OPINIPOLITIK

Tolak Money Politik Pemilu 2019 (OLEH: RUSDI MUHAMMAD)

 

MENGHAPUS money politik berangkali keniscayaan dalam pelaksanaan Pemilu baik itu pileg atau pilkada kabupaten Kota. Karena money politik ‘wani piro’ sesungguhnya meningkatkan partisipasi rakyat datang ke TPS untuk mencoblos. Walau pun sesungguhnya praktek money politic atau politik uang musuh utama demokrasi.

Semangat gerakan tolak money politic yang kerap disuarakan oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu pada tahapan kampanye, masa tenang, hingga proses pemungutan dan penghitungan suara tak optimal. Penindakan pelaku money politik tidak dapat menyentuh paslon kepala daerah dan caleg.

Aturan pilkada 2018 menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politics dikenakan sanksi pidana. Biaya transpor peserta kampanye pun harus dalam bentuk voucer tidak boleh dalam bentuk uang.

Hal itu berbeda dari Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu tersebut, untuk kasus money politic, Pasal 284 menyebutkan, “Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih Pasangan Calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 hanya dijatuhkan sanksi administrasi.

Seharusnya mereka didiskualivikasi. Di samping itu, UU Pemilu ini membolehkan pemberian biaya uang makan/minum, biaya uang/transpor, biaya/uang pengadaan bahan kampanye kepada peserta kampanye pada pertemuan terbatas dan tatap muka peserta pemilu. Hal ini berdasarkan pada lampiran Pasal 286 UU Pemilu tidak termasuk pada kategori materi lainnya. Selanjutnya, pada aturan bahan kampanye tercantum pada Peraturan KPU 23 Tahun 2018 Pasal 30, nilai setiap bahan kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.
Padahal, ketika Pilkada 2018, nilai bahan kampanye apabila dikonversikan paling tinggi Rp 25.000.
Ini artinya UU Pemilu 2018 ini memiliki kelemahan dalam menjerat perilaku money politics. Ada banyak celah yang bisa dilakukan oleh peserta pemilu untuk mempengaruhi pemilih.

Dengan dibolehkannya pemberian biaya transpor, makan minum kepada peserta kampanye pun tampaknya pengawas pemilu di lapangan akan sulit untuk membedakan mana cost politic dan money politics apalagi pemilih. Bagi mereka, ketika diberi sejumlah uang oleh peserta pemilu, pola pikirnya adalah untuk memilih calon yang bersangkutan.

Benar bahwa politik uang hanya akan menghasilkan pemimpin yang selalu membanggakan sisi materi, tidak mencintai rakyat dan selalu berpikir untuk mengembalikan modalnya. Politik uang merupakan kejahatan dalam demokrasi. Karena itu, masyarakat sudah sepatutnya menolak segala praktik pemberian uang yang dimaksudkan untuk mendongkrak suara dalam pemilu.

“Politik uang adalah kejahatan yang mencederai demokrasi, sedangkan masyarakat merupakan salah satu elemen yang menyukseskan proses demokrasi. Masyarakat kita minta berpartisipasi menyukseskan pemilu dan tidak tergoda dengan uang. Mungkinkah
Kita berharap panwas jangan meminta bukti, jangan meminta menghadirkan saksi, seperti seorang hakim.
Panwas harus bekerja keras bersama aparat penegak hukum menangkap pelaku money politic. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button