JAKARTA (podiumindonesia.com)- Ada sejumlah isu yang dibahas dalam Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU yang digelar pada November nanti. Di antaranya, Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah. Pembahasan tersebut terkait investasi dana haji untuk proyek infrastruktur. Dana haji adalah dana setoran jamaah haji yang sudah diniatkan untuk ibadah haji. Dana ini disimpan dalam rekening Kementerian Agama. Belakangan muncul wacana untuk mentasharufkan (menginvestasikan) dana tersebut untuk hal-hal produktif, antara lain seperti pembangunan infrastruktur.
Kemudian soal penggunaan frekuensi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam dunia penyiaran, frekuensi adalah aset milik publik yang jumlahnya terbatas. Karenanya harus dilindungi penggunaannya.
Sedang Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Maudlu’iyyah mencakup terkait ujaran kebencian dalam berdakwah. Di era digital saat ini, ujaran kebencian dan banyak konten negatif lainnya begitu mudah direproduksi oleh masyarakat. Implikasinya ujaran kebencian kadang masuk juga di panggung-panggung dakwah.
Selanjutnya soal Islam dan penyandang disabilitas. UU sudah mengamanatkan bahwa ruang-ruang public harus accesable terhadap penyandang disabilitas. Problemnya, masih banyak ruang-ruang publik keagamaan utamanya yang masih belum ramah penyandang disabilitas. Tempat ibadah misalnya, masih banyak yang belum menyediakan sarana khusus untuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus ini.
Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Qonuniyyah menyangkut RUU Etika Berbangsa dan Bernegara. Etika berbangsa dan bernegara berasal dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ini tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai acuan seluruh bangsa Indonesia. Ini dinilai penting dalam kerangka meningkatkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masalah RUU KUHP, NU berpendapat, pembangunan hukum pidana nasional harus terus dilakukan. Dalam hal ini, pembahasan mengenai konsep KUHP yang baru yang lebih konprehensif, penting untuk terus didorong. Terlebih KUHP warisan kolonial yang kita terapkan saat ini sudah tidak lagi dapat menjawab kompleksitas permasalahan hukum yang ada di Indonesia.
RUU Anti Terorisme yang sudah sering didiskusikan bahwa UU Anti Terorisme kita yang ada saat ini belum dapat secara efektif menyikapi ancaman terorisme. Padahal berbagai indikasi dan ancaman terorisme sudah bisa dideteksi jauh hari. Aturan undang-undang seringkali membatasi gerak langkah aparat untuk melakukan pencegahan dini. (muhdi/rel)