2019 telah memegang pendampingnya pada Agustus 2018 lalu. Genderang ‘perang’ ditabuh. Segala hal seolah dihalalkan. Meriahnya lagi tatkala September kemarin. Ketika nomor urut terlabel di dada kedua pasangan. Serangan demi serangan dianggap menjadi modal berharga dalam dunia maya.

Isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) mencuat ke permukaan. Katanya si ‘anu’ tak menentu orangtuanya, katanya juga si ‘polan’ tak jelas agamanya, hingga menyangkut detail hidup dan kehidupan kontestasi.

Paling ironi, para pemain dumay nakal itu simpatisan, kader bahkan orang-orang ternama di negeri ini. Demi kemegahan posisi, ya itulah amatan penulis terlintas di benak.

Pemilihan presiden, notabene pesta demokrasi lima tahunan tersebut harus legowo dan sportif. Jangan sampai merusak tatanan demokrasi dan jangan mengoyak sistem bernegara.

Yang terlihat saat ini, semuanya dicampuradukkan. Semua dikaitkan walau itu sama sekali tidaklah benar. Tegang tangan memainkan gadget di media sosial, tegang urat syaraf, emosi, memantik rasa ketidakadilan di bumi pertiwi.

Mirisnya lagi, pemain cyber sengaja dibentuk untuk menghancurkan lawan politik. Malah kadang kehidupan berumahtangga, famili, sanak keluarga turut ambil bagian demi memenangkan jagoan.

Dan tak tanggung-tanggung, ‘ular-ular’ cyber yang dipelihara untuk membentuk opini ujaran kebencian alias hoax dibayar dengan duit berlimpah rupiah. Para pemain cyber nakal tak hanya bergerilya di Indonesia tapi juga menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Nah, dari kasus ini siapa yang diuntungkan? Tak lain dan tak bukan perusahaan provider mendulang dollar. Kini yang terjadi, pilpres 2019 serasa pemilihan penguasa dunia.

Katanya lagi, pilpres 2019 serasa pilkada di negara adidaya Amerika Serikat. Ya, satu sisi antiklimaks demokrasi tampak jelas di tahun politik 2019 ini. Sejak presiden pertama Soekarno hingga 2014 lalu (Jokowi), baru 2019 inilah temprament rakyat memuncak.

Di setiap sendi kehidupan berbicara politik. Negeri gemah ripah loh jinawi berkecamuk di dunia maya. Yang dijual di dunia maya sekadar mengobrak-abrik kebobrokan lawan bukan memberikan pengetahuan.

Dari semua ini siapa yang dipersalahkan? Menurut kacamata penulis, kesalahan lebih kepada tim sukses kontestasi. Tak memberikan penceramahan tapi lebih kepada memecahbelah kerukunan.

Peran tim sukses adalah menawarkan program dari sang calon, bukan menabur fitnah di masa-masa kampanye. Kembali pertanyaan muncul. Apakah tim sukses terpelajar, punya dedikasi atau sekadar tukang gosip? Padahal, hampir 100% para tim sukses bergelar sarjana.

Wow…entahlah. Ilmu kadang dikesampingkan. Pola pikir berubah membuka aib orang. Hendaknya ini jadi pelajaran bagi masing-masing tim sukses kandidat. Tak perlu takut kalah, berjiwa besar menghadapi keadaan. Semuanya telah diatur oleh Sang Maha Kuasa. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button